Kadang saya mikir, gimana kalau hari ini saya bikin sebuah faham baru aja. Bukan tentang politik, bukan juga spiritualitas, tapi tentang realitas paling remeh yang ternyata paling menguasai hidup kita: takut ketinggalan. Saya kasih nama: FOMOisme.
Fahamlah yang lahir bukan dari kitab suci,
tapi dari timeline. Bukan dari ruang kuliah, tapi dari layar yang nggak pernah berhenti update. Karena jujur aja, hidup kita sekarang tuh
kayak digerakkan oleh satu perasaan halus tapi dalam: rasa ketinggalan. ketinggalan berita,
ketinggalan trend,
ketinggalan gosip, ketinggalan momen penting, bahkan ketinggalan upload
story.
Itu yang orang Barat sebut Fear of Missing Out, alias FOMO.
Tapi kalau ketakutan ini udah berubah jadi
pola pikir, nilai sosial, dan gaya hidup, bukankah itu udah bisa disebut ideologi?. Jadi ya, kenapa nggak saya sebut aja: FOMOisme, ideologi manusia modern
yang hidupnya dikendalikan oleh ketakutan buat nggak ikut apa-apa.
Hidup di Tengah Ketakutan Kolektif
Kalau dulu orang sibuk mikirin makna
hidup, sekarang orang sibuk mikirin update story. Kalau dulu komunikasi itu soal berbagi makna, sekarang komunikasi berubah jadi
lomba siapa paling dulu tahu, paling sering muncul, paling kelihatan produktif.
Dalam pandangan sosiologi komunikasi,
FOMOisme ini bisa dibilang semacam kesadaran kolektif baru. Kita nggak lagi berkomunikasi untuk memahami, tapi untuk menegaskan
keberadaan diri. Posting bukan untuk ngobrol, tapi buat memastikan kita “masih ada”. Dan yang lucu: orang sekarang takut banget
nggak kelihatan, bahkan di dunia yang udah penuh cahaya dari layar HP-nya
sendiri.
Sosial Media, Tempat Ibadah Kaum FOMOis
Coba aja lihat Instagram, TikTok, X
(Twitter), bahkan LinkedIn. Semuanya punya ritual ibadah masing-masing. Posting story pagi-pagi, update kerjaan tiap minggu, ikut tren baru setiap
muncul. Kayak ada perintah tak tertulis: kalau nggak update, lo nggak eksis.
Media sosial akhirnya jadi semacam tempat
ibadah baru, dan notifikasi jadi azannya. Dalam kajian komunikasi, ini disebut performative presence — kehadiran
yang lebih penting dari keberadaan. Sedangkan dalam sosiologi, ini bisa dibaca sebagai bentuk konformitas baru: bukan lagi takut melanggar norma, tapi takut ketinggalan momen.
Bang Sholeh dan FOMO Baru: “Takut Nggak Nulis”
Di tengah arus besar FOMOisme yang bikin semua orang panik pengin ikut, muncullah satu sosok absurd tapi menarik: Bang Sholeh. Dia nggak FOMO TikTok, nggak FOMO gosip, nggak juga FOMO update politik. Tapi... dia FOMO Menulis. Ya, dia takut bukan ketinggalan tren, tapi takut kehilangan pikirannya sendiri. “Aku nulis bukan karena semua orang nulis, tapi karena aku takut kehilangan pikiranku sendiri.”
Lucu, tapi dalem banget. Bang Sholeh adalah representasi orang yang masih punya kecemasan
eksistensial — tapi diarahkan ke hal yang produktif. Kalau masyarakat digital takut ketinggalan notifikasi, dia takut
ketinggalan refleksi. Dia tetap FOMO, tapi dalam versi yang lebih bermakna.
Dalam teori komunikasi, Bang Sholeh sedang
melakukan redefinisi makna FOMO. Bukan untuk konsumsi, tapi untuk kreasi. Bukan untuk tampil, tapi untuk mengingat siapa dirinya.
Jadi, Apa Itu FOMOisme?
FOMOisme bisa dibilang ideologi komunikasi
modern: sebuah sistem nilai yang menjadikan keterhubungan dan kecepatan sebagai moral
baru. Kalau nggak update, dianggap nggak relevan. Kalau nggak ikut, dianggap nggak tahu. Kalau nggak tampil, dianggap nggak hidup.
Sosiologi menyebut ini kesadaran
digital, di mana eksistensi manusia diukur bukan dari pemikiran, tapi dari keterlibatan. Yang paling cepat adalah yang paling benar. Yang paling aktif adalah yang paling penting. Dan yang paling online adalah yang paling hidup.
Mungkin Kita Butuh Sedikit FOMO yang
Benar
Saya nggak bilang FOMO itu salah. Yang salah itu kalau FOMO-nya cuma bikin kita konsumtif, panik, dan kehilangan
arah. Kayak Bang Sholeh, mungkin kita perlu FOMO yang lain: takut ketinggalan waktu untuk menulis, untuk berpikir, untuk mengenali diri
sendiri. Karena bisa jadi, di zaman di mana semua
orang takut nggak tampil, diam dan berpikir itu justru tindakan paling revolusioner.
Penutup
Jadi, kalau hari ini saya bilang saya mau
bikin faham baru bernama FOMOisme, jangan langsung diketawain dulu. Karena ini bukan soal teori aneh-aneh, tapi soal cara baru manusia memahami
dirinya di tengah dunia yang makin bising. Dan kalau nanti ada yang nanya, “Emang siapa pengikut pertamanya?” Saya bakal jawab santai aja: Lihat Bang Sholeh. Dia nggak FOMO TikTok, tapi FOMO Menulis.
Oleh: Aldi Asy Syaikh Ar-Rois (Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi)