Memetik Gus Dur: Membumikan Mengetahui dan Membangun Mengerti

Indonesia sebagai negara dengan penganut agama yang beragam, diperlukan sebuah kesadaran kolektif dalam hal menjaga harmoni dan keberlangsungan agama– sekaligus bangsa, yang damai. Hal ini dilakukan agar keutuhan bangsa dapat terjaga. Secara regulatif, setiap individu di Indonesia sangat dihargai hak keberagamaannya; sila pertama Pancasila dan UUD 1945. Konsekuensi dari regulasi ini adalah terjaganya setiap pemeluk agama dalam menjalankan ritus keagamaannya tanpa terdistraksi oleh berbagai hal; kekerasan sekalipun (Zulkarnain, 2011).

Adanya komponen aturan yang demikian menjamin penegakan ajaran agama bagi pemeluk-pemeluknya, tidak berarti konsekuensi konfrontasi ataupun kekerasan antar atau oleh pemeluk agama tertentu dapat dihindari secara mudah. Jelas, kita tahu bahwa ajaran agama pasti menuntun jalan kedamaian. Meski terdapat perbedaan-perbedaan yang fundamental dalam agama satu dengan yang lain, kita masih dapat mencari kesamaan pada nilai-nilai universalnya untuk menjamin keselamatan- dalam ketenangan menjalankan ajaran agama khususnya, dan dalam kehidupan berbangsa serta bernegara secara harmoni pada umumnya. 

Dalam fragmen historis bangsa Indonesia, ternyata regulasi saja tidak cukup. Agama membawa pesan ilahiyah yang secara fundamental bersifat universal, tidak hanya menyangkut aspek duniawi, melainkan juga aspek ukhrawi. Konfrontasi ataupun aksi-disharmoni (kekerasan) yang mengatasnamakan agama juga masih terjadi; peristiwa Maluku, Poso, maupun terorisme bom Bali dan lainnya (Wahid, 2024:44). Salah satu yang menjadi faktornya yakni truth claim (klaim kebenaran) yang muncul dari setiap agama– pemeluknya. Dengan demikian, maka perlu kesadaran sosial yang fundamental sebagai pencegahan terjadinya konfrontasi ataupun kekerasan akibat truth claim tersebut.

Pendangkalan Agama

Agama adalah satu wadah yang menampung seseorang/kelompok untuk mengisi spiritualitas diri sekaligus menjadi sandaran yang paling fundamental dalam menjalani kehidupan. Selain menjadi sebuah sandaran, agama juga memiliki fungsi sebagai pembentuk kepribadian pemeluk-pemeluknya– melalui ajarannya, tidak terkecuali kepribadian pemeluk agama dalam persinggungan-keterlibatannya dalam menjalani kehidupan di sebuah negara– kehidupan sosial.

Islam contohnya– dalam hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain, tidak ada dalih pembenaran mengenai tindak kekerasan maupun diskriminasi, kecuali jika memang ada faktor tertentu, yakni kaum muslim diusir dari rumahnya (Wahid, 2024: 44). Adapun dengan agama yang lain, tentu juga memiliki ajaran yang sama; bahwa kekerasan maupun diskriminasi bukanlah suatu ajaran yang dapat dibenarkan.

Gus Dur, kita tahu bahwa beliau merupakan seorang humanis, yang dalam fragmen kehidupannya pernah dihadapkan pada dua pilihan, yakni kekuasaan atau keutuhan bangsa. Dan dengan pertimbangan yang matang dan bijak, akhirnya seorang negarawan tentu memilih keutuhan bangsa daripada jabatan fana yang didapatkan dengan menumpahkan darah. Gus Dur pun juga berpandangan bahwa segala hal yang dilakukan dengan jalan kekerasan yang melandaskannya pada agama tidak dapat dibenarkan. Seperti aksi bom Bali di tahun 2002, Gus Dur mengutuk keras tindakan itu dan berpendapat bahwa hal itu terjadi sebab mutu sumber daya manusia (SDM) atau pelaku yang rendah. Ini adalah satu contoh pendangkalan agama yang bertalian dengan truth claim yang kebablasan, yang jauh dari ajaran keislaman– bahkan bisa disebut sebagai pelanggaran, serta tidak mencerminkan nilai ke-bhinneka-an dalam konteks ke-Indonesiaan.

Truth claim dalam tragedi bom Bali ini pada dasarnya bermuara pada dua (2) faktor utama, yakni eksternal dan internal. Secara eksternal, ada dua (2) sub faktor, yakni secara global dan nasional. Beredarnya informasi mengenai  tindak kesewenang-wenangan yang dilakukan kelompok non Islam terhadap penganut agama Islam di Timur Tengah– kesengsaraan  Palestina misalnya, memantik kepedulian umat Islam sedunia, bahkan sebagian peduli itu mewujud menjadi gerakan radikal-esktrimis. Adapun sub faktor nasionalnya, seperti yang tercantum dalam Ali Imron Sang Pengebom (Imron, 2007:41), yakni adanya ketidakpuasan pelaku terhadap pemerintahan yang tidak sesuai dengan pandangan mereka (pelaku)– tidak  adanya imamah, kesenjangan ekonomi, dan keadaan rakyat yang (juga menurut pelaku) banyak melanggar syariat; pelacuran, pergaulan bebas, perzinaan, pemerkosaan dan sebagainya.

Secara internal, pelaku-pelaku bom Bali itu ternyata lulusan Akademi Militer Mujahidin Afganistan (Ibad & Aji, 2020:5). Mereka merasa bahwa ilmu yang telah diperoleh harus juga diimplementasikan, salah satunya dalam konsep jihad. Sayangnya, konsep jihad yang mereka tuju salah kaprah, yakni menolong jalan Allah Swt. dengan jalur peperangan yang irasional– apalagi dalam konteks kemajemukan Indonesia  (Imron, 2007:179).

Dengan keadaan konflik Timur Tengah yang tak kunjung usai yang didalangi oleh negara adidaya, Amerika Serikat, yang para pelaku sebut sebagai kafir, akhirnya menjadikan Bali sebagai simbol kekafiran, sebab wilayah Indonesia yang banyak dikunjungi oleh turis mancanegara. Bagi pelaku, pengeboman tersebut merupakan wujud pembalasan dendam, sekaligus sebuah peringatan agar “orang-orang kafir” tidak berani macam-macam terhadap Islam (Ibad & Aji, 2020:5). 

Pendangkalan agama yang berangkat dari pengetahuan yang tidak termaknai ini sangatlah berbahaya. Nyatanya dengan pendangkalan agama yang demikian, truth claim menjadi hal yang seolah harus dieksternalisasi, bahkan dalam wujud gerakan seperti halnya tragedi bom Bali tahun 2002 yang ironi itu.

Membumikan Mengetahui dan Membangun Mengerti

Gus Dur pernah menghadiri Rapat Kerja Regional Timur Tengah di Beirut, Lebanon yang diselenggarakan oleh Lebanese Institute of Economic and Social Development dan The Centre Lebret pada 2003. Dalam kegiatan tersebut, Gus Dur memaparkan pandangan Islam terkait faktor terjadinya terorisme dan dalam sesi tanya jawab, seorang ibu dari Turki menanyakan suatu hal yang cukup menarik bagi Gus Dur. 

“Jika agama Islam adalah agama yang toleran, mengapa pada tahun 1993 ada tindakan- yang dilakukan oleh kelompok Islam, yang mengerikan di Sivas (Turki) yang mengakibatkan matinya 30-an intelektual Turki?” Kira-kira demikian pertanyaannya. Ibu ini merupakan seorang kolumnis di media  Jerman (tempat ia dididik dan bekerja selama belasan tahun). Dan peristiwa tersebut membuatnya tak berani kembali ke Jerman karena konsekuensi akan ditanya mengapa terjadi tragedi tersebut dan sekaligus dalam kolom-kolomnya yang dimuat di media Jerman, ia tak berani menyebut bahwa Islam adalah agama yang toleran.

Dalam buku Tuhan Akrab dengan Mereka: Kumpulan Tulisan Gus Dur tentang Toleransi & Keberagaman (Wahid, 2024: 49) disebutkan bahwa secara kronologis, ibu itu sedang menghadiri seminar di sebuah hotel di Sivas, di tengah acara ia meninggalkan forum untuk membeli pasta gigi di swalayan, depan hotel. Ibu itu benar-benar menyaksikan bagaimana seorang mubalig memobilisasi massa untuk mengepung serta membakar hotel, sebab forum tersebut membahas keharusan bagi Turki untuk menjadi negara sekuler. Singkat cerita, hotel terbakar, lift mati, dan tentu, para intelektual di dalam hotel tersebut terbakar.

Gus Dur memberi jawaban yang secara kebetulan (menurutnya) memadai yang jika diungkapkan, “inilah jawaban yang selama ini dibutuhkan”. Menurut Gus Dur, tindakan yang dilakukan oleh kelompok Islam ini disebabkan karena mereka (pemimpin kelompok khususnya) tidak mengerti dengan apa yang dihadapi. Mereka hanya sekedar mengetahui. Dalam sejarahnya, Islam membedakan tindakan mengetahui dan mengerti ini. Mengetahui melahirkan orang yang pandai, sedangkan mengerti atau memahami melahirkan orang yang memiliki sisi empati terhadap hal yang dihadapinya (Wahid, 2024: 50).

Selepas Gus Dur memberi jawaban, ibu tersebut akhirnya menghampirinya dan mencium lutut kanan Gus Dur. Tentu, ini merupakan jawaban yang– walaupun menurut Gus Dur kebetulan, diinginkan dan dibutuhkan ibu tersebut khususnya, dan pemeluk agama pada umumnya. Bahwa jika dengan mengetahui dan mengerti akhirnya kepribadian agamis (bukan penampilan) tercermin dalam diri pemeluk-pemeluknya, maka keharmonisan dalam hidup berdampingan– meskipun  masing-masing agama memiliki nilai fundamental yang berbeda, dapat terejawantah. Dan dengan demikian Gus Dur tidak salah jika mengungkapkan,

“Tidak penting apa agamamu dan sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua manusia, maka orang tidak pernah tanya apa agamamu.”

Persoalan kekerasan yang terjadi atas dasar agama, salah satu penyebabnya adalah pemaksaan klaim kebenaran terhadap kelompok atau agama yang lain. Dan kita jadi tahu bahwa beragama dengan tahu saja tidak cukup. Sekedar tahu masih akan menyebabkan terjadinya kekerasan sebab dangkalnya sikap keberagamaan.

Dan dalam konteks ke-Indonesiaan, tahu harus seiring dan sejalan dengan ngerti. Tahu saja hanya akan memunculkan spirit truth claim golongan, sebab Indonesia sangat plural. Contoh lengsernya Gus Dur secara inkonstitusional yang berpotensi konfrontasi besar-besaran, merupakan wujud adanya sisi mengerti yang dimiliki Gus Dur, sehingga akhirnya timbul empati terhadap hal yang dihadapi, di samping juga sisi mengetahui-nya yang demikian luas. Dan benar, pilihan lengser demi keutuhan bangsa merupakan jalan yang terbaik.

Dan dari sini kita perlu untuk selalu mengupayakan mengetahui dan mengerti agar truth agama ataupun golongan hanya menjadi doktrinasi fundamental bagi masing-masing golongan saja– tidak  untuk dipaksanakan kepada golongan yang lain, agar semakin yakin dengan truth yang telah dipegang dan jalani.

Terimakasih.

Penulis: Muhammad Sholeh Muria

Daftar Rujukan:

Ibad, Syaiful M. & Aji, Thomas Nugroho. 2020. BOM BALI 2002. Avatara: E-Journal Pendidikan Sejarah

Imron, Ali. 2007. Ali Imron Sang Pengebom. Jakarta Selatan: Republika

Wahid, Abdurrahman. 2024. Tuhan Akrab dengan Mereka: Kumpulan Tulisan Gus Dur tentang Toleransi dan Keberagaman. DKI Jakarta: YBAW

Zulkarnain, I. 2011. HUBUNGAN ANTARKOMUNITAS AGAMA DI INDONESIA: MASALAH DAN PENANGANANNYA. Jurnal Kajian, 16 (4)

Lebih baru Lebih lama