Prodo Imitatio: Cerminan Dunia Akademik



Mandakara - Dilatarbekalangi oleh gelaran Pentas Produk “Fall Season” yang diselenggarakan oleh Asosiasi Teater Banyuwangi (ATB) berkolaborasi dengan Teater Pinggir Kali (Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi – UNIIB) pada Selasa (30/9/2025), salah satu penampilan menarik perhatian saya untuk menyusun tulisan ini dengan cukup hati-hati.

Mungkin saat semester 5 di UNIIB (dulu masih IAI Ibrahimy Genteng Banyuwangi), saya memiliki angenan untuk join di UKM Teater ini. Namun, dengan beberapa pertimbangan, saya mengurungkan niat yang masih seperempat persen itu. Kendati demikian, tetap tidak membuat syahwat saya untuk menonton pagelaran teater di kampus menyusut. Sebaliknya, justru semakin bersyahwat. Walaupun amatiran. Heuheuheu. 

Dalam gelaran tersebut, saya menyoroti salah satu dari tiga pementasan yang ditampilkan, yakni monolog Prodo Imitatio gubahan Arthur S. Nalan. Saat aktor menyatakan: “… Siapa berkenan pesan hubungi saja University Of Zuzulapan yang pusatnya di Amarakua, tetapi cabangnya ada di sini, ya aku sendiri, Prodo Imitatio rektornya,” secara serampangan saya pahami, bahwa Prodo adalah singkatan dari Profesor Doktor dan Imitatio sebagai padanan kata yang dalam Bahasa Indonesia disebut imitasi (tiruan atau palsu).

Lontaran kalimat itu aktor lafalkan setelah memvisualisasikan integritas palsunya dengan membacakan judul-judul buku tebal – Kitab 1000 Gelar, Kitab Kiat-Kiat Jual Beli Gelar, Masa Depan Cemerlang Bersama Prodo Imitatio, Seni Berfikir Negatif – kemudian membuangnya satu per satu, mengambilnya kembali, menyusun, lalu mendudukinya. Garis besar dari pesan yang terkandung dalam monolog tersebut ialah praktik jual beli gelar di dunia akademik, yakni perguruan tinggi.

Karena tidak mengikuti teater atau bukan orang yang begitu paham dengan karya sastra, dalam hal ini monolog, saya merasa tidak memiliki otoritas untuk memberikan kritik terhadap karya ini (sebagaimana disiplin ilmu kritik sastra). Dalam tulisan ini, saya cenderung ingin membedah garis besar pesan yang memiliki dampak besar bagi atmosfer dunia pendidikan, yakni jual beli gelar.

Kendati saya tidak akan memberikan kritik, mungkin tulisan ini juga bisa disebut sebagai resepsi sastra kecil-kecilan (bukan pernikahan) terhadap karya Nalan tersebut. Resepsi sastra sendiri merupakan bentuk pembacaan atau tanggapan pembaca terhadap karya sastra (Didipu, 2021:104). Adanya resepsi ini pada dasarnya merupakan konsekuensi dari pembuatan karya sastra itu sendiri, sebab karya sastra tidak akan memiliki makna apapun jika hanya ditulis, kemudian dinikmati sendiri oleh penulisnya.

Aksi Prodo Imitatio dalam Pentas Produk "Fall Season" ATB x Teater Girli UNIIB yang berdiri di samping lambang pohon gelar; lambang University of Zuzulapan.


Selayang Pandang Monolog Prodo Imitatio

Monolog ini digubah oleh Arthur S. Nalan dengan tokoh utama bernama Prodo Imitatio. Seorang “akademisi”, seorang profesor doktor palsu, yang masa kecilnya dihinggapi rasa malas untuk sekolah. Namun, karena ia merupakan anak orang berpunya, semua fase sekolah, mulai dari sekolah dasar hingga menengah atas, bahkan pendidikan tinggi, diselesaikan menggunakan uang, lalu uang dan uang lagi.

Prodo Imitatio ini menjadi figur akademisi penjual gelar di University of Zuzulapan yang pusatnya di Amarakua. Dan ia menjabat sebagai rektor cabang kampus tersebut. Bersama timnya di kampus cabang, ia menyusun dan mencetak buku-buku, menawarkan gelar S1, S2 dan S3 yang dapat mudah dimiliki hanya dengan uang. Singkat cerita, ia masuk dalam Hotel Prodeo, yakni sebuah penjara, sebagai hukuman atas tindakan nir-etik dalam dunia akademik.

Ia mengutuk keras atas hukuman yang ia terima, sedangkan kliennya (pembeli gelar) sama sekali tidak tertangkap, apalagi dipenjara, bahkan menjadi orang-orang penting di Amarakua. Ia menyadari bahwa apapun dapat dibeli dengan uang.

Ia menganalogikan praktik kentir ini seperti pelacur yang ditangkap-ditindak, sedangkan lelaki hidung belang tidak pernah dijerat. Selama ada lelaki hidung belang, tempat pelacuran berikut wanitanya juga akan tetap ada. Sepadan, selama pencari gelar akademik tanpa proses studi masih menjamur, selama itu pula praktik jual beli gelar tetap tumbuh subur.

Di akhir cerita, ia menekankan bahwa praktik jual beli gelar hanya terjadi di Amarakua, bukan di Indonesia. Kalimat ini seolah implisit, namun dapat ditangkap dengan mudah tanpa harus dipahami sebagai metafora.

Sastra: Medium Kritik Sosial Simbolik


Sudah mafhum bagi banyak kalangan, bahwa karya sastra tidak hanya berkutat pada sederet kata yang menjadi kalimat-kalimat indah semata. Lebih dari sekedar estetika, karya sastra pun juga telah digunakan untuk medium kritik, lebih-lebih untuk melawan penindasan. Banyak sastrawan Indonesia yang menorehkan karyanya, entah berupa puisi, naskah drama/monolog dan sebagainya, untuk kepentingan reaksi kritis terhadap banyak aspek; sosial, pendidikan, ekonomi, politik, maupun yang lainnya.

Hal ini menunjukkan bahwa sastra juga berkaitan dengan kondisi sosial, atau juga bisa dikatakan – sebagaimana kata Sapardi Djoko Damono – berhubungan erat dengan disiplin ilmu sosiologi. Sebab, keduanya berbagi masalah yang sama. Ia juga menambahkan bahwa hubungan tersebut pada akhirnya juga dapat dipahami bahwa sastra merupakan cermin dari zamannya; persoalan struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas dan sebagainya (Damono, 1978:7-9). Dalam hal ini, monolog Prodo Imitatio sebagai karya sastra, juga menggambarkan bagaimana kondisi sosial, khususnya persoalan pendidikan tinggi yang telah mengalami dekadensi nilai.

Fungsi sastra yang tidak sekedar estetika kata, tapi menjadi medium kritik sosial tersebut, jika dilayangkan kepada publik, secara tidak langsung akan membentuk wacana dalam kehidupan sosial. Wacana, menurut Foucault (dalam Salamah, 2024:139) bukanlah sekedar kumpulan kata-kata, melainkan sebuah sistem pemikiran yang akan membentuk realitas.

Di sisi lain, fungsi karya sastra sebagai medium kritik sosial merupakan bentuk reaksi yang bersifat simbolik, dan Foucault (dalam Salamah, 2024:140) yakin bahwa kritik – dalam konteks ketidakadilan memakai istilah perlawanan – tidak harus secara eksplisit; fisik. Kalimat-kalimat yang eksplisit maupun dalam bentuk metafora yang terkandung dalam naskah monolog menjadi khas sastra saat memberikan respon, kritik ataupun perlawanan. Seperti dalam naskah monolog Nalan:

“Manakala untuk memperoleh gelar itu sulit, harus bersusah payah, kerja keras, berkorban waktu, pikiran dan tenaga serta dana. Munculah seorang dewa penolong yang siap memberi gelar dari S1, S2, S3, bisa apa saja dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, segala sesuatu yang menyangkut pemberian gelar diselesaikan dengan sejumlah uang, untuk wisudanya di hotel berbintang,” (naskah lengkap di Peksimidajakarta.blogspot.com).

Fungsi sastra sebagai medium kritik berikut membentuk wacana dalam kehidupan sosial ini tidak ujug-ujug muncul begitu saja. Ketimpangan, penindasan, ketidakadilan, ataupun hal-hal yang tidak beres, menjadi muara sebuah karya sastra dibuat.

Merespon, melawan maupun mengkritik melalui karya sastra tidak sekedar untuk kebutuhan eksistensi sastrawan atau penulis belaka. Justru sastra hadir sebagai alarm bagi ketidakberesan-ketidakberesan sosial dan berorientasi pada terbangunnya kesadaran baru maupun perubahan sosial (Wahyuni, 2018:35).

Sifat karya sastra yang memuat kritik sosial atas penyimpangan-penyimpangan ini hakikatnya tidak untuk mengundang sentimen, melainkan mengharapkan penerimaan wajar sebagai masukan agar menjadi penyegaran bagi kehidupan masyarakat (Rendra, 2001:15). Maka, hal ini pun juga berlaku bagi monolog Prodo Imitatio sebagai respon terhadap praktik jual beli gelar di perguruan tinggi, yang seyogianya memberikan tamparan bagi oknum individual maupun komunal (kampus). Apalagi perguruan tinggi menjadi manifestasi arena intelektual yang seharusnya mencerminkan kearif-bijaksanaan.

Jual Beli Gelar: Wajah Dekadensi Dunia Akademik

Perguruan tinggi sebagai manifestasi arena intelektualitas, dalam Bahasa Latin disebut sebagai magistrorum et scholarium – komunitas kaum terpelajar, komunitas kaum intelektual, komunitas yang menumbuhkan dan merawat marwah akademik – sudah seharusnya dapat menunjukkan integritasnya (Tempo.com). Noam Chomsky (2016) menyebut bahwa akademisi perguruan tinggi bukanlah teknokrat yang sangat administratif dan hanya diam saat muncul penindasan maupun ketidakadilan, atau secara umum bisa dikatakan penyimpangan-penyimpangan sosial.

Ironisnya, perguruan tinggi hari ini telah mengalami dekadensi nilai. Selain hanya menjadi wadah bagi para intelektual di atas kertas dan administratif, perguruan tinggi telah kehilangan marwahnya, sebab melakukan tindakan kontraproduktif berupa jual beli gelar.

Terkait hal ini, di Indonesia sudah banyak kasus (khususnya medio 2015 – 2017) tentang rekayasa pengajuan jabatan fungsional guru besar. Juga tidak sedikit praktik pemberian gelar doctor honoris causa (HC) kepada orang-orang yang sebenarnya tidak memenuhi syarat mendapat gelar kehormatan tersebut.

Dosen-dosen yang sangat administratif akan mengejar gelar guru besar, bahkan dengan jalan yang tidak pantas. Seperti yang menimpa 11 guru besar di Universitas Lambung Mangkurat (ULM) 2024 lalu. Mereka merekayasa pengajuan guru besar dengan mengirimkan karya ilmiah ke jurnal predator. Jurnal predator sendiri ialah sebuah jurnal internasional yang dalam proses untuk menerbitkannya tidak melalui proses review dan tidak melalui proses penyuntingan dengan baik dan benar (Tempo.com).

September lalu (2025), Kemendiktisaintek kembali mencopot 17 gelar guru besar dosen ULM. Diduga kuat, ambisi rektor yang menginginkan kampusnya memiliki 50 profesor menjadi akar dari praktik tidak sehat tersebut (Kalseldaily.com).

Saat kepentingan administratif akademik lebih besar daripada kepentingan akademik itu sendiri, justru akademisi di perguruan tinggi berlomba-lomba dalam menaikkan jabatan fungsionalnya, dan skandal akademik di ULM menjadi satu contoh bahwa dunia akademik di Indonesia tidak baik-baik saja.

Tidak hanya dari kalangan akademisi sendiri, politisi-politisi pun juga membutuhkan validasi dengan syahwat memiliki gelar doktor, contohnya Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia. Terindikasi bahwa dua artikel ilmiah yang diajukan sebagai persyaratan program doktornya masuk dalam jurnal predator, yang oleh Scopus telah diberhentikan pada tahun 2022 (Tempo.com).

Selain itu, marwah perguruan tinggi juga mengalami dekadensi karena memberikan gelar doctor honoris causa kepada pejabat-pejabat (politisi). Gelar ini seharusnya diberikan oleh perguruan tinggi (yang memiliki program doktor terakreditasi unggul atau A) kepada seseorang yang telah berkontribusi luar biasa dalam ilmu pengetahuan, teknologi maupun kemanusiaan (Tempo.com). Praktik ini erat kaitannya dengan transaksi politis di satu sisi dan validasi bagi pejabat serta kepentingan di sisi lain.

Gelar doctor honoris causa yang didapatkan politisi tanpa benar-benar memiliki kontribusi nyata dalam ilmu pengetahuan, teknologi maupun kemanusiaan, dapat dipahami sebagai kiat mempertahankan status quo, dalam hal ini jabatan politik dan popularitasnya. Dengan demikian, perguruan tinggi sudah tidak lagi menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, dan dampaknya dapat menggerus meritokrasi.

Orang (politisi) atau urusan yang sudah tidak lagi ditempatkan pada tempatnya, menurut sebuah hadis (Al-Bukhari), maka tinggal menunggu kiamatnya saja. Hal ini terjadi pada 2021 lalu, yakni saat Ma’ruf Amin (saat masih Wakil Presiden) dan Erick Thohir (saat masih Menteri BUMN) direncanakan akan diberi gelar doctor honoris causa oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Fakultas Ilmu Olahraga Universitas Negeri Jakarta.

Keduanya mendapatkan respon kontra dari internal kampus sendiri, yakni Aliansi Dosen UNJ. Masih samarnya kontribusi kedua tokoh itu, berikut ketidaktepatan pemberian kepada Erick Thohir oleh Fakultas Ilmu Olahraga – ia adalah pebisnis, dan apa hubungannya dengan olahraga (Tempo.com) – menunjukkan bahwa ada yang salah dari implementasi pemberian gelar kehormatan itu. Dan secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa orientasi pemberian gelar tersebut tidak sungguh-sungguh didasarkan pada kontribusi konkret, melainkan keuntungan bagi keduanya – kampus mendapat keuntungan dan yang diberi gelar mendapat validasi.

Dosa Sosial dan Korosi Meritokrasi

Melihat praktik jual beli gelar yang kentir dalam perguruan tinggi, saya teringat suatu konsep seorang humanis asal India, yakni Mahatma Ghandi. Gandhi menyatakan bahwa ada tujuh dosa yang akan menghancurkan kehidupan sosial, yakni kekayaan tanpa kerja, kenikmatan tanpa hati nurani, pengetahuan tanpa karakter, perdagangan tanpa moralitas, sains tanpa kemanusiaan, agama tanpa pengorbanan dan politik tanpa prinsip (Mkgandhi.org).

Dari semua dosa sosial di atas, saya hanya akan mengutip salah satu di antaranya, yakni pengetahuan tanpa karakter. Kita sebagai bangsa Indonesia seyogianya tahu bahwa pendidikan – menurut Ki Hajar Dewantara – bermaksud memberikan kemerdekaan lahir dan batin bagi peserta didik. Hal ini menandakan keharusan bagi proses pendidikan (mulai dasar hingga pendidikan tinggi) yang tidak sekedar berorientasi pada perlawanan terhadap kebodohan yang terejawantah dalam pengajaran (merdeka lahir) saja, melainkan juga pada proses pertumbuh-kembangan kecenderungan peserta didik yang lebih berkarakter – Dewantara menyebutnya potensi/kodrat – yang terejawantah dalam proses mendidik, dan inilah yang dimaksud dengan kemerdekaan batin (Dewantara, 2011:48).

Ketika praktik jual beli gelar lancar terjadi, yang tercermin dari dunia akademik itu sendiri bukannya akademisi berkarakter, justru malah kentir. Secara intelektualitas hanya berfungsi untuk kepentingan administrasi dan validasi, sedangkan karakteristik intelektual untuk turut andil dalam perubahan sosial yang lebih baik terlupakan.

Pengajuan guru besar yang dilakukan dengan jalan tidak etis, serta pemberian gelar kehormatan yang tidak didasarkan pada kompetensi, membuat para akademisi yang sebetulnya berkompeten tidak lagi merasa terapresiasi. Dan akan lebih parah lagi, jika orang-orang yang berkompetensi di bidang-bidang tertentu tidak mendapatkan ruang, karena tidak memiliki akses ataupun modal untuk menunjang eksistensinya, sebab kalah dengan akademisi, tokoh atau pejabat yang memiliki modal besar, apalagi memegang jabatan politik.

Meritokrasi mengalami korosi, sebab label “berkompetensi” dapat dibeli. Jika monolog Prodo Imitatio tidak dapat mengguyur kesadaran para akademisi, pimpinan perguruan tinggi maupun pemegang kebijakan pendidikan di Indonesia – bukan di Amarakua – maka, wajah dunia akademik di Indonesia hanya sebatas gelar dan kertas belaka. Bukan pengetahuan, apalagi kebijaksanaan.

Penulis: Bang Sholeh (Sarjana Dua Tahun Lalu)

Daftar Bacaan Lanjut

    Chomsky, Noam. 2016. Who Rules The World. Penerjemeh Eka Saputra. Yogyakarta: Penerbit Bintang

    Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

    Dewantara, Ki Hajar. 2011. Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa

    Didipu, Herman. 2021. Kritik Sastra: Tinjauan Teori dan Contoh Implementasi. Yogyakarta: Zahir Publishing

    https://kalseldaily.com/2025/09/27/skandal-ulm-berlanjut-kini-17-guru-besar-dicabut-tiga-dekan-terseret/

    https://peksimidajakarta.blogspot.com/2018/07/kumpulan-naskah-monolog.html diakses pada 22 Oktober 2025

https://www.mkgandhi.org/mgmnt.php#knowledge

    https://www.tempo.co/kolom/robohnya-marwah-universitas-dari-korupsi-hingga-jual-beli-doktor-honoris-causa--540470

    https://www.tempo.co/politik/11-dosen-fh-rekayasa-syarat-guru-besar-ulm-bentuk-tim-pencari-fakta-42360

    https://www.tempo.co/politik/obral-gelar-doktor-honoris-causa-dinilai-ancam-kebebasan-akademik-460889

    https://www.tempo.co/sains/mengenal-apa-itu-jurnal-predator-dan-ciri-ciri-predator-jurnal-ilmiah-335976 diakses pada 23/10/2025

Rendra. 2001. Penyair dan Kritik Sosial. Yogyakarta: Kepel Press

    Salamah, Umi. 2024. Foucauldian: Kritik Hegemoni Orde Baru (Studi Karya-Karya W.S. Rendra). Malang: Literasi Nusantara Abadi

    Wahyuni, Neneng. 2018. KRITIK SOSIAL DALAM TEKS SASTRA PUISI. Jurnal Ilmu Pendidikan Ahlussunnah Vol. 1 (1)

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama