Oleh: Muhammad Nasrullah
Dewasa ini kerap kali kita disuguhkan
konten-konten yang seringkali menggelitik sekaligus mengganggu para pengguna
media sosial terutama TikTok. Konten-konten yang saya maksud tidak lain adalah
konten standarisasi berbagai hal remeh maupun yang signifikan. Seperti contoh;
standar effort cowok, pasangan ideal, kunci hubungan awet, harus ini,
harus itu, dan tren lain yang kebanyakan berdasakan pendapat personal lalu
diunggah di TikTok dan menjadi acuan standar hidup klien atau pengguna.
Celakanya banyak korban yang terpapar akan hal itu, yang merubah standar diri mereka
dan mengikuti serta mengamini
standar TikTok. Lalu apakah ini era baru? Apakah TikTok menjadi sumber
keabsahan segala sesuatu keidealan?
Media sosial, dalam hal ini TikTok, membuat banyak orang mempunyai banyak
pilihan, namun sebenarnya sama sekali tidak. Ilusi inilah yang selama ini
melekat dan bersemayam dalam alam bawah sadar manusia.
Kilas Balik TikTok dan Patronasenya
TikTok adalah platform media sosial
yang berbasis video dari China. Dengan penggunanya di Indonesia yang melampaui
Facebook dengan total pengguna 126,83 juta pengguna, menurut We Are Social per
Januari 2024. Aplikasi ini dibuat oleh seorang pengusaha internet yang
berkebangsaan China,
yaitu Zhang Yimin,
lahir pada 1 April 1983. Pengembangan aplikasi ini di mulai tahun 2016 dengan
nama Douyin, yang
pada saat itu hanya digunakan di China.
Di Indonesia TikTok mulai dikenal tahun
2018, dan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Popularitasnya cepat naik
di kalangan muda-mudi Indonesia dan menjadi tren viral, hiburan sekaligus
tantangan. Tak lepas dari pesatnya pertumbuhan TikTok, para influencer dan sejenisnya
banyak yang meraup keuntungan dari platform ini. Dengan memproduksi konten-konten yang diminati oleh tiap
jenis pengikutnya. Adanya influencer dan follower inilah yang
menjadikan adanya interaksi
sosial dan emosional; follower yang berstatus (klien) dan influencer,
sebagai patronnya.
Melihat kedua status di atas, teringat dengan sebuah
teori patron-klien, teori konflik sosial dari James Scoot yang biasa dikenal dengan istilah patronase (patronage). Secara
etimologis, patron
berasal dari bahasa Spanyol yang berarti “seseorang yang memiliki kekuasaan,
status, wewenang dan pengaruh”. Sedangkan klien
berarti “bawahan” atau orang yang diperintah. Pola hubungan antara patron dan
klien merupakan aliansi dua kelompok individu yang tidak sederajat; dilihat dari status, kekuasaan maupun
penghasilan. Menurut James,
interaksi antara patron dan klien adalah relasi yang bersifat dikotomis dan
hierarkis. Secara sederhana,
patronase adalah hubungan timbal balik antara patron dengan klien atau
pengguna. Patron menggunakan pengaruhnya untuk mengendalikan klien, sedangkan
klien adalah makhluk sosial yang rendah, dengan mengandalkan patron untuk
mendapatkan informasi, kesenangan, keamanan dan juga edukasi.
Dalam posisi patron dan klien, status
patron yang lekat dengan aplikasi TikTok itu sendiri, juga bisa disematkan pada
tokoh, selebgram dan public figure maupun orang yang ada di level
atasnya seperti influencer. Lalu siapakah klien tersebut? Adalah orang
yang menikmati konten dari patron, dan setiap individu yang menjadi pengguna,
penikmat, dan boleh jadi mbebek (baca: ikut) begitu saja pada patronnya.
Seringkali patron memproduksi konten-konten edukasi, namun banyak juga yang tidak edukatif, atau bisa disebut konten sampah!. Patron seringkali dituntut oleh klien untuk memberikan konten yang lebih bijak. Pun sebaliknya, klien terkadang tidak menerima konten dan menikmatinya secara bijak. Kebiasaan buruk klien yang tak terhindarkan adalah tergesa-gesa dalam memutuskan bahwa konten yang ia tonton dan nikmati itu merupakan hal yang sesuai dan bagus. Tanpa melakukan telaah lebih dalam dari tiap-tiap narasi atau info yang disampaikan yang belum tentu bermanfaat untuk dirinya.
Standarisasi TikTok
Seiring dengan pesatnya perkembangan
TikTok, timbul kekhawatiran atas standar-standar yang berseliweran di aplikasi
ini. Klien seringkali terpantik untuk saling berlomba mengikuti tren dan
tantangan yang kerap kali viral, untuk mendapatkan views dan likes
sebanyak mungkin. Beberapa standar yang sering muncul di fyp TikTok para
pengguna mulai dari: standar kecantikan, effort pasangan, gaya hidup,
pencapaian sosial dan seterusnya.
Media sosial sering kali menampilkan
gambaran hidup yang sudah dipoles sedemikian rupa dan tidak realistis. Begitu
kira-kira ungkapan dari Profesor Psikologi di Universitas Munchen, Dr. Sarah
Diefenbach. Dengan begitu akan menciptakan tekanan pada tiap individu untuk
hidup yang tidak sesuai dengan standar hidupnya sendiri, melainkan standar
TikTok dan itu sukar dicapai.
Dengan begitu banyak pengguna, baik laki-laki maupun
perempuan menjadi korban atas konten-konten yang membombardir prinsip dan
kebutuhan mereka. Ada salah satu fakta: bahwa seorang istri memprotes suaminya
hanya karena nafkah bulanan yang senilai 7 juta itu dianggap sedikit, hanya
karena si istri mendapati info dari salah satu influencer di TikTok bahwa
standar cewek sekarang adalah 15 juta per bulan. Buntut dari itu semua rumah
tangganya kacau dan berakhir cerai.
Dari fakta di atas dapat kita ambil
kesimpulan sedikit, bahwasannya standar satu individu dengan individu lain
tidak bisa disamakan ataupun dipukul rata. Pun demikian dengan standar-standar lainnya, yang sering masuk dalam
fyp orang-orang tanpa melakukan sebuah telaah dan pertimbangan panjang.
The Rebel, Albert Camus
“Dahulu sekali, selama delapan hari, pernah aku bermewah-mewah dengan pelbagai hal di dunia ini: tidur tanpa atap, di sebuah pantai, hanya makan buah-buahan, dan menghabiskan separuh waktu di dalam air. Saat itulah aku belajar sesuatu yang membuatku menerima dengan ironi, ketaksabaran, dan terkadang rasa gusar tempat yang mantap dan nyaman. Aku tak tahu bagaimana memiliki.”
— Albert Camus
Albert Camus lahir di Mondovi, 7
November 1913 dan meninggal 4 Januari 1960. Ia merupakan penulis sastra Barat
modern dan juga melahirkan aliran baru dalam filsafat yaitu absurdisme. Sering ditemukan dalam
karyanya The Rebel (Pemberontak) atau Manusia Pemberontak.
Dengan kasus standarisasi TikTok itu,
saya mencoba memberikan sedikit dorongan atas hal itu dengan melakukan
pemberontakan. Iya,
kita harus memberontak akan kejadian yang selama ini bersemayam di medsos. Di
tengah fenomena absurditas kehidupan tersebut, maka membicarakan dan
mendebatkan menurut Camus adalah langkah tepat untuk selanjutnya melakukan pemberontakan.
Terkadang istilah pemberontakan masih
terdengar begitu menyeramkan bagi beberapa individu-individu yang hanya
cenderung mbebek pada realitas yang tengah menghantuinya. Pemberontakan, singkatnya adalah melakukan perlawanan
kepada kekuasaan yang sah, dan kedua adalah sifat yang suka memberontak atau
melawan. Dengan itu bisa dipersepsikan negatif ataupun sebaliknya.
Bagi Camus pemberontakan adalah cara
untuk melepaskan diri dari kehidupan yang absurd itu, “I rebel; therefore I
exist” (Camus dalam The
Rebel: 1951) yang berarti, "aku
memberontak, maka aku ada.”
Bisa jadi, ungkapan Camus itu dipengaruhi perenungan eksistensial filsuf
sebelumnya, yaitu René Descartes, “aku berpikir maka aku ada”, dari
bahasa latin “cogito ergo sum”. Dengan melakukan pemberontakan itulah
individu menemukan eksistensi dalam dirinya, yang selama ini tercengkeram oleh
virus-virus standarisasi TikTok dan boleh jadi aplikasi media sosial lainnya.
Pemberontakan erat kaitannya dengan
nilai-nilai. Meski menurut Camus, tidaklah harus semua nilai memerlukan
pemberontakan, namun setiap tindakan pemberontakan secara diam-diam menuntut
akan suatu nilai. Tujuan pemberontakan sendiri menurut Camus adalah menuntut
sesuatu yang sebelumnya telah individu miliki dan kenal sebelumnya. Jika
ditelaah, pernyataan tersebut merupakan sebuah prinsip, nilai, dan standar yang
sebelumnya dimiliki setiap orang dalam hidupnya yang kemudian
diporak-porandakan oleh media sosial khususnya TikTok.
Meski terkadang laku pemberontakan
kerap dikaitkan dengan kemarahan maupun dendam. Menurut Max Scheler, seorang
filsuf Jerman yang berpengaruh dalam bidang fenomenologi, mengungkapkan, “pemberontakan adalah laku terpelajar
yang sangat menghormati hak-haknya”.
Dengan demikian relasi antara teori
patron-klien James Scoot dan konsep Manusia Pemberontak Albert Camus,
bisa menjadi tawaran untuk lebih kritis dan bijak lagi dalam menonton, menelaah
serta memotret realitas standarisasi TikTok.
Jika menggunakan teori patron-klien,
kita bisa menyadari bahwasanya kita bukan sekadar klien atau
"bawahan" yang cenderung mbebek begitu saja dan tidak berdaya
atas segala konten TikTok, yang sering tanpa adanya telaah lebih lanjut kita
menerimanya.
Lebih lanjut dengan memakai konsep Rebel pula, kita bisa memberontak atas
konten yang dirasa merugikan, tidak bermanfaat dan menjerumuskan kita pada
standar-standar nilai yang kacau di TikTok. Dengan konsep manusia pemberontak
pula kita bisa melakukan langkah konkret perlawanan seperti memberikan
komentar, konten perlawanan dan lainnya yang bisa menjadi gerakan simultan
untuk juga menyadarkan para awam atas konten-konten yang sarat dengan
standar-standar yang ngawur. Karena dengan kita melakukan pemberontakan,
kesadaran itu lahir.
Dengan demikian pula, hemat saya yang juga selaku pengguna, mari kita tingkatkan literasi, perbanyak wawasan, jangan sampai hilang diri, dan tenggelam hanya karena menelan mentah-mentah standar TikTok dan juga aplikasi media sosial lainnya, yang kebanyakan sama sekali tidak memenuhi kaidah standar sesuai isi konten yang diangkat.
Adalah siap menampung kritik konstruktif untuk saya selaku penulis yang masih kemarin sore. Dan ini merupakan guratan perdana yang masih acakadut, dan semoga bermanfaat.