Pesantren: Mendidik Adab atau Mempertahankan Feodalisme?

Oleh : Roby Fahmi

Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan tertua di Indonesia, tetapi juga berperan vital dalam pemberdayaan dan transformasi sosial warga negara Indonesia. Keberadaan dan perannya  dapat ditelusuri kembali ke era kerajaan dan rezim demokrasi. Pesantren, dengan model pendidikannya yang unik, telah bertahan dalam ratusan perubahan zaman dengan mempraktikkan nilai, norma, dan prinsip kehidupan mereka sendiri. Meski zaman terus berubah, namun tradisi unik pesantren, seperti hubungan santri dengan kiai, konsep keberkahan, serta transmisi ilmu, tetap bertahan hingga kini.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan pribumi tertua  di Nusantara (sekarang Indonesia). Hingga hari ini, pesantren tetap eksis dalam sistem pendidikan Indonesia. Pesantren merupakan suatu sistem pendidikan yang mana para muridnya diharuskan untuk hidup di  dalam pondokan (asrama). Siswa dalam sistem pesantren disebut santri. Sedangkan guru yang menjadi kepala pondok pesantren disebut kiai. Pesantren pada hakikatnya mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada para santrinya. Di era saat ini, sistem pesantren jauh lebih terstruktur daripada zaman dahulu (pra kemerdekaan).

Akhir- akhir ini, pesantren tradisional atau yang biasa disebut pesantren salaf menjadi sasaran empuk karena ramainya potongan-potongan video; para santri mencium tangan hingga menunduk-nunduk kepada pengasuh pondok. Masyarakat sosial media (netizen) menganggap hal tersebut sebagai feodalisme dan eksploitasi santri di lingkungan pesantren.

Pandangan yang menurut saya perlu diluruskan, maklum bila mana banyak yang menghujat pondok pesantren karena kelihatan  Feodal, mungkin faktor lain ramainya sentimen-sentimen tersebut dikarenakan banyak pula kejadian-kejadian para pemimpin pesantren yang menjadi pelaku kekerasan seksual, menjual agama untuk hawa nafsu pribadi. Tak hanya Kiai saja, para santri pun menjadi pelaku kasus bullying– bahkan sampai korban meregang nyawa.

Hal ini tak perlu disembunyikan, keresahan saya dengan adanya kejadian-kejadian yang tidak wajar tersebut pernah saya rasakan ketika masih berstatus santri. Ya, kalau boleh saya bilang hal tersebut merupakan penyakit di lingkungan pesantren.

Memahami Apa Itu Adab dan Feodalisme

Sebelum kita mengklaim keras pesantren yang katanya feodal, kita harus tau juga apa itu “adab” dan apa makna “feodallisme”, dan alangkah baiknya kita harus tahu definisi dari dua kalimat tersebut. Tidak patut kita langsung ujug-ujugwah ini feodal nih! ga bener nih, mengkultuskan seseorang!”.

Jelas berbeda, Untuk memahami mengapa feodalisme berbeda dari adab, kita perlu melihat definisi keduanya. Menurut Karl Marx, feodalisme merupakan sistem yang timbul dari krisis masyarakat sebelumnya, yaitu sistem budak atau sistem kerajaan, feodalisme memiliki struktur sosial yang terbagi atas kelas yang sangat terpisah dan mencolok.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), feodalisme yakni sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan. Dalam buku Sejarah Lengkap Dunia Abad Pertengahan 500-1400 M (2002) oleh Alfi Arifian, dijelaskan bahwa istilah feodalisme muncul pertama kali di Prancis pada abad ke-16. Sistem ini muncul setelah masa Kekaisaran Romawi Suci-Caroling mengalami kemunduran karena banyak pertikaian dan invasi asing sehingga kekaisaran pun runtuh.

Sedangkan adab, ialah norma atau aturan mengenai sopan santun yang berkaitan dengan kesopanan, keramahan, dan kehalusan budi pekerti. Adab merupakan ajaran agama. Dari definisi diatas jelas berbeda. yang dituduhkan sebagian masyarakat terhadap pesantren maupun kiai, yakni sikap santri yang menghormati kiai, seperti cium tangannya, menunduk ketika berpapasan atau berbicara berhadapan, bukanlah bentuk feodalisme, melainkan laku santri dalam menerapkan adab atau sopan santun kepada sang guru yang telah menularkan ilmu agama yang baik kepada para santri.

Dalam Islam, penghormatan kepada guru memiliki landasan yang kuat. Nabi Muhammad SAW bersabda:

"Bukanlah dari golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak orang yang berilmu" (HR. Ahmad).

Ringkasnya begini, feodalisme itu sistem yang kaku, penghormatan yang diberikan tidak berdasarkan keahlian atau jasa, melainkan kedudukan sosial yang telah diwariskan. Walhasil jadinya apa? Adanya perbudakan, kerja paksa dan yang lainnya. Sedangkan adab kepada guru atau kiai merupakan bentuk penghormatan yang didasarkan pada kontribusi nyata mereka (Guru/Kiyai/Ustadz) dalam melimpahkan ilmunya kepada para santri.

Tuduhan Liar yang Beredar

Bentuk dan rasa hormat para kaum santri kepada Kiai diangggap terlalu berlebih-lebihan kepada makhluk, terlalu mengkultuskan seorang kiai, padahal ia bukan tuhan. Bahkan, banyak yang beranggapan kiai mengeksploitasi santrinya dengan menyuruh santrinya bekerja mengurus ndalem, memasak, membantu di kebun dan lain sebagainya.

Dalam hal ini kita harus berfikir luas, anggapan yang belum tentu benar ini harus benar-benar dikroscek, kalau memang betul ada, baru bisa dikatakan “kiai mengeksploitasi santrinya”. Toh kita juga negara hukum, saya yakin bisa kok dilaporkan kepada penegak hukum jika memang benar adanya oknum kiai yang demikian.

Terkadang, para santri rela mengajukan diri membantu mengurus urusan pesantren supaya kiai fokus mengajarkan ilmu-ilmunya. Mereka mungkin sepenuhnya menyadari betapa besar beban yang ditanggung oleh seorang kiai dalam mengurus banyak orang, belum lagi fasilitas di pesantren, mulai dari bangunan, listrik dan lain sebagainya yang memerlukan biaya cukup banyak. Tapi kok ya masih ada yang mengklaim feodal!

Ketika saya dulu masih menjadi seorang santri, saya percaya betul jika menghormati atau takdim kepada guru akan mendapatkan berkah dari ilmu yang diajarkan. Bahkan tanpa disuruh pun saya dulu sangat antusias jika dimintai tolong oleh kiai untuk urusan pesantren, begitupun santri yang lainnya.

Ini bukan dogma belaka, banyak para ulama besar yang mempunyai kelebihan khusus karena dulu ketika menjadi santri mereka takdim atau taat kepada gurunya. Kita tentunya tahu sosok Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama. Karena keistikamahan dan ketakdiman beliau kepada gurunya ketika masih menjadi santri, tirakatnya, lalu menjadi seorang ulama besar dan pahlawan nasional karena ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Menghormati guru bukanlah berarti kita harus selalu tunduk tanpa adanya pertanyaan. Dalam konteks penghormatan yang dimaksud di sini tidak memaksa atau menghalangi kebebasan berpikir, melainkan justru mendorong murid-muridnya untuk berpikir kritis, mengarahkan kepada jalan yang benar.

Memang, tidak semua pesantren bisa menerapkan sistem pengabdian yang sempurna, namun, kekurangan-kekurangan yang ada seharusnya tidak dijadikan sebagai alasan untuk merendahkan citra pesantren secara keseluruhan. Pada dasarnya stigma liar kepada kiai maupun pesantren yang dianggap feodal tak selalu demikian, melainkan bentuk hormat kepada guru dan kepada orang yang telah memberikan banyak waktu dan pengorbanan untuk santrinya. Justru dengan demikian, para santri dibenahi moralnya dan adabnya untuk dapat bersikap ikhlas dan rendah hati.

Saya sebagai alumni pesantren akan terus bersuara positif jika memang betul adanya pimpinan pesantren yang otoriter, memperlakukan santrinya sak karepe dewe (seenaknya sendiri). Akan tetapi saya juga akan bersuara keras jika masih banyak yang beranggapan bahwa pesantren menerapkan sistem feodal! Karena sejatinya tuduhan itu belum tentu benar adanya. Satu lagi, sebagai insan yang berilmu saya mengingatkan diri sendiri dan juga pembaca agar di zaman arus teknologi yang begitu cepat ini, kita tidak langsung percaya mentah-mentah kepada sumber informasi yang belum jelas, apalagi terkait isu “feodalisme” pesantren.

Lebih baru Lebih lama