Mandakara - Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) adalah
organisasi yang bernaung di bawah Nahdlatul Ulama dengan target group
beberapa elemen pelajar, yakni santri, siswa dan mahasiswa yang berdasar pada
usia. Sebagai organisasi yang juga aktif berpartisipasi dalam Pembangunan
Sumber Daya Manusia (SDM), tentunya IPNU memiliki nilai-nilai yang dipegang
teguh oleh segenap kadernya.
Dalam kesempatan ini saya tidak sedang membahas
nilai-nilai dasar dari regulasi-regulasi IPNU yang dirumuskan. Namun demikian,
bukan berarti saya mendiskreditkan, melainkan memang fokus dari penulisan ini
sebagaimana judul yang pembaca sekalian telah ketahui, yakni berdasar pada dawuh-dawuh
Prof. Dr. KH. Moh. Tolchah Mansoer (Mbah Tolchah), pendiri sekaligus penggagas
berdirinya organisasi berbasis pelajar dalam tubuh NU ini. Dan selanjutnya dawuh
Mbah Tolchah ini mewujud dalam nilai-nilai yang terkandung dalam regulasi IPNU.
Menilik Kembali Dasar Pendirian
Pendirian IPNU bukanlah tanpa dasar esensial, apalagi
untuk viral-viralan belaka. Organisasi yang berdiri nyaris tiga per empat abad
ini melewati masa-masa pendiriannya dengan sebuah latar belakang serta gagasan
strategis yang tidak bisa dibilang asal-asalan. Bagaimana mungkin
organisasi dengan usia 71 tahun ini tetap eksis, jika dasar didirikannya
sepele.
Dimulai dari berdirinya organisasi
keterpelajaran-keagamaan tradisional (NU) di daerah-daerah –Tsamrotul Mustafidzin (Surabaya), Persatoean Anak-anak
NO, Persatoean Anak Moerid NO (Malang), Ikatan Moerid Nahdhatoel Oelama (Malang),
Idjtimaut Thalabah NO (Sumbawa), Subbanul Muslimin (Madura), Persatoean
Peladjar Nahdhatoel Oelama (Kediri), Ikatan Siswa Mubalighin Nahdhatoel Oelama
(Semarang), Ikatan Pelajar Islam Nahdhatoel Oelama (Bangil), Ikatan Pelajar Nahdhatoel
Oelama (Surakarta) – yang belum bisa menjadi alat konsolidasi pelajar NU secara
nasional (Cakrawangsa, dkk. 2009:51), muncul sebuah gagasan untuk menyatukan
semuanya dalam satu wadah dengan skala nasional. Dalam Hasil Kongres IPNU XX
(2022:40), setidaknya ada 3 aspek yang menjadi faktor pendirian IPNU, yakni
aspek ideologis, pedagogis dan sosiologis.
Tiga (3) aspek tersebut dapat dijelaskan dengan
pendekatan historis sebagaimana yang tertulis dalam buku KH. Moh. Tolchah
Mansoer: Biografi Profesor NU yang Terlupakan. Pertama, aspek
ideologis. Berdasarkan Kongres Al-Islam pada 1949, telah diputuskan dan
dinobatkan bahwa PII adalah satu-satunya organisasi organisasi pelajar muslim
dan HMI sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa muslim, yang keduanya
berskala nasional (Cakrawangsa, dkk., 2009:52). Dan demikianlah alasan masuknya
para mahasiswa NU pada saat itu di kedua organisasi tersebut, yakni hanya dua
organisasi tersebut yang merepresentasikan pelajar dan mahasiswa yang bersifat
nasional (Cakrawangsa, dkk., 2009:52).
Menurut saya, ideologi yang dibawa oleh kedua
organisasi tersebut bukan berseberangan dengan NU. Sebab jika bertolak
belakang, tidak mungkin aktivis NU seperti Tolchah Mansoer (yang telah aktif
sebagai kader NU sejak dini) masuk dalam PII maupun HMI. Hanya saja kedua
organisasi itu bukan bagian dari Nahdlatul Ulama. Dan walaupun tidak
berseberangan, terkait ideologi ini tentu memiliki perbedaan yang prinsip
antara ideologi PII dan HMI dengan NU.
Kedua, aspek
pedagogis. Di satu sisi, PII dan HMI merupakan representasi wadah bagi pelajar
dan mahasiswa berskala nasional. Namun, di sisi lain, walaupun hanya ada kedua
organisasi itu, ternyata pelajar, khususnya yang berlatar belakang tradisional
(pesantren; NU) juga tidak terakomodir, sehingga sangat kecil ruang
pengembangan diri bagi mereka (Cakrawangsa, dkk., 2009:53). Di sini
mengindikasikan terjadinya dikotomik pelajar. Kesan yang bisa dibilang
eksklusif ini pada kenyataannya membuat pelajar-pelajar tradisional tidak
terurus secara pengkaderan. Dengan kondisi yang memprihatinkan ini, Tolchah
muda bersama rekan-rekannya berpikir untuk menjembatani kesenjangan antara
pelajar dari pesantren dengan pelajar non-pesantren yang secara umum terdiri
dari siswa, santri dan mahasiswa (Hasil Kongres IPNU XX, 2022:40).
Ketiga,
aspek sosiologis. Para muassis IPNU sebagai kader yang keterbentukan
prinsip keberagamaan dan kebangsaannya berpayung pada nilai-nilai yang dibawa
NU, melahirkan penerus perjuangan merupakan hal yang niscaya. Hal ini diperkuat
dengan kegelisahan identik yang dirasakan oleh tokoh-tokoh NU senior, termasuk
KH. Abdul Wahid Hasyim yang menyatakan bahwa kader intelektual di kalangan NU
sangat langka. Kegelisahan ini pun ditindaklanjuti oleh Pengurus Besar Maarif –nomenklatur
saat itu (Cakrawangsa, 2009:55).
Ketiga aspek di atas kemudian mengkristal menjadi
sebuah gagasan untuk mendirikan sebuah organisasi keterpelajaran NU berskala
nasional. Dan kemungkinan, pendirian IPNU ini bukanlah suatu kebetulan, sebab
adanya kesamaan rasa gelisah antara kaum muda NU dengan tokoh-tokoh NU yang
lebih senior. Dan pada 24 Februari 1954 (20 Jumadil Akhir 1373 H) di Semarang,
bertepatan dengan Konferensi Besar Maarif, IPNU resmi berdiri sebagai wadah
pelajar NU yang berskala nasional (Cakrawangsa, 2009:55).
Tolchah Mansoer muda didapuk menjadi Ketua Umum
pertama IPNU (1954), dengan langkah taktis dan strategisnya, seiring waktu,
seiring ia terpilih menjadi Ketua Umum beberapa kali hingga demisioner (1961),
IPNU berkembang pesat secara kuantitas maupun kualitasnya. Meskipun telah
demisioner, Tolchah Mansoer tetap memberikan pengarahan-pengarahan
obyektif-konstruktif dengan bertemu kader-kadernya (Cakrawangsa, 2009:88).
Selama menjadi Ketua Umum, Tolchah Mansoer (Mbah
Tolchah) banyak memberikan dawuh yang bernas yang membuat saya terpantik
untuk menuliskan ini.
Tidak Sekedar Menyatukan
Dari sejarahnya, IPNU didirikan juga berdasarkan aspek
ideologis. Bahwa NU sendiri juga perlu mempersiapkan kadernya untuk meneruskan
perjuangan menjaga akidah Ahlussunnah wal Jamaah di negeri berlambang Garuda
ini. Benar bahwa IPNU didirikan juga untuk menyatukan elemen-elemen pelajar,
tetapi penyatuan ini tidak sekedar mengumpulkan mereka.
Ada dasar yang melatarbelakangi berkumpulnya siswa,
santri dan mahasiswa dalam IPNU, yakni ideologi. Hal ini disampaikan oleh Mbah
Tolchah dalam pengantar Peraturan Dasar IPNU (1957):
“… Ada dasar jang bersifat ideologisch jang menjebabkan
dia tumbuh. Dia mempunyai sebab dan memiliki principe ideologisch yang
memerlukan ideologiese dranger jang melaksanakannja walau bagaimana djuga zaman
dan orang berkata tentangnja.” (Cakrawangsa, 2009:59).
Dari dawuh ini setidaknya ada dua maksud yang
saya pahami. Pertama, berkumpulnya elemen pelajar dalam IPNU didasarkan
pada ideologi. Artinya, adanya kesamaan ideologi keberagamaan, yakni
Ahlussunnah wal Jamaah. Tidak berhenti di sini, ideologi pula yang menjadi
dasar bertumbuh-kembangnya kader-kader IPNU. Sebabnya adalah maksud kedua
yang terkandung dalam frasa ideologiese dranger dan ideologiese ranger (poin kedua;
ranger, merupakan penafsiran penulis sendiri).
Ideologiese dranger artinya tekanan ideologis. Bahwa sebagai kader,
pelajar-pelajar NU itu akan tumbuh ketika tekanan yang dihadapinya dalam
organisasi dapat disikapi dengan baik, terlebih jika tekanan yang ada
menyangkut ideologinya. Sedangkan ideologiese ranger yang berarti
penjaga ideologi, dimaksudkan bahwa kader-kader IPNU tidak sekedar berkumpul
saja, melainkan harus membuka diri untuk tertempa agar terbentuk; secara
dinamika maupun keilmuan, agar cita-cita melahirkan penerus perjuangan NU ini
tercapai, dan mereka terejawantah sebagai penjaga ideologi.
Berkumpulnya mereka dalam satu wadah secara implisit
dapat dikatakan sebagai kiat menangkal aliran Islam radikal yang jelas berbeda
ideologi dengan Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyyah. Walaupun tidak secara
ekspilisit, kader-kader NU ini setidaknya tidak sempat bersinggungan dengan
aliran Islam radikal. Hal ini juga disebut sebagai containment policy,
yakni kiat yang dilakukan untuk menahan perluasan pengaruh; dalam hal ini Islam
radikal (Wahid, 2020:15). Dan dengan demikian, probabilitas anak-anak orang NU terpapar
paham radikalisme bisa ditekan.
Perkawinan Intelektual dan Keharusan Belajar
Visi untuk menyatukan pelajar ilmu agama dengan ilmu
umum merupakan salah satu faktor didirikannya IPNU. Mbah Tolchah memang ingin
menghilangkan dikotomi di antara keduanya. Selain itu juga agar terjadi
pertukaran atau perkawinan intelektual antar kader.
Secara intelektual dan kedalaman ilmu, setidaknya ada
tiga (3) kategori kader IPNU: pertama, kader yang hanya menguasai ilmu
agama; kedua, kader yang menguasai ilmu umum; dan ketiga, pelajar
yang menguasai kedua ilmu; agama dan umum. Dengan demikian, sebenar-benarnya
tujuan dari penyatuan pelajar ilmu agama dengan umum adalah agar keduanya dapat
saling melengkapi serta bertukar pikiran agar sama-sama dalam memperkaya
pengetahuan sebagaimana dawuh Mbah Tolchah:
“…Tiga subject ini diperlukan bagi merealisir
adjaran-adjaran agama. Dan kalau tidak bisa pada saat sebelumnja mempeladjari
pengetahuan itu setjara studie jang umum, dapatlah waktu-waktu digunakan untuk
saling bertanja, saling meminta tuntunan, dan saling mengerti dan saling
menginsafi akan kekurangannja dalam beberapa lapangan.” (Cakrawangsa,
2009:71)
Kenyataan yang demikian ini seharusnya menjadi sebuah
pegangan bagi kader-kader IPNU. Untuk dapat saling bertukar pikiran, berarti
kader harus senantiasa belajar dan mencari ilmu. Mbah Tolchah sangat menekankan
aspek intelektual ini, selain agar terjadi dialektika, secara strategis juga menyiapkan
masa yang akan datang, yakni kebutuhan akan kader-kader yang tidak hanya
memiliki wawasan keagamaan saja, melainkan juga tercipta kader yang menguasai
ilmu-ilmu umum, seperti teknik, hukum, politik dan lain-lain (Cakrawangsa, dkk.
2009:76).
Tidak Berpolitik Praktis
Tahun berdirinya IPNU (1954) bisa dikatakan sebagai
tahun politik di masa pemerintahan Bung Karno. Sebab, di tahun 1955
diselenggarakan pemilihan umum pertama di Indonesia. Hal ini menimbulkan
pandangan negatif terhadap pendirian IPNU. Seolah-olah IPNU didirikan atas
dasar kontestasi politik, kebutuhan konsolidasi politik dan menjadi underbow-nya
NU yang telah menjadi partai sejak 1952. Seperti yang dipaparkan di atas, sama
sekali tidak ada aspek politik dalam pendirian IPNU.
Munculnya pandangan negatif ini, Mbah Tolchah
menegaskan bahwa hubungan IPNU adalah dengan Maarif, dalam hal pendidikan dan
pengajaran (Cakrawangsa, 2009:58). Seperti dalam penegasannya (Cakrawangsa,
2009:58):
“Mungkin orang menganggap kita ini berpolitik.
Tetapi orang tidak tahu bagian apa dari Nahdlatul Ulama itu yang berpolitik.”
“… Itu urusan tanfidziyah Nahdlatul Ulama. Ya, IPNU
anak Nahdlatul Ulama. Yang harus diketahui: IPNU mempunjai hak atas dirinja
sepenuh-penuhnja.”
Kondisi sosial politik pada waktu itu memang cukup
sulit bagi IPNU, apalagi organisasi induknya adalah sebuah partai politik.
Namun demikian, Mbah Tolchah tetap tegas menunjukkan bahwa IPNU bukan sebuah
alat politik bagi NU, melainkan sebuah kawah candradimuka, wadah mengkader dan
membentuk kader-kader NU. Ketegasan rel IPNU sebagai organisasi pengkaderan ini
juga ditunjukkannya, bahkan setelah demisioner, yakni saat Asnawi Latif menjadi
Ketua Umum IPNU; masa khidmat 1963-1970 (NU Online).
Di masa kepemimpinan Asnawi Latif, IPNU mendapatkan
jatah kursi untuk mewakili NU duduk di DPRGR. Hal ini cukup membuat Asnawi
(berikut IPNU) terlarut dalam politik, sehingga Mbah Tolchah sempat memarahinya.
Dari kemarahan ini, kemungkinan yang dapat diterima dari idealisme Mbah Tolchah
mengenai IPNU sebagai organisasi pengkaderan adalah upayanya melakukan kiat
preventif agar IPNU tidak terpolitisir dan keluar dari rel (Cakrawangsa,
2009:88).
Dalam laporan pertanggungjawabannya pada Muktamar IPNU
IV (sekarang: Kongres) di Yogyakarta, Mbah Tolchah menyampaikan:
“…Siaran PP IPNU XV jang dimaksudkan agar pada
pimpinan IPNU ini ada tjukup pengertian bahwa membawa-bawa organisasi ke dalam
gelanggang dan pertjaturan politik sangat tidak dapat dibenarkan…” (Cakrawangsa, 2009:91).
Kenyataan bahwa Mbah Tolchah sendiri juga pernah
mendapat jabatan politik, yakni DPRD Yogyakarta, saat menjadi Ketua Umum IPNU
(Cakrawangsa, 2009:90), merupakan sebuah hal yang sulit, namun di sisi lain
sikap Mbah Tolchah sangat logis. Sulit dalam ia membagi dan membatasi antara
kerja-kerja organisasi dan kerja-kerja politik. Serta logis dalam sikap penegasannya
bahwa IPNU tidak boleh berpolitik praktis, sebab ia sendiri dan rekan-rekannya
merupakan generasi pertama IPNU yang mendasarkan didirikannya organisasi ini
sebagai organisasi kader.
Keteguhan Mbah Tolchah untuk terus mengampanyekan
bahwa IPNU tidak boleh berpolitik praktis ini memberikan maksud tersendiri.
Bukan berarti bahwa kader IPNU tidak diperbolehkan turut larut dalam politik,
melainkan IPNU sebagai organisasi jangan sampai dibawa-jualbelikan. Sebab, itu
hanya akan membuat IPNU mengekor pada kekuasaan dan pada akhirnya kaderisasi tidak
menjadi perhatian. Dan Mbah Tolchah pun juga menyampaikan bahwa berpolitik
tidak ada salahnya, asalkan memahami positioning antara kepentingan pribadi
dengan organisasi (Cakrawangsa, 2009:91).
Cita-cita IPNU
Dawuh Mbah
Tolchah mengenai cita-cita IPNU sangat populer di kalangan kader IPNU (berikut
IPPNU). Berikut dawuh-nya:
“Tjita-tjita daripada Ikatan Peladjar Nahdlatul Ulama
jalah membentuk manusia jang berilmu, tetapi bukan manusia calon kasta elite di
dalam masjarakat. Tidak. Kita menginginkan masjarakat jang berilmu. Tetapi
dekat dengan masjarakat…” (Cakrawangsa,
2009:87).
Kader-kader IPNU adalah bagian dari masyarakat. Dan
kader IPNU yang dicita-citakan oleh Mbah Tolchah adalah kader yang juga kembali
ke masyarakat. Selain rel kerja-kerja organisasi IPNU yang ideal, dalam
forum-forum IPNU saat ia masih menjabat Ketua Umum, Mbah Tolchah juga
menekankan hadirnya kader IPNU dalam lingkungan sosial kemasyarakatan itu sebagai
keharusan. Sebab, seperti yang terjadi hari ini, dan tentu juga terjadi di masa
itu, beberapa aktivis yang sudah terbentuk kemudian memiliki jaringan luas,
justru memikirkan dirinya sendiri dan berjarak dengan masyarakat.
Menjadi elit, bukan saja berarti mementingkan dan
membesarkan diri sendiri, tetapi juga hanya peduli dan terus membesarkan
organisasinya sendiri, lalu membandingkannya dengan organisasi lain. Jika ini
terjadi, maka kader IPNU telah disorientasi dan dengan demikian telah tercerabut
dari masyarakat. Karena mereka telah lupa akan tanggungjawabnya untuk
berkontribusi pada masyarakat sesuai dengan kapasitasnya (Cakrawangsa, 2009:85-86).
Manifestasi kedekatan kader IPNU dengan masyarakat
secara riil, menurut saya tidak terjadi begitu saja. Kader IPNU sangat perlu
dan harus senantiasa mengembangkan dirinya dengan turut andil dalam proses kaderisasi-kaderisasi
yang ada di IPNU. Inilah kiat untuk
mencapai berilmu sebagaimana dawuh Mbah Tolchah. Dan saat mereka
telah demisioner, masyarakat adalah tempat mereka mengaktualisasi dan
mengabdikan diri. Dengan berbagai kecenderungan kapasitas kader yang beragam,
IPNU menjadi wadah yang membentuk kadernya yang terjun di berbagai lini
kehidupan dalam masyarakat (Cakrawangsa, 2009:77).
Menyirami Dawuh Mbah Tolchah
Sebenarnya masih banyak lagi dawuh-dawuh Mbah
Tolchah yang dapat dijadikan pengarah dalam berproses di IPNU. Beberapa dawuh
di atas telah saya klasifikasi berdasarkan sub pembahasan seperti yang
tertulis di atas.
Dengan membaca sejarah kita menjadi mengerti atas
dasar apa IPNU didirikan dan dengan demikian juga bisa tergambar bagaimana
kerja organisasi IPNU seharusnya. Mulai dari tujuan strategis menjadi penjaga
ideologi, keharusan belajar, membangun dialektika intelektual antar kader, menjaga
jarak dengan politik praktis, hingga mengaktualisasi diri dalam kehidupan masyarakat,
dawuh-dawuh Mbah Tolchah ini akan tetap relevan dan artinya juga harus
dikampanyekan pada kader-kader, khususnya oleh para pimpinan secara top down
dan oleh sesama kader untuk saling mengingatkan.
Jika pimpinannya sendiri tidak mengampanyekan, bahkan
tidak tahu akan sejarah IPNU, khususnya arahan-arahan obyektif-konstruktif dari
Mbah Tolchah, bukan tidak mungkin, walaupun kaderisasinya berjalan, ada hal
yang hilang dalam proses IPNU. Sebab, dawuh Mbah Tolchah itu tidak lain
dan tidak bukan merupakan identitas IPNU, profil IPNU. Mengenai identitas IPNU
ini, KH. Nuril Huda (Demisioner Ketua PC IPNU Tuban semasa Mbah Tolchah memimpin
PP IPNU) mengenang kampanye yang selalu digaungkan oleh Mbah Tolchah, “Kalau
organisasi lepas dengan waktu pendiriannya, maka ia akan rusak.”
(Cakrawangsa, 2009:76).
Dari sini kita dapat pahami bahwa dasar pendirian
organisasi menjadi prinsip yang harus dipegang oleh kader. Oleh karena beberapa
dawuh Mbah Tolchah berbicara tentang dasar pendirian dan pada akhirnya
bermanifestasi menjadi identitas IPNU, maka kampanye nilai-nilai dan prinsip
dasar pendirian yang di-dawuh-kan Mbah Tolchah merupakan suatu
keharusan.
71 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Hari Lahir IPNU
dengan tema “Konektivitas Gagasan, Kolektivitas Gerakan” kali ini tidak hanya momentum singkat
untuk menyirami dawuh Mbah Tolchah, sebab menyirami untuk menumbuhkan
nilai dasar dalam dawuh Mbah Tolchah adalah tugas kader semasa dan
selama ia berproses di IPNU. Bahkan, kalau perlu terus menyiraminya walaupun
sudah purna.
Sebagaimana di awal tulisan ini, saya menulis bukan berarti mendiskreditkan banyak nilai dasar yang tercantum dalam regulasi; justru nilai-nilai dasar di regulasi bermuara pada dasar pendirian IPNU itu sendiri. Dan juga bukan berarti saya telah purna tugas dalam menyirami dawuh Mbah Tolchah. Tugas menyirami ini tugas kita bersama, tugas pimpinan teratas pada pimpinan di bawahnya, tugas pengurus pada anggota-anggotanya dan tugas antar kader IPNU. Dan terakhir, ini juga suatu keharusan bagi IPPNU.
Semoga bermanfaat dan terimakasih.
Selamat Hari Lahir ke-71 Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
Oleh: Muhammad Sholeh Muria (IPNU Banyuwangi)
Daftar Rujukan
Cakrawangsa, Caswiyono R., dkk. 2009. KH. Moh.
Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU Yang Terlupakan. Yogyakarta: LKiS
https://www.nu.or.id/nasional/h-asnawi-latief-mantan-ketua-umum-ipnu-wafat-4gwgK (diakses pada 23 Februari 2025)
Pimpinan Pusat IPNU. Hasil Kongres XX IPNU.
Jakarta: Lembaga Pers dan Penerbitan PP IPNU
Wahid, Abdurrahman. 2020. Kiai Nyentrik Membela Pemerintah. Yogyakarta: LKiS