71 Tahun IPNU: Menyirami Dawuh Mbah Tolchah

Mandakara - Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) adalah organisasi yang bernaung di bawah Nahdlatul Ulama dengan target group beberapa elemen pelajar, yakni santri, siswa dan mahasiswa yang berdasar pada usia. Sebagai organisasi yang juga aktif berpartisipasi dalam Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), tentunya IPNU memiliki nilai-nilai yang dipegang teguh oleh segenap kadernya.

Dalam kesempatan ini saya tidak sedang membahas nilai-nilai dasar dari regulasi-regulasi IPNU yang dirumuskan. Namun demikian, bukan berarti saya mendiskreditkan, melainkan memang fokus dari penulisan ini sebagaimana judul yang pembaca sekalian telah ketahui, yakni berdasar pada dawuh-dawuh Prof. Dr. KH. Moh. Tolchah Mansoer (Mbah Tolchah), pendiri sekaligus penggagas berdirinya organisasi berbasis pelajar dalam tubuh NU ini. Dan selanjutnya dawuh Mbah Tolchah ini mewujud dalam nilai-nilai yang terkandung dalam regulasi IPNU.

Menilik Kembali Dasar Pendirian

Pendirian IPNU bukanlah tanpa dasar esensial, apalagi untuk viral-viralan belaka. Organisasi yang berdiri nyaris tiga per empat abad ini melewati masa-masa pendiriannya dengan sebuah latar belakang serta gagasan strategis yang tidak bisa dibilang asal-asalan. Bagaimana mungkin organisasi dengan usia 71 tahun ini tetap eksis, jika dasar didirikannya sepele.

Dimulai dari berdirinya organisasi keterpelajaran-keagamaan tradisional (NU) di daerah-daerah –Tsamrotul  Mustafidzin (Surabaya), Persatoean Anak-anak NO, Persatoean Anak Moerid NO (Malang), Ikatan Moerid Nahdhatoel Oelama (Malang), Idjtimaut Thalabah NO (Sumbawa), Subbanul Muslimin (Madura), Persatoean Peladjar Nahdhatoel Oelama (Kediri), Ikatan Siswa Mubalighin Nahdhatoel Oelama (Semarang), Ikatan Pelajar Islam Nahdhatoel Oelama (Bangil), Ikatan Pelajar Nahdhatoel Oelama (Surakarta) – yang belum bisa menjadi alat konsolidasi pelajar NU secara nasional (Cakrawangsa, dkk. 2009:51), muncul sebuah gagasan untuk menyatukan semuanya dalam satu wadah dengan skala nasional. Dalam Hasil Kongres IPNU XX (2022:40), setidaknya ada 3 aspek yang menjadi faktor pendirian IPNU, yakni aspek ideologis, pedagogis dan sosiologis.

Tiga (3) aspek tersebut dapat dijelaskan dengan pendekatan historis sebagaimana yang tertulis dalam buku KH. Moh. Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU yang Terlupakan. Pertama, aspek ideologis. Berdasarkan Kongres Al-Islam pada 1949, telah diputuskan dan dinobatkan bahwa PII adalah satu-satunya organisasi organisasi pelajar muslim dan HMI sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa muslim, yang keduanya berskala nasional (Cakrawangsa, dkk., 2009:52). Dan demikianlah alasan masuknya para mahasiswa NU pada saat itu di kedua organisasi tersebut, yakni hanya dua organisasi tersebut yang merepresentasikan pelajar dan mahasiswa yang bersifat nasional (Cakrawangsa, dkk., 2009:52).

Menurut saya, ideologi yang dibawa oleh kedua organisasi tersebut bukan berseberangan dengan NU. Sebab jika bertolak belakang, tidak mungkin aktivis NU seperti Tolchah Mansoer (yang telah aktif sebagai kader NU sejak dini) masuk dalam PII maupun HMI. Hanya saja kedua organisasi itu bukan bagian dari Nahdlatul Ulama. Dan walaupun tidak berseberangan, terkait ideologi ini tentu memiliki perbedaan yang prinsip antara ideologi PII dan HMI dengan NU.

Kedua, aspek pedagogis. Di satu sisi, PII dan HMI merupakan representasi wadah bagi pelajar dan mahasiswa berskala nasional. Namun, di sisi lain, walaupun hanya ada kedua organisasi itu, ternyata pelajar, khususnya yang berlatar belakang tradisional (pesantren; NU) juga tidak terakomodir, sehingga sangat kecil ruang pengembangan diri bagi mereka (Cakrawangsa, dkk., 2009:53). Di sini mengindikasikan terjadinya dikotomik pelajar. Kesan yang bisa dibilang eksklusif ini pada kenyataannya membuat pelajar-pelajar tradisional tidak terurus secara pengkaderan. Dengan kondisi yang memprihatinkan ini, Tolchah muda bersama rekan-rekannya berpikir untuk menjembatani kesenjangan antara pelajar dari pesantren dengan pelajar non-pesantren yang secara umum terdiri dari siswa, santri dan mahasiswa (Hasil Kongres IPNU XX, 2022:40).

Ketiga, aspek sosiologis. Para muassis IPNU sebagai kader yang keterbentukan prinsip keberagamaan dan kebangsaannya berpayung pada nilai-nilai yang dibawa NU, melahirkan penerus perjuangan merupakan hal yang niscaya. Hal ini diperkuat dengan kegelisahan identik yang dirasakan oleh tokoh-tokoh NU senior, termasuk KH. Abdul Wahid Hasyim yang menyatakan bahwa kader intelektual di kalangan NU sangat langka. Kegelisahan ini pun ditindaklanjuti oleh Pengurus Besar Maarif –nomenklatur  saat itu (Cakrawangsa, 2009:55).

Ketiga aspek di atas kemudian mengkristal menjadi sebuah gagasan untuk mendirikan sebuah organisasi keterpelajaran NU berskala nasional. Dan kemungkinan, pendirian IPNU ini bukanlah suatu kebetulan, sebab adanya kesamaan rasa gelisah antara kaum muda NU dengan tokoh-tokoh NU yang lebih senior. Dan pada 24 Februari 1954 (20 Jumadil Akhir 1373 H) di Semarang, bertepatan dengan Konferensi Besar Maarif, IPNU resmi berdiri sebagai wadah pelajar NU yang berskala nasional (Cakrawangsa, 2009:55).

Tolchah Mansoer muda didapuk menjadi Ketua Umum pertama IPNU (1954), dengan langkah taktis dan strategisnya, seiring waktu, seiring ia terpilih menjadi Ketua Umum beberapa kali hingga demisioner (1961), IPNU berkembang pesat secara kuantitas maupun kualitasnya. Meskipun telah demisioner, Tolchah Mansoer tetap memberikan pengarahan-pengarahan obyektif-konstruktif dengan bertemu kader-kadernya (Cakrawangsa, 2009:88).

Selama menjadi Ketua Umum, Tolchah Mansoer (Mbah Tolchah) banyak memberikan dawuh yang bernas yang membuat saya terpantik untuk menuliskan ini.

Tidak Sekedar Menyatukan

Dari sejarahnya, IPNU didirikan juga berdasarkan aspek ideologis. Bahwa NU sendiri juga perlu mempersiapkan kadernya untuk meneruskan perjuangan menjaga akidah Ahlussunnah wal Jamaah di negeri berlambang Garuda ini. Benar bahwa IPNU didirikan juga untuk menyatukan elemen-elemen pelajar, tetapi penyatuan ini tidak sekedar mengumpulkan mereka.

Ada dasar yang melatarbelakangi berkumpulnya siswa, santri dan mahasiswa dalam IPNU, yakni ideologi. Hal ini disampaikan oleh Mbah Tolchah dalam pengantar Peraturan Dasar IPNU (1957):

… Ada dasar jang bersifat ideologisch jang menjebabkan dia tumbuh. Dia mempunyai sebab dan memiliki principe ideologisch yang memerlukan ideologiese dranger jang melaksanakannja walau bagaimana djuga zaman dan orang berkata tentangnja.” (Cakrawangsa, 2009:59).

Dari dawuh ini setidaknya ada dua maksud yang saya pahami. Pertama, berkumpulnya elemen pelajar dalam IPNU didasarkan pada ideologi. Artinya, adanya kesamaan ideologi keberagamaan, yakni Ahlussunnah wal Jamaah. Tidak berhenti di sini, ideologi pula yang menjadi dasar bertumbuh-kembangnya kader-kader IPNU. Sebabnya adalah maksud kedua yang terkandung dalam frasa ideologiese dranger  dan ideologiese ranger (poin kedua; ranger, merupakan penafsiran penulis sendiri).

Ideologiese dranger artinya tekanan ideologis. Bahwa sebagai kader, pelajar-pelajar NU itu akan tumbuh ketika tekanan yang dihadapinya dalam organisasi dapat disikapi dengan baik, terlebih jika tekanan yang ada menyangkut ideologinya. Sedangkan ideologiese ranger yang berarti penjaga ideologi, dimaksudkan bahwa kader-kader IPNU tidak sekedar berkumpul saja, melainkan harus membuka diri untuk tertempa agar terbentuk; secara dinamika maupun keilmuan, agar cita-cita melahirkan penerus perjuangan NU ini tercapai, dan mereka terejawantah sebagai penjaga ideologi.

Berkumpulnya mereka dalam satu wadah secara implisit dapat dikatakan sebagai kiat menangkal aliran Islam radikal yang jelas berbeda ideologi dengan Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyyah. Walaupun tidak secara ekspilisit, kader-kader NU ini setidaknya tidak sempat bersinggungan dengan aliran Islam radikal. Hal ini juga disebut sebagai containment policy, yakni kiat yang dilakukan untuk menahan perluasan pengaruh; dalam hal ini Islam radikal (Wahid, 2020:15). Dan dengan demikian, probabilitas anak-anak orang NU terpapar paham radikalisme bisa ditekan.

Perkawinan Intelektual dan Keharusan Belajar

Visi untuk menyatukan pelajar ilmu agama dengan ilmu umum merupakan salah satu faktor didirikannya IPNU. Mbah Tolchah memang ingin menghilangkan dikotomi di antara keduanya. Selain itu juga agar terjadi pertukaran atau perkawinan intelektual antar kader.

Secara intelektual dan kedalaman ilmu, setidaknya ada tiga (3) kategori kader IPNU: pertama, kader yang hanya menguasai ilmu agama; kedua, kader yang menguasai ilmu umum; dan ketiga, pelajar yang menguasai kedua ilmu; agama dan umum. Dengan demikian, sebenar-benarnya tujuan dari penyatuan pelajar ilmu agama dengan umum adalah agar keduanya dapat saling melengkapi serta bertukar pikiran agar sama-sama dalam memperkaya pengetahuan sebagaimana dawuh Mbah Tolchah:

…Tiga subject ini diperlukan bagi merealisir adjaran-adjaran agama. Dan kalau tidak bisa pada saat sebelumnja mempeladjari pengetahuan itu setjara studie jang umum, dapatlah waktu-waktu digunakan untuk saling bertanja, saling meminta tuntunan, dan saling mengerti dan saling menginsafi akan kekurangannja dalam beberapa lapangan.” (Cakrawangsa, 2009:71)

Kenyataan yang demikian ini seharusnya menjadi sebuah pegangan bagi kader-kader IPNU. Untuk dapat saling bertukar pikiran, berarti kader harus senantiasa belajar dan mencari ilmu. Mbah Tolchah sangat menekankan aspek intelektual ini, selain agar terjadi dialektika, secara strategis juga menyiapkan masa yang akan datang, yakni kebutuhan akan kader-kader yang tidak hanya memiliki wawasan keagamaan saja, melainkan juga tercipta kader yang menguasai ilmu-ilmu umum, seperti teknik, hukum, politik dan lain-lain (Cakrawangsa, dkk. 2009:76).

Tidak Berpolitik Praktis

Tahun berdirinya IPNU (1954) bisa dikatakan sebagai tahun politik di masa pemerintahan Bung Karno. Sebab, di tahun 1955 diselenggarakan pemilihan umum pertama di Indonesia. Hal ini menimbulkan pandangan negatif terhadap pendirian IPNU. Seolah-olah IPNU didirikan atas dasar kontestasi politik, kebutuhan konsolidasi politik dan menjadi underbow-nya NU yang telah menjadi partai sejak 1952. Seperti yang dipaparkan di atas, sama sekali tidak ada aspek politik dalam pendirian IPNU.

Munculnya pandangan negatif ini, Mbah Tolchah menegaskan bahwa hubungan IPNU adalah dengan Maarif, dalam hal pendidikan dan pengajaran (Cakrawangsa, 2009:58). Seperti dalam penegasannya (Cakrawangsa, 2009:58):

Mungkin orang menganggap kita ini berpolitik. Tetapi orang tidak tahu bagian apa dari Nahdlatul Ulama itu yang berpolitik.”

“… Itu urusan tanfidziyah Nahdlatul Ulama. Ya, IPNU anak Nahdlatul Ulama. Yang harus diketahui: IPNU mempunjai hak atas dirinja sepenuh-penuhnja.”

Kondisi sosial politik pada waktu itu memang cukup sulit bagi IPNU, apalagi organisasi induknya adalah sebuah partai politik. Namun demikian, Mbah Tolchah tetap tegas menunjukkan bahwa IPNU bukan sebuah alat politik bagi NU, melainkan sebuah kawah candradimuka, wadah mengkader dan membentuk kader-kader NU. Ketegasan rel IPNU sebagai organisasi pengkaderan ini juga ditunjukkannya, bahkan setelah demisioner, yakni saat Asnawi Latif menjadi Ketua Umum IPNU; masa khidmat 1963-1970 (NU Online).

Di masa kepemimpinan Asnawi Latif, IPNU mendapatkan jatah kursi untuk mewakili NU duduk di DPRGR. Hal ini cukup membuat Asnawi (berikut IPNU) terlarut dalam politik, sehingga Mbah Tolchah sempat memarahinya. Dari kemarahan ini, kemungkinan yang dapat diterima dari idealisme Mbah Tolchah mengenai IPNU sebagai organisasi pengkaderan adalah upayanya melakukan kiat preventif agar IPNU tidak terpolitisir dan keluar dari rel (Cakrawangsa, 2009:88).

Dalam laporan pertanggungjawabannya pada Muktamar IPNU IV (sekarang: Kongres) di Yogyakarta, Mbah Tolchah menyampaikan:

“…Siaran PP IPNU XV jang dimaksudkan agar pada pimpinan IPNU ini ada tjukup pengertian bahwa membawa-bawa organisasi ke dalam gelanggang dan pertjaturan politik sangat tidak dapat dibenarkan…” (Cakrawangsa, 2009:91).

Kenyataan bahwa Mbah Tolchah sendiri juga pernah mendapat jabatan politik, yakni DPRD Yogyakarta, saat menjadi Ketua Umum IPNU (Cakrawangsa, 2009:90), merupakan sebuah hal yang sulit, namun di sisi lain sikap Mbah Tolchah sangat logis. Sulit dalam ia membagi dan membatasi antara kerja-kerja organisasi dan kerja-kerja politik. Serta logis dalam sikap penegasannya bahwa IPNU tidak boleh berpolitik praktis, sebab ia sendiri dan rekan-rekannya merupakan generasi pertama IPNU yang mendasarkan didirikannya organisasi ini sebagai organisasi kader.

Keteguhan Mbah Tolchah untuk terus mengampanyekan bahwa IPNU tidak boleh berpolitik praktis ini memberikan maksud tersendiri. Bukan berarti bahwa kader IPNU tidak diperbolehkan turut larut dalam politik, melainkan IPNU sebagai organisasi jangan sampai dibawa-jualbelikan. Sebab, itu hanya akan membuat IPNU mengekor pada kekuasaan dan pada akhirnya kaderisasi tidak menjadi perhatian. Dan Mbah Tolchah pun juga menyampaikan bahwa berpolitik tidak ada salahnya, asalkan memahami positioning antara kepentingan pribadi dengan organisasi (Cakrawangsa, 2009:91).

Cita-cita IPNU

Dawuh Mbah Tolchah mengenai cita-cita IPNU sangat populer di kalangan kader IPNU (berikut IPPNU). Berikut dawuh-nya:

“Tjita-tjita daripada Ikatan Peladjar Nahdlatul Ulama jalah membentuk manusia jang berilmu, tetapi bukan manusia calon kasta elite di dalam masjarakat. Tidak. Kita menginginkan masjarakat jang berilmu. Tetapi dekat dengan masjarakat…” (Cakrawangsa, 2009:87).

Kader-kader IPNU adalah bagian dari masyarakat. Dan kader IPNU yang dicita-citakan oleh Mbah Tolchah adalah kader yang juga kembali ke masyarakat. Selain rel kerja-kerja organisasi IPNU yang ideal, dalam forum-forum IPNU saat ia masih menjabat Ketua Umum, Mbah Tolchah juga menekankan hadirnya kader IPNU dalam lingkungan sosial kemasyarakatan itu sebagai keharusan. Sebab, seperti yang terjadi hari ini, dan tentu juga terjadi di masa itu, beberapa aktivis yang sudah terbentuk kemudian memiliki jaringan luas, justru memikirkan dirinya sendiri dan berjarak dengan masyarakat.

Menjadi elit, bukan saja berarti mementingkan dan membesarkan diri sendiri, tetapi juga hanya peduli dan terus membesarkan organisasinya sendiri, lalu membandingkannya dengan organisasi lain. Jika ini terjadi, maka kader IPNU telah disorientasi dan dengan demikian telah tercerabut dari masyarakat. Karena mereka telah lupa akan tanggungjawabnya untuk berkontribusi pada masyarakat sesuai dengan kapasitasnya (Cakrawangsa, 2009:85-86).

Manifestasi kedekatan kader IPNU dengan masyarakat secara riil, menurut saya tidak terjadi begitu saja. Kader IPNU sangat perlu dan harus senantiasa mengembangkan dirinya dengan turut andil dalam proses kaderisasi-kaderisasi yang ada di IPNU. Inilah kiat  untuk mencapai berilmu sebagaimana dawuh Mbah Tolchah. Dan saat mereka telah demisioner, masyarakat adalah tempat mereka mengaktualisasi dan mengabdikan diri. Dengan berbagai kecenderungan kapasitas kader yang beragam, IPNU menjadi wadah yang membentuk kadernya yang terjun di berbagai lini kehidupan dalam masyarakat (Cakrawangsa, 2009:77).

Menyirami Dawuh Mbah Tolchah

Sebenarnya masih banyak lagi dawuh-dawuh Mbah Tolchah yang dapat dijadikan pengarah dalam berproses di IPNU. Beberapa dawuh di atas telah saya klasifikasi berdasarkan sub pembahasan seperti yang tertulis di atas.

Dengan membaca sejarah kita menjadi mengerti atas dasar apa IPNU didirikan dan dengan demikian juga bisa tergambar bagaimana kerja organisasi IPNU seharusnya. Mulai dari tujuan strategis menjadi penjaga ideologi, keharusan belajar, membangun dialektika intelektual antar kader, menjaga jarak dengan politik praktis, hingga mengaktualisasi diri dalam kehidupan masyarakat, dawuh-dawuh Mbah Tolchah ini akan tetap relevan dan artinya juga harus dikampanyekan pada kader-kader, khususnya oleh para pimpinan secara top down dan oleh sesama kader untuk saling mengingatkan.

Jika pimpinannya sendiri tidak mengampanyekan, bahkan tidak tahu akan sejarah IPNU, khususnya arahan-arahan obyektif-konstruktif dari Mbah Tolchah, bukan tidak mungkin, walaupun kaderisasinya berjalan, ada hal yang hilang dalam proses IPNU. Sebab, dawuh Mbah Tolchah itu tidak lain dan tidak bukan merupakan identitas IPNU, profil IPNU. Mengenai identitas IPNU ini, KH. Nuril Huda (Demisioner Ketua PC IPNU Tuban semasa Mbah Tolchah memimpin PP IPNU) mengenang kampanye yang selalu digaungkan oleh Mbah Tolchah, “Kalau organisasi lepas dengan waktu pendiriannya, maka ia akan rusak.” (Cakrawangsa, 2009:76).

Dari sini kita dapat pahami bahwa dasar pendirian organisasi menjadi prinsip yang harus dipegang oleh kader. Oleh karena beberapa dawuh Mbah Tolchah berbicara tentang dasar pendirian dan pada akhirnya bermanifestasi menjadi identitas IPNU, maka kampanye nilai-nilai dan prinsip dasar pendirian yang di-dawuh-kan Mbah Tolchah merupakan suatu keharusan.

71 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Hari Lahir IPNU dengan tema “Konektivitas Gagasan, Kolektivitas Gerakan”  kali ini tidak hanya momentum singkat untuk menyirami dawuh Mbah Tolchah, sebab menyirami untuk menumbuhkan nilai dasar dalam dawuh Mbah Tolchah adalah tugas kader semasa dan selama ia berproses di IPNU. Bahkan, kalau perlu terus menyiraminya walaupun sudah purna.

Sebagaimana di awal tulisan ini, saya menulis bukan berarti mendiskreditkan banyak nilai dasar yang tercantum dalam regulasi; justru nilai-nilai dasar di regulasi bermuara pada dasar pendirian IPNU itu sendiri. Dan juga bukan berarti saya telah purna tugas dalam menyirami dawuh Mbah Tolchah. Tugas menyirami ini tugas kita bersama, tugas pimpinan teratas pada pimpinan di bawahnya, tugas pengurus pada anggota-anggotanya dan tugas antar kader IPNU. Dan terakhir, ini juga suatu keharusan bagi IPPNU.

Semoga bermanfaat dan terimakasih.

Selamat Hari Lahir ke-71 Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama 

Oleh: Muhammad Sholeh Muria (IPNU Banyuwangi)

Daftar Rujukan

Cakrawangsa, Caswiyono R., dkk. 2009. KH. Moh. Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU Yang Terlupakan. Yogyakarta: LKiS

https://www.nu.or.id/nasional/h-asnawi-latief-mantan-ketua-umum-ipnu-wafat-4gwgK (diakses pada 23 Februari 2025)

Pimpinan Pusat IPNU. Hasil Kongres XX IPNU. Jakarta: Lembaga Pers dan Penerbitan PP IPNU

Wahid, Abdurrahman. 2020. Kiai Nyentrik Membela Pemerintah. Yogyakarta: LKiS 

Lebih baru Lebih lama