Saya, Mu’ammar Rizal Fauzi, selaku Sekretaris Cabang PMII Jakarta Pusat sekaligus alumni santri, menilai langkah KPI ini bukan sekadar kelemahan prosedural, tetapi tanda krisis keberanian untuk menegakkan moral di tengah industri media yang semakin rakus mengejar sensasi. Krisis keberanian untuk berdiri di sisi publik, bukan semata di bawah bayang-bayang kepentingan komersial.
Kita perlu bertanya dengan jujur: siapa sebenarnya pemasok konten “uncensored” itu?
Dari mana sumbernya?, siapa yang menyetujui tayanganya?, dan bagaimana bisa lolos sensor lembaga penyiaran nasional? KPI tidak boleh berhenti di sanksi administratif; lembaga ini harus mengusut tuntas jaringan produksi dan distribusi konten vulgar tersebut. Sebab jika tidak, publik berhak menilai bahwa KPI sedang menutup-nutupi sesuatu. Keputusan yang mendadak justru semakin menimbulkan tanda tanya, apakah ada tekanan?, ataukah ada kepentingan yang sedang dijaga?
Sebagai seorang santri yang ditempa di pesantren, saya meyakini bahwa media adalah ruang moral publik, tempat masyarakat menimba nilai, bukan menelan keburukan. Setiap tayangan yang melanggar kesopanan, apalagi disiarkan di jam publik, bukan sekadar “kesalahan teknis.” Itu serangan terhadap nilai-nilai budaya bangsa. Dan ketika lembaga sekelas KPI bersikap ringan tangan, maka sesungguhnya kita sedang menyaksikan pembiaran moral atas nama prosedur.
Saya tidak berbicara sebagai moral police. Saya berbicara sebagai bagian dari generasi muda yang masih percaya bahwa integritas lembaga publik harus dijaga. KPI tidak boleh menjadi lembaga yang sibuk membuat pernyataan, tapi gagap dalam penegakan. KPI harus membuktikan diri sebagai pengawal ruang siar bangsa, bukan hanya sebagai petugas administrasi yang menandatangani surat sanksi tanpa adanya nurani.
Saya menyerukan agar KPI membuka secara transparan proses investigasi tayangan Xpose Uncensored: siapa produsernya?, siapa pihak eksternal yang terlibat?, dan siapa pemasok materi “uncensored” yang melanggar norma tersebut?. Jika ada unsur kesengajaan, maka itu harus dibawa ke ranah hukum, bukan hanya etika penyiaran. Negara tidak boleh kompromi terhadap hal-hal yang menggerus kesopanan publik.
Sebagai Sekretaris Cabang PMII Jakarta Pusat sekaligus alumni santri, saya percaya: tugas kita bukan hanya melawan kebodohan, tapi juga melawan pembiaran. Ketika moral publik dilukai, diam berarti ikut bersalah. Dan karena itu, saya berdiri untuk menegaskan: bahwa sanksi ringan tidak cukup, KPI harus meninjau ulang keputusannya, dan pemasok konten vulgar itu harus diusut hingga tuntas; siapa pun di baliknya.
Media adalah wajah bangsa. Jika wajah itu dikotori oleh konten yang tak bermoral, dan dibersihkan hanya dengan tisu sanksi administratif, maka kita sedang bercermin pada kebohongan. Dan kebohongan seperti itu tidak boleh dibiarkan hidup di negeri yang menjunjung adab dan iman.