Tulisan ini mungkin datang terlambat. Tapi, seperti kata Bung Hatta, “Lebih baik terlambat maju daripada cepat menyerah.” Dan kalau tulisan ini dianggap telat, biarlah. Kami dari Himpunan Prodi memang tidak punya corong megah seperti mereka yang berada di Majelis Pengurus Mahasewa Tapi kami masih punya suara-suara kecil dari bawah tanah, tempat akar perjuangan tumbuh sebelum disiram formalitas.
Beberapa waktu lalu, istilah “Kapibara Kampus” jadi
perbincangan. Sebuah satire tentang mahasiswa yang jinak, organisasi yang
santai, dan kampus yang kehilangan nadi pergerakan. Lucu
memang, tapi juga pahit karena kritik itu menampar semua pihak, termasuk kami
dari Himpunan Prodi. Bedanya, kami tidak marah. Kami hanya heran,
kenapa yang paling keras dikritik, masih terlihat nyaman di kursi empuk Dema
yang lebih tepat disebut "Majelis pengurus Mahasewa".
Kapibara: Cermin dari "Majelis Pengurus Mahasewa " yang Terlalu Nyaman
Kapibara adalah hewan paling santai di dunia. Namun sayangnya, kini itu juga julukan paling cocok untuk kampus kita. Bukan karena semua malas, tapi karena semua terlalu ingin terlihat aman. Ruang dialektika mati bukan karena tak ada mahasiswa cerdas, dan kritis, tapi karena yang memegang kuasa koordinasi sibuk berbicara tentang “stabilitas organisasi.” Seolah-olah ruang dialektika kecil tak ada guna dan fungsinya, serta idealisme yang sudah tidak dijunjung tinggi dan dipertahankan.
Padahal, kata Tan Malaka, “Idealisme
adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda.” Sayangnya,
idealisme itu kini dijual murah di ruang rapat, dibungkus
proposal, ditutup dengan tanda tangan birokrasi. Diskusi
diganti dengan "press release" dan perdebatan diganti dengan
caption Instagram yang selalu mencitrakan
kebaikan nihil.
Himpunan Prodi: Bekerja dalam Sunyi Bukan Mati Suri
Kami di Himpunan Prodi ini bukan tidak bergerak. Kami bergerak hanya saja kalian tidak melihat, karena kalian sibuk melihat cermin. Kami selalu berusaha menampung keresahan mahasiswa prodi yang meski selalu terhalang kata "izin". Mengurus kegiatan kecil yang kadang tak punya dana, menyusun acara ilmiah di bawah lampu redup, sementara mereka yang berada di "Majelis Pengurus Mahasewa" sibuk merancang acara yang tak tahu bagaimana kelanjutannya.
Dan kami menulis ini karena cinta, bukan karena benci. Kami
hanya muak melihat mereka yang berada di Majelis Pengurus Mahasewa kehilangan
makna tapi masih pandai berkata “demi mahasiswa.”
Dari Eksekutif Menjadi Eksklusif.
Kalian di atas sana bicara advokasi, tapi tak pernah mendampingi
mahasiswa yang terjepit oleh aturan sistem akademik. Bicara
keadilan, tapi lebih sering sibuk menyiapkan "susunan kepanitiaan" ketimbang
mendengar keluhan dosen yang sewenang-wenang. Bicara
sinergi, tapi lupa solidaritas. “Jangan mengaku pejuang kalau takut
kehilangan fasilitas.” Kata Soekarno, “Perjuangan
kita bukan untuk kenyamanan, tapi untuk kemerdekaan.”
Tapi Majelis
Pengurus Mahasewa sekarang tampak lebih nyaman daripada mereka.
Lebih sering
menjadi perpanjangan tangan birokrasi ketimbang penjaga nurani mahasiswa. Lebih sibuk menyusun laporan kegiatan daripada laporan kegelisahan. Mungkin
karena status “pejabat kampus” terasa lebih nikmat daripada menjadi penggerak
yang sesungguhnya.
Kami Terluka, Tapi Belum Mati
Kami di bawah ini tidak punya panggung besar, tapi kami punya
semangat kecil yang jujur. Kami tahu, perjuangan bukan hanya
tentang bendera, tapi tentang keberanian melawan apatisme. Tjokroaminoto
pernah berkata, “Jika engkau ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti
wartawan dan bicaralah seperti orator".
Sayangnya, banyak pemimpin mahasiswa kini menulis seperti humas dan
bicara seperti pembawa acara. Retorikanya rapi, tapi jiwanya sepi. Kami
terluka bukan karena disindir "Kapibara", tapi karena melihat Majelis
Pengurus Mahasewa yang dulu simbol perlawanan berubah jadi simbol kepatuhan. Kami kecewa karena kalian lupa, bahwa organisasi mahasiswa bukan
menara gading, tapi ladang perjuangan.
Dari Himpunan untuk mereka yang berada di Majelis Pengurus Mahasewa dengan Tawa dan Kesadaran
Kami tidak ingin perang antar-organisasi, kami ingin kesadaran bersama. Kami tidak ingin rebut panggung, kami ingin ruang jujur untuk bicara. Kampus ini bukan perusahaan, dan mahasiswa bukan karyawan. Kita ini seharusnya "kelompok intelektual yang mencintai kebebasan berpikir, dan pencipta ruang dialektika."
Gus Dur pernah
mengingatkan; “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.”
Maka kami
menulis ini bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk mengingatkan: bahwa
tanpa nurani, semua struktur hanyalah papan nama kosong. Kami
masih di sini — di bawah, di ruang sempit bahkan tak memiliki ruang yang
mungkin tidak terjangkau.
Kami bukan Kapibara. Kami akar yang menunggu hujan, agar kampus ini kembali tumbuh dengan nalar dari ruang-ruang dialektika bukan dari formalitas semata. “Kami bukan Kapibara. Kami hanyalah mahasiswa yang berenang di lumpur birokrasi, sambil menjaga api kecil agar tak padam di tengah gelombang kepatuhan.”