Cacat Logika Para Pejabat dan Politisi

Mandakara - Dalam arena politik yang kompleks dan sering kali penuh tekanan, pejabat publik dan politisi dituntut untuk mampu mengartikulasikan ide, membujuk konstituen, dan merumuskan kebijakan yang efektif. Namun, di balik retorika yang memukau dan janji-janji manis, tidak jarang tersembunyi celah dalam penalaran yang dapat menyesatkan publik dan merugikan kepentingan bersama. Yah, namanya politisi kali, ya, yang dijual sebetulnya retorika—omongan saja. Makanya, banyak juga salah dan blundernya. Salah omong, minta maaf, salah lagi, minta maaf lagi. Begitu seterusnya, sampai bosan mengikuti dramanya. Karena, setiap hari kita semua pasti mendengar dan melihat politisi ngomong. Ya, daripada bosan dan tidak ada faedahnya, mending kita analisis argumennya. Dari situ setidaknya, kita sebagai rakyat bisa mengambil pelajaran logika yang berharga. Pejabat dan politisi, seperti orang lain, dapat melakukan dalam argumen dan kebijakan yang mereka ambil.

Apa itu Cacat Logika?

Cacat logika atau logical fallacy, yang menjadi alat yang kerap digunakan, baik secara sadar maupun tidak, menghindari tanggung jawab, atau bahkan memanipulasi opini publik. Sebelum melangkah lebih jauh, perlunya kita mengerti terlebih dahulu penjelasan mengenai “cacat logika”.  Cacat logika adalah kesalahan dalam struktur argumen yang membuat kesimpulan menjadi tidak valid, meski terlihat meyakinkan. Sementara itu, sesat pikir—fallacies—merujuk pada pola berpikir yang keliru akibat bias psikologis, seperti prasangka atau ketidakmampuan menilai informasi secara objektif. Cacat logika juga sering digunakan dalam debat politik untuk memenangkan data atau rasionalitas.

Implementasi Cacat Logika Para Pejabat dan Politisi

Pertama, Appeal to emotion (manipulasi emosi), merupakan jenis kesalahan logika yang terjadi ketika seseorang memanfaatkan emosi untuk menarik perhatian dan membuat orang lebih rentan terhadap hoaks. Kesalahan ini terjadi ketika argumen didasarkan pada emosi daripada bukti atau logika yang kuat. Appeal to emotion sering kali memanfaatkan emosi negatif, seperti rasa takut, marah, atau sedih, tetapi juga bisa memancing emosi positif, seperti senang atau simpati. Umumnya para politisi melakukan hal demikian, “kalo saya memimpin, semua rakyat akan hidup sejahtera! Tidak akan ada lagi rakyat yang miskin! Jadi, pilih saya no. 00! Maka, kita semua sejahtera!”. Kalau sedang kampanye atau debat capres atau cagub, kesalahan ini yang sering diulang-ulang—retorika saja. Argumen ini hanya mau mempermainkan emosi dan harapan konstituen saja.

Kedua, false analogy (analogi yang salah), merupakan jenis kekeliruan logika dalam penalaran induktif. Ini biasanya terjadi ketika seseorang menerapkan atau berasumsi bahwa jika dua hal atau peristiwa memiliki kesamaan dalam satu atau lebih hal, keduanya juga serupa dalam sifat-sifat lainnya. Namun, hal-hal atau peristiwa tersebut sangat berbeda, dan kesamaan tersebut tidak dapat diekstrapolasikan ke sifat-sifat lainnya.

Dalam konteks ini, terdapat satu statement yang cukup mengejutkan dan ngawur oleh pejabat tertinggi di negara ini (presiden), yaitu “hutan dan sawit, kan, sama-sama pohon. Gak usah takut deforestasi, sawit ada daunnya, kan. Jadi, mana deforestasinya?”. Dari statement tersebut berusaha memberikan analogi (perbandingan) sebagai counter isu pada kebijakan penanaman sawit sebagai tanaman hutan alam yang dianggap munculnya “deforestasi”. Hutan dan sawit itu memiliki kompleksitas yang berbeda, sehingga perbandingan ini tidak masuk akal. Jelas-jelas hutan banyak digunduli untuk pembukaan lahan sawit (deforestasi juga). Analisis singkat mengenai statement ini, menurut Dekan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada sekaligus Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI) Prof. Budi Setiadi Daryono, M.Agr.Sc.,Ph.D., menolak keras upaya penambahan perkebunan kelapa sawit yang akan mengancam kembalinya kerusakan hutan dan biodiversitas. “Kami menolak keras rencana Presiden tersebut. Banyak riset menyatakan di kawasan perkebunan sawit tidak mampu menjadi habitat satwa liar dan hampir 0% keragaman hayati berkembang di perkebunan sawit”. Selaras dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) P.23/2021 yang yang menyatakan bahwa sawit bukan termasuk tanaman rehabilitasi hutan dan lahan. Argumen fatal, untuk seorang pemimpin negara.

Ketiga, No True Scotsman (NTS), ialah kesalahan logika yang dilakukan ketika seseorang mencoba mengubah definisi sebuah kata untuk mengabaikan contoh tandingan yang valid. Secara khusus, taktik ini sering digunakan dalam argumen untuk tetap mempertahankan klaim menggeser atau memodifikasi kriteria atau definisi, sehingga lontaran kritik yang diajukan dianggap tidak relevan. Seperti percakapan pihak oposan dengan politisi berikut :

Kritikus : “Banyak anggota partai Anda yang korupsi.”

Politisi : “Mereka bukan kader sejati. Kader sejati partai kami pasti bersih!”

Dengan menggeser makna “kader sejati”, politisi mengelak dari pertanggung jawaban. Ini sama juga yang sering terjadi di kepolisian “oknum-oknum” itu, loh.

Keempat, Red Herring Fallacy (mengalihkan topik), ialah kekeliruan yang disengaja untuk menyesatkan dan mengalihkan perhatian khalayak dengan mengemukakan isu yang tidak berkaitan dengan topik yang sedang dibahas. Red Herring digunakan dengan memperkenalkan informasi yang tidak relevan yang mengalihkan perhatian pembaca atau pendengar. Taktik ini sering digunakan untuk meredam perdebatan atau mengalihkan perhatian dari inti masalah yang sebenarnya. Seperti statement salah satu pejabat berikut :“Soal pagar laut, itu sudahlah. Sekarang ini yang penting masalah soal gas elpiji 3 kg, rakyat sedang capek ngantri.” Dengan cara ini, pihak yang menggunakan “Red Herring” berharap perhatian publik teralihkan, dan isu penting yang seharusnya dibahas menjadi terlupakan.

Kelima, Bandwagon Fallacy, terjadi ketika seseorang mendasarkan validitas argumennya pada seberapa banyak orang yang percaya atau melakukan hal yang sama. Dengan kata lain, sesuatu diklaim pasti benar hanya karena adalah hal atau pendapat populer. Padahal, popularitas saja tidak cukup untuk memvalidasi suatu argumen. Seperti statement salah satu pejabat berikut : “75% rakyat menilai baik, kok, kinerja pemerintah saat ini. Jadi, pengelolaan kami sudah pasti tepat.” Dengan kata lain, sesuatu diklaim pasti benar hanya karena itu adalah hal atau pendapat populer. Padahal, popularitas bukan jaminan kebenaran. Mayoritas bisa saja salah!

Penutup

Mungkin itu sekilas cacat logika yang dilakukan oleh pejabat dan politisi. Cacat logika tidak hanya menipu publik, tetapi juga mengikis rasionalitas kolektif kita. Masyarakat yang terbiasa dengan argumen sesat akan kesulitas mengevaluasi kebijakan secara kritis. Dengan mengenali pola-pola ini, kita selaku masyarakat bisa lebih kritis dalam menilai retorika dan janji-janji politisi. Seperti kata Neil deGrasse Tyson : “...Tapi tanpa kebenaran, politik hanya jadi permainan kekuasaan.”

 

Oleh : Fawaid Abdullah Abbas (PMII Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi)

Rujukan :

Detik.com. (2024, 27 Juli). Apa Itu Logical Fallacy? Ini Arti, jenis-jenis, dan Contohnya.

https://www. Gotquestions.org. (2022, 04 Juni). Apa Itu Kekeliruan No True Scotsman?.

Kanal24.co.id. (2024, 14 April). Logical Fallacy Appeal to Emotion: Peran Emosi dalam Penyebaran Hoaks.

Logical-fallacy.com. (2020, 23 November). Analogi Palsu – Definisi dan Contoh.

Theblurruniverse. (2025, 13 Februari). Logika Ngawur: Memahami Cacat Logika & Sesat Pikir Melalui Argumen Para Pejabat & Politisi [Instagram Post]. https://www.instagram.com/p/DF_yLSLSRXK/?igsh=MXBqcW5rcDVxNG12ZA==

Lebih baru Lebih lama