Mandakara - Sepanjang sejarah
Nusantara, terdapat peristiwa-peristiwa penting yang menjadi simbol perlawanan
atas penjajahan yang dilakukan oleh entitas tertentu, baik berupa kerajaan-kerajaan
maupun pihak asing yang ingin mengekspansi kekuasaannya dan menjarah sumber
daya yang ada di Nusantara. Berbagai konflik-perang terjadi akibat kedatangan
entitas yang berusaha menguasai tempat tinggal mereka. Perlawanan itu tidak
datang dari kaum laki-laki semata, melainkan juga dari kalangan perempuan.
Salah satu simbol
perlawanan dari seorang perempuan pernah terjadi di ujung timur Jawa. Hal itu
terjadi ketika Kompeni (Vereenigde Oostindische Compagnie, VOC) tiba di
Blambangan dengan maksud untuk menaklukkan wilayah Jawa paling timur tersebut. Berbagai
pemberontakan dalam rangka menghalau Kompeni menduduki wilayah Blambangan
muncul sebagai reaksi penolakan masyarakat. Dari sederet nama yang mashyur dalam
sejarah pemberontakan terhadap Kompeni di ujung timur Jawa, nama Sayu Wiwit adalah
salah satu perempuan yang ikut serta dalam gerakan sosial-politik masyarakat
Blambangan.
Mengenal Sayu Wiwit: Susuhunan Ratu Gunung Raung
Perempuan gigih,
digdaya, dan berani yang berada di barisan masyarakat Blambangan tersebut
bernama Mas Ayu Wiwit atau yang lebih dikenal Sayu Wiwit. Ia adalah putri dari
Mas Gumuk Jati. Perempuan asal Kedhaton (di Lateng) ini diangkat menjadi
Senopati karena prestasi, pengalaman, dan keahliannya (dalam medan
pertempuran). Saat Kompeni membuat benteng di Lateng, Sayu Wiwit diajak pindah
oleh orang tuanya ke Bayu. Dalam Babad Tawangalun (BTA) disebutkan sebagai
berikut:
Kang dadi
menggalaning prang//Bekel Utun lan Bekel Undhuh iki//sarta lan Sayu Wiwit
wahu//kang dadi manggalaning perang//nanging estri asal kamulaning dangu//wismane
kedhaton ika//putrane Mas Gumuk Jati (BTA, Pupuh Pangkur viii)
Terjemah:
Yang menjadi
panglima perangnya//Bekel Utun dan Bekel Undhuh//serta Sayu Wiwit itu//menjadi
panglima perangnya//seorang perempuan yang berasal dulunya//berdiam di Kedhaton
(Keraton)//putra dari Mas Gumuk Jati (BTA, Pupuh Pangkur viii)
Sedangkan, cerita bahwa
Sayu Wiwit dibawa oleh orang tuanya ke Bayu karena Kompeni mendirikan benteng
di Lateng ditulis sebagai berikut:
Ujare kandha
satengah//Sayu Wiwit binekta lolos nguni//dhumateng ing negara Bayu//dening
yayah ibunira//kala tekane bala walandi wahu//damel loji ing Lateng
ika//purwane wahu puniki (BTA, Pupuh Pangkur ix).
Terjemah:
Kata beberapa
orang//Sayu Wiwit dibawa melarikan diri//ke negeri Bayu//oleh ayah-ibunya//saat
kedatangan pasukan Belanda//membuat loji di Lateng//demikianlah asal mulanya (BTA, Pupuh
Pangkur ix)
Sayu Wiwit juga
dijuluki sebagai Kaisar Susuhunan Ratu Gunung Raung (The Empress Susuhunan Ratu
of Mount Raung) yang menjadi komandan perang ketika meletusnya
pemberontakan di Blambangan yang dikenal dengan Puputan Bayu. Ia menjadi
komandan gerakan yang dipimpin oleh Bekel Gagak Baneng di wilayah barat yang membantu
pemberontakan Rempeg Jagapati (Margana, 2012: 176).
Sosok Susuhunan Ratu
Gunung Raung ini merupakan perempuan yang pemberani, maka tak ayal jika ia didapuk
sebagai pemimpin prajurit. Keberanian dan kedigdayaan Sayu Wiwit membuat para perempuan
Bayu, baik tua maupun muda, mengikuti bagaimana ia berpakaian laiknya laki-laki
dengan memegang Patrem (keris kecil khusus perempuan) dan tumbak pengawinan
yang dibawa ketika perang berlangsung (BTA, Pupuh Pangkur xxiii-xxiv;Utomo,
2009: 52). Selain menjadi pelindung masyarakat Blambangan, terutama Bayu, Sayu
Wiwit juga memiliki mata batin yang tajam. Dari ketajaman mata batin itulah, ia
selalu tepat memberi komando ketika mengatasi prajurit Kompeni (Utomo, 2009:
53).
Sketsa Kronologis Perang Puputan Bayu (1771-1773)
Di ujung timur
Jawa, secara historis, pernah terjadi konflik-perang antara masyarakat
Blambangan dan Kompeni Belanda, yaikni Perang Wilis (1767-1768) dan Perang
Puputan Bayu (1771-1773). Kedua peristiwa tersebut adalah penanda sejarah yang
menunjukkan bahwa masyarakat Blambangan memiliki spirit pemberontakan yang kuat
terhadap siapa pun yang berupaya menjarah tanah kelahiran mereka. Bahkan, Perang
Puputan Bayu adalah pemberontakan terbesar selama VOC berkuasa di Blambangan
hingga membutuhkan waktu lebih dari dua tahun untuk mengatasi kerusuhan tersebut
(Margana, 2012: 159).
Secara linguistis,
“Puputan” berarti habis-habisan, sedangkan “Bayu” merupakan nama tempat yang
ada di Blambangan, tepatnya di Songgon. Sehingga, Puputan Bayu adalah perang
habis-habisan melawan Kompeni (VOC) setelah pemberontakan yang dipelopori
Pangeran Wilis (Wong Agung Wilis) berhasil ditaklukkan oleh Kompeni pada 1768.
Pembuangan Pangeran Wilis dan beberapa pemberontak ke Banda tidak membuat spirit
perlawanan masyarakat Blambangan menyusut. Hal ini dibuktikan dengan kemunculan
salah satu tokoh penting dalam Perang Puputan Bayu, yakni Mas Rempeg Jagapati
atau yang juga disebut sebagai Pseudo Wilis (Wilis Palsu), anak dari Mas
Bagus Wali dan Mas Ayu Dawia.
Pada awal Agustus
1771, Kompeni dikejutkan dengan kemunculan seseorang yang menyebut dirinya
sebagai Susuhunan Jagapati, atau pihak Kompeni menyebutnya Pseudo Wilis.
Dalam Sri Margana (2012), Jagapati ini telah mendirikan keraton baru di Bayu.
Ia meminta kepada rakyat Blambangan untuk berpindah ke Bayu dan menjanjikan kepada
mereka kehidupan yang lebih baik, terbebas dari orang-orang Jawa dan orang
kulit putih. Ajakan dan janji Susuhunan Jagapati itu diterima secara antusias
oleh rakyat Blambangan, dan akhirnya banyak penduduk berbondong-bondong menuju
ke Bayu (Margana, 2012: 174).
Masyarakat yang berkumpul
di Bayu, selain mencari perlindungan, juga telah bersiap melawan Kompeni
Belanda yang sewaktu-waktu menyerang mereka di bawah komando Pangeran Jagapati
dan Jagalara sebagai Patih. Hal ini dikisahkan dalam Babad Tawangalun (Pupuh
Sinom viii & ix):
[viii] Yen ing
Bayu kathah tiyang//sarta sedaya asikep nguni//gegaman lawan senjata//yen
tyangira sampun dadi//asikep para sami//sarta tulup datan katun//kang dados
pengagengira//nenggih Pangeran Jagapati//Jagalara ounika pepatihira.
[ix] Kocapa Tuwan
Rek ika//Bayu arsa den lurugi//Pangeran Jagapati ika//nenggih sira kalih
Kumpeni//nulya adamel loji//ing Lateng wahu genipun//nulya sira abudhal//mring
Bayu pan sampun prapti//sampun mirsa Pangeran yen musuh prapta.
Terjemah:
[viii] Jika di
Bayu banyak orang//semua telah bersiap//dengan peralatan perang dan
senjata//jika telah banyak orang//telah bersiap semuanya//tak ketinggalan
dengan sumpitnya//yang menjadi pemimpinnya//adalah Pangeran Jagapati//Jagalara
yang menjadi patihnya.
[ix] Tuan Rek berkata//Bayu
akan diserbu//Pangeran Jagapati itu//oleh pasukan Kompeni//lalu mereka membuat
loji//di Lateng tempatnya//segera berangkatlah//menuju Bayu dan telah
tiba//Pangeran Jagapati telah mengetahui//jika musuh telah datang.
Oleh karena banyak
penduduk yang berbondong-bondong pindah ke Bayu tersebut, akhirnya Kompeni
bersiasat untuk menghukum pemberontak dengan mengirim ratusan prajurit yang
dipimpin oleh Kartanagara dan Jaksanagara pada 2 Agustus 1771. Setibanya di Bayu,
mereka mendapatkan perlawanan gigih dari masyarakat dan terpaksa gerakan yang dipimpin
Bupati Blambangan pertama dan kedua dari pihak Kompeni itu menarik barisan. Selang
beberapa hari kemudian, 4 Agustus 1771, Residen Schophof mengirim pasukan ke
Bayu di bawah komando Letnan Biesheuvel untuk mencari tempat persembunyian para
pemberontak. Namun upaya pencarian itu tidak membuahkan hasil yang diharapkan (Margana,
2012: 174).
Tak habis akal, pada
pekan berikutnya, Kompeni menyerang markas pemberontak di Bayu yang diperkuat dengan
lebih banyak tentara dan persenjataan yang memadai. Akan tetapi penyerangan
mereka berhasil dilumpuhkan oleh para pemberontak dan bahkan sejumlah senapan, rantak,
dan amunisi berhasil direbut. Dalam penyerangan ini banyak pasukan Kompeni yang
terbunuh dan terluka, termasuk juga Letnan Imhoff, seorang komandan ekspedisi ini.
Serangan selanjutnya dilakukan oleh Kompeni pada 22 September 1771 hingga ke
benteng Bayu. Mengetahui penyerangan itu, Rempeg Jagapati menyusun strategi perlawanan
dengan membagi pasukan pemberontak menjadi dua sayap; di sayap kiri terdiri dari
3000 orang di bawah pimpinan Keboundha (Endho), dan sayap kanan diserahkan kepada
Kidangsalindhit (Nurmaria, 2022: 11). Pada penyerangan ini pihak Kompeni masih
belum berhasil menembus pertahanan para pemberontak.
Pada 14 Desember
1771 terjadi pertempuran besar di Susukan dan Songgon yang menyebabkan Letnan
Reijgers terbunuh dan Letnan Heinrich terluka. Karena Letnan Reijgers terbunuh,
kemudian komando dipegang oleh Vaandrig Van Schaar. Empat hari setelah kematian
Letnan Reijgers, 18 Desember, Vaandrig Van Schaar bersama 150 pasukan bergerak
ke Songgon. Gerakan itu mudah dilumpuhkan oleh Rempeg Jagapati dan beberapa pasukan
pemberontak yang hanya bersenjatakan bambu runcing dan tombak (Margana, 2012: 175).
Dalam pertempuran ini, Vaandrig Van Schaar terbunuh oleh Bapak Udun, seorang
pemberontak yang paling berani, dengan menancapkan tombak ke tubuh komandan ekspedisi
itu.
Pemberontakan masyarakat
Bayu di bawah pimpinan Rempeg Jagapati itu kemudian meluas ke berbagai daerah
di Blambangan. Di sebelah barat terdapat gerakan lain yang dipimpin oleh Bekel
Gagak Baneng di Desa Sentong. Seorang perempuan yang juga disebut Susuhunan Ratu
Gunung Raung, Sayu Wiwit, tergabung dalam gerakan ini sebagai pemegang
komando (Margana, 2012: 176). Kemudian pada 20 Maret 1772 Rempeg Jagapati menyerang
markas Kompeni di Kota (Kutalateng) bersama 1500 pasukan, 600 prajurit dari
Bali (dikirim oleh Gusti Ngurah Jembrana), dan 100 prajurit dari Sentong. Penyerangan
Rempeg Jagapati ini bertujuan untuk merebut Kota dari Kompeni, dan perebutan itu
gagal. Pertempuran terjadi secara sengit sehingga menewaskan lima prajurit yang
paling berani dan lainnya mengalami luka-luka. Setelah terjadi insiden tersebut,
Residen Schophoff memperketat patroli laut di Selat Bali dengan maksud untuk
mencegah lebih banyak prajurit Bali yang berusaha datang ke Blambangan.
Pada 20 April 1772,
sekitar 2000 prajurit dari Madura di bawah pimpinan Kapten Alap-Alap (dalam Babad
Bayu bernama Guntur Geni) sampai di Blambangan, diikuti 70 prajurit Pamekasan,
Madura dan 112 prajurit Jawa dari Besuki di bawah komando Kapten Wayan Buyung
(Margana, 2012: 178). Kompeni kemudian menyerang Desa Bayu pada 16 Mei 1772,
namun akhirnya dapat dikalahkan oleh pasukan Rempeg Jagapati. Pertempuran itu membuat
Letnan Heinrich terluka. Padahal, penyerangan tersebut memiliki kekuatan besar
yang terdiri dari 700 prajurit tombak, 300 penembak, 500 prajurit beliung, 59 Lurah,
25 Mantri, 400 punakawan, dan 200 batur. Ditambah 92 prajurit Eropa, 244 Melayu,
dan 436 prajurit pribumi (laporan VOC 3364, dalam Sri Margana, 2012).
Dalam Babad
Tawangalun, Kapten Alap-Alap (Tumenggung Alap-Alap dalam BTA) dan Rempeg
Jagapati bertarung. Kemudian pertarungan itu dimenangkan oleh Rempeg Jagapati
meski akhirnya ia terluka. Karena lukanya yang cukup parah, akhirnya Patih
Jagalara ditunjuk sebagai pengganti sementara Rempeg Jagapati dalam memimpin
pasukan bersama Sayu Wiwit. Narasi mengenai penunjukan Jagalara dan Sayu Wiwit ditulis
seperti ini (BTA, Pupuh Durma xvii):
[xvii] ana Patih
Jagalara gantinira//rehne Pangeran Jagapati//sira kang maksih kelaran//iku
minangka wakilnya//lawan Sayu Wiwit nenggih//kinarya uga//dening Pangeran
Jagapati.
Terjemah:
[xvii] Patih
Jagalara ditunjuk sebagai pengganti//karena Pangeran Jagapati//masih terluka//sebagai
wakilnya//bersama dengan Sayu Wiwit//diangkat juga//oleh Pangeran Jagapati.
Setelah pertempuran
yang berhasil mengalahkan pasukan Kompeni tersebut, sekitar 300 orang malah melarikan
diri dari Bayu akibat kelaparan. Persediaan makanan telah habis, sehingga membuat
sebagian besar masyarakat Bayu berpindah ke tempat lain dan kembali ke desa semula
mereka tinggal. Bahkan, situasi menjadi tidak menentu setelah pimpinan pemberontakan
di Bayu, Rempeg Jagapati, pada 11 Juni 1772 menghembuskan nafas terakhir akibat
pertempuran yang sebelumnya dilakukan (dalam versi lain, misalnya Babad Bayu,
Rempeg Jagapati meninggal pada 19 Desember 1771 dan dimakamkam secara rahasia
oleh kolega-koleganya). Pada awal Juli, laporan tentang kematian Rempeg
Jagapati dibenarkan oleh seorang Bali yang tertangkap ketika terjadi
penyerangan ke Kota (Margana, 2012: 180).
Kematian Rempeg
Jagapati membuat spirit pemberontakan semakin melemah. Namun, masih terdapat sekitar
2000 orang yang tersisa di Bayu (sebagian adalah perempuan dan anak-anak).
Mereka mengalami kelaparan akibat persediaan makanan telah habis. Ketika Bayu
diserang Kompeni, banyak orang terpecah ke dalam kelompok-kelompok kecil.
Sementara sisa-sisa senjata telah dibawa lari oleh Endho. Dalam situasi
demikian, bercak-bercak pemberontakan masih ada di Bayu yang terpecah ke dalam
empat kelompok; di bawah pimpinan Larat berjumlah 100 orang, 400 orang di bawah
Endho, 200 orang di bawah Kyai Rupa, dan 300 orang di bawah Malem. Dan dilaporkan
bahwa terdapat 100 orang dari Sentong dan Jember juga meninggalkan Bayu
(Margana, 2012: 181). Benteng Bayu berhasil direbut dan diduduki Kompeni pada
11 Oktober 1772.
Perempuan yang Melawan: Perlawanan Terakhir Sayu Wiwit
Seperti yang telah
diuraikan di atas, bahwa setelah kematian Rempeg Jagapati dan kejatuhan Bayu, para
pemberontak seperti Larat, Endho, Wilanda, Semprong, Lamut, dan beberapa pasukan
lainnya melarikan diri. Mereka terpisah dan membentuk kelompok-kelompok kecil (Margana,
2012: 193). Demikian juga Sayu Wiwit, ia juga selamat dan ikut melarikan diri
dari Bayu.
Kemudian percikan
perlawanan muncul di Gambiran dari para pemberontak yang masih berusaha bertahan.
Sang Susuhunan Ratu Gunung Raung, Sayu Wiwit, yang juga melarikan diri kemungkinan
besar ikut serta dalam pemberontakan yang ada di Gambiran ini. Sebab, ia tidak ikut
bersama Endho yang kala itu ditangkap oleh prajurit Kompeni di Nusa Barong,
Jember (Utomo, 2009: 65). Gerakan yang dilakukan di Gambiran tersebut dapat berlangsung
karena setelah pertempuran terakhir antara pasukan Rempeg Jagapati dan Kompeni,
ratusan orang melarikan diri dari Bayu. Salah satunya orang-orang yang berasal
dari Gambiran (Margana, 2012: 179). Namun perlawanan yang dilakukan Sayu Wiwit dan
para pemberontak yang ada di Gambiran itu dapat ditaklukkan oleh Kompeni dengan
mudah.
Selama hidupnya,
Sayu Wiwit tetap berada di pihak masyarakat Blambangan dengan perlawanan kemampuan
yang ia miliki. Setidak-tidaknya, Susuhunan Ratu Gunung Raung itu tidak berkhianat
kepada para pemberontak Blambangan dengan memihak kepada musuh, Kompeni. Sayu Wiwit
akhirnya ditangkap di Gunung Raung dalam sebuah patroli Kompeni pada Januari 1773.
Atas keberhasilan menangkap seorang perempuan yang senantiasa melawan dan memberontak
kepada Kompeni itu, para prajurit diberi 100 ronde matten oleh Vaandrug Fischer.
Setelah penangkapannya,
sejauh ini masih belum diketahui, apakah Sayu Wiwit dibunuh atau dibuang. Dalam
Babad Tawangalun hanya disebutkan “hilang kesaktiannya” yang ditulis
demikian (Pupuh Durma xxi):
[xxi] ujare kandha
setengah wahu punika//mulanira ing samangkin//Sayu Wiwit ika//ical
digdayanira//kang nusup wus musna nuli//kang pejah sigra//kinubur sri nata
ganti
Terjemah:
[xxi] Menurut
kabar yang diceritakan//itulah ihwal mula//Sayu Wiwit itu//lenyap
kesaktiannya//sosok yang merasukinya telah pergi//yang mati segera//dikubur,
penguasa pun berganti
Oleh: Dendy Wahyu Anugrah
Daftar Rujukan
Indiarti, Wiwin.,
Suhalik, dan Anasrullah, Babad Tawangalun: Wiracarita Pangeran Blambangan
Dalam Untaian Tembang. Jakarta: Perpusnas Press, 2020
Margana, Sri, Ujung
Timur Jawa 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan. Yogyakarta: Pustaka
Ifada, 2012
Nurmaria, “Gerakan
Sosial 1771 di Blambangan”. Paradigma: Jurnal Ilmu Pendidikan dan Humaniora,
Vol. 8, No. 12 (2022)
Utomo, Slamet H., Sayu Wiwit Sang Kaisar. Banyuwangi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi, 2009