Belajar sebagai Sumpah Baru: Menyalakan Ghirah Intelektual di Tengah Kejumudan Kader Nahdliyyin


Mandakara - Bangsa ini tak kekurangan pemuda pandai, hanya kekurangan kesadaran.

Setiap tahun, 28 Oktober datang dengan gegap gempita, pamflet bertuliskan Selamat Hari Sumpah Pemuda, dan jargon kebangkitan pemuda fyp di mana-mana. Tapi entah kenapa, semangat itu berhenti di flyer dan tidak pernah merembes ke kepala. Kita merayakan sumpah pemuda seolah itu pesta, bukan peringatan tentang keseriusan berpikir. Akibatnya, kader hari ini tumbuh dalam budaya simbolik: semangat berorganisasi tinggi, tapi ghirah belajar nyaris tak terdengar napasnya.

Menurut Sigmund Freud, manusia sering menekan dorongan intelektual (id) karena takut menghadapi realitas pikirannya sendiri. Kader Nahdliyyin pun begitu: lebih nyaman tenggelam dalam medsos daripada tenggelam dalam buku. Padahal, seperti kata Mbah Tolchah Mansoer dalam Idealisme Sang Kiai Intelektual, “Ilmu bukan sekadar pelengkap aktivitas, tapi fondasi moral perjuangan. Sayangnya, kita lebih sering mengejar posisi struktural daripada kedalaman intelektual. Kita kehilangan yang paling penting: makna mengapa kita belajar.

Robert E. Slavin dalam Psikologi Pendidikan:  Teori dan Praktik, menjelaskan bahwa motivasi belajar tumbuh dari rasa memiliki terhadap proses belajar itu sendiri. Inilah yang hilang dari banyak kader hari ini: belajar dianggap tugas, bukan kebutuhan. Maka benar kata Gus Dur, “berpikir itu bagian dari ibadah.” Belajar bukan sekadar menambah pengetahuan, tapi menegakkan martabat kemanusiaan. Jika sumpah pemuda dulu menyatukan nusa, bangsa, dan Bahasa, maka sumpah kita hari ini adalah menyatukan hati, nalar, dan ghirah belajar, agar kader tidak hanya hidup dalam struktur, tapi juga sadar dalam pikirannya.

Maka dalam tulisan ini saya akan mencoba membedah “Kemandegan Ghirah Belajar di Kalangan Kader Nahdliyyin: Dari Krisis Kesadaran hingga Kelesuan Intelektual,” dengan pandangan psikoanalisis Sigmund Freud, nilai-nilai intelektual Mbah Tolchah Mansoer, kebijaksanaan jenaka Mbah Mahbub Djunaidi, kebebasan berpikir ala Gus Dur, dan teori motivasi belajar dari Robert E. Slavin.

Krisis Kesadaran: Saat Pikiran Mati dalam Keaktifan

Kader hari ini banyak yang rajin hadir, tapi jarang hadir sepenuhnya. Tubuhnya di forum, pikirannya di notifikasi hpnya. Fenomena ini bukan sekadar kemalasan berpikir, tapi krisis kesadaran eksistensial—sebuah titik di mana seseorang kehilangan arah tentang mengapa ia belajar, untuk siapa ia berjuang, dan ke mana pikirannya hendak menuju.

Dalam pandangan Sigmund Freud, manusia memiliki dorongan bawah sadar yang sering kali ditutupi oleh ego sosial. Kader yang tampak aktif sebenarnya bisa jadi sedang menekan rasa takut akan ketertinggalan intelektual. Mereka mengganti bacaan dengan rapat, mengganti renungan dengan laporan, seolah-olah kesibukan adalah bukti kesadaran. Padahal, kesadaran sejati bukan tentang berapa kali hadir di forum, tapi seberapa dalam ia memahami dirinya dalam perjuangan.

Jika diibaratkan rumah, kesadaran kader Nahdliyyin saat ini seperti listrik yang tersambung tapi lampunya padam. Alirannya ada, tapi tak menerangi apa-apa. Kita terbiasa berteriak tentang perubahan tanpa benar-benar tahu apa yang harus diubah dalam diri. Maka tak heran jika kader merasa jenuh—karena berjuang tanpa arah sama lelahnya dengan berlari tanpa tujuan. Krisis kesadaran inilah akar dari semua kemalasan yang tampak.

Kelesuan Intelektual: Dari Aktivitas ke Kekosongan

Mbah Mahbud Djunaidi pernah menulis “Yang paling menakutkan bukan orang bodoh, tapi orang yang merasa pintar karena sering rapat.”

Kutipan itu seperti cermin yang retak di depan wajah kader Nahdliyyin masa kini. Kita hidup di era di mana acara seremonial lebih ramai daripada perpustakaan, dan sertifikat lebih diburu daripada substansi. Ilmu dijadikan aksesoris perjuangan, bukan jantungnya.

Mbah Tolchah Mansoer mengingatkan bahwa ilmu dan perjuangan adalah dua sisi mata uang yang tak boleh dipisahkan. Ketika ilmu hanya dijadikan formalitas, maka perjuangan akan kehilangan arah moralnya. Di sinilah muncul kelesuan intelektual—keadaan di mana pikiran berhenti berkembang meski tubuh tampak sibuk.

Menurut Robert E. Slavin, kelesuan seperti ini muncul karena hilangnya motivasi intrinsik dalam belajar. Kita tidak lagi belajar karena ingin tahu, tapi karena takut dianggap tidak tahu. Kader yang haus pengakuan akhirnya hanya memelihara pengetahuan yang dangkal, sementara kedalaman makna tak pernah digali. Kalau kata Gus Dur, “banyak orang bisa bicara tentang Islam, tapi sedikit yang berpikir dengan cara Islam.” Artinya, banyak kader tahu teks, tapi tak memahami konteks.

Analogi sederhananya begini: seorang petani bisa menanam padi tiap hari, tapi kalau ia tak lagi mengerti kenapa ia menanam, sawahnya akan tetap tandus di hati. Begitu pula kader—belajar tanpa makna hanya akan menghasilkan kelelahan, bukan kemajuan. Dan di titik inilah kita perlu bertanya jujur: apakah kita benar-benar belajar, atau hanya sedang menjaga citra sebagai pembelajar?

Pemulihan Ghirah: Menyalakan Kembali Api yang Redup

Namun tidak semua abu berarti padam. Kadang, di balik kejumudan, masih tersisa bara kecil yang menunggu tiupan kesadaran. Inilah tugas kita: memulihkan ghirah belajar bukan dengan seruan kosong, tapi dengan menyalakan makna.

Freud menyebut proses penyembuhan neurosis dilakukan lewat insight—kesadaran baru yang muncul setelah seseorang mengenali akar persoalannya sendiri. Maka pemulihan ghirah kader tidak cukup dengan seruan “ayo belajar!”, tapi harus dimulai dari pertanyaan jujur: “Kenapa aku belajar?”

Sebab motivasi sejati hanya tumbuh dari kesadaran pribadi, bukan perintah kolektif. Gus Dur pernah berkata, “belajarlah bukan untuk menjadi orang besar, tapi agar tidak mudah dibodohi orang besar.” Kalimat itu bukan sekadar pesan moral, tapi peta jalan intelektual.

Mbah Tolchah menegaskan bahwa belajar adalah laku keberanian: berani berpikir, berani berbeda, berani mencari kebenaran. Dan di sinilah pemulihan ghirah harus dimulai—dari keberanian kecil untuk membuka buku, berdialog, menulis, dan berpikir tanpa takut salah. Tiga langkah sederhana bisa dilakukan:

  • Refleksi pribadi: mengenali apa yang membuat kita kehilangan ghirah belajar.
  • Revitalisasi ruang dialektika: menjadikan forum kader tempat bertumbuhnya gagasan, bukan sekadar laporan.
  • Reorientasi nilai: menegaskan kembali bahwa belajar adalah jihad intelektual, bukan formalitas struktural.

Dari Ucapan Menuju Kesadaran

Pada akhirnya, segala kegiatan, pelatihan, dan rapat tidak akan berarti jika pikiran kita tak ikut hadir di dalamnya. Organisasi tanpa tradisi berpikir ibarat tubuh tanpa ruh: masih bergerak, tapi tidak tahu ke mana akan pergi. Kita terlalu sering merayakan kebersamaan, namun jarang merenungi kesendirian intelektual—saat di mana pikiran berbisik, “Sudahkah aku belajar hari ini?”

Namun seperti kata Gus Dur, “Harapan itu selalu ada, selama akal dan hati masih mau bekerja sama.”

Kebangkitan kader Nahdliyyin dimulai dari keberanian sederhana: membuka buku, menulis pikiran, berdiskusi dengan jujur, dan menyalakan kembali nyala ilmu di tengah hiruk-pikuk struktur. Sebab sejatinya, kader sejati bukan yang banyak mengikuti kegiatan, tetapi yang terus menyalakan ghirah belajar—dengan akal yang merdeka dan hati yang lapang.

Sebagaimana kata Mbah Mahbub Djunaidi, bangsa ini pandai membuat seremoni, tapi gagap dalam introspeksi. Kemandegan ghirah belajar bukan hanya soal malas membaca, tapi soal kehilangan iman terhadap ilmu. Sebab bagi Mbah Tolchah, belajar adalah ibadah yang memerdekakan; bagi Freud, menolak belajar berarti menolak mengenali diri; dan bagi Gus Dur, berpikir adalah bentuk pengabdian kepada Tuhan. Ilmu tanpa kesadaran hanyalah hafalan; organisasi tanpa pemikiran hanyalah panggung tanpa naskah.

Kini, sudah saatnya kita menulis sumpah baru—bukan di atas naskah upacara, tapi di atas kesadaran batin kita sendiri. Sumpah untuk tidak berhenti membaca, menulis, dan berdialog. Sumpah untuk menolak menjadi kader yang hanya ramai di struktur, tapi sepi di pikiran. Sumpah untuk menghidupkan kembali ghirah belajar sebagai tanda bahwa kita masih waras, masih beriman, dan masih percaya bahwa masa depan bangsa ini lahir dari pena, bukan dari seremoni semata.

Sumpah Pemuda dulu lahir dari pertemuan nalar dan keberanian. Para pemuda 1928 tidak sekadar berserikat, tapi berpikir—melawan kolonialisme pikiran sebelum melawan penjajahan fisik.

Kini, tugas kader Nahdliyyin bukan lagi mengangkat senjata, melainkan mengangkat pena, membuka buku, dan menyalakan forum-forum dialog.

Jika para pemuda 1928 bersumpah satu nusa, satu bangsa, dan satu Bahasa. Maka kita, kader Nahdliyyin masa  kini menyatukan hati, nalar, dan ghirah belajar. Karena dari belajar, lahir kesadaran; dan dari kesadaran, tumbuh peradaban.

Penulis: Akid Waliudin

Daftar Rujukan:

Tolchah Mansoer, Idealisme Sang Kiai Intelektual, Pustaka Compass, 2019.

Mahbub Djunaidi, Kolom Demi Kolom, Kompas, 2008.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Prisma Pemikiran, LKiS, 2011.

Slavin, R. E. (2011). Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik (Edisi kesembilan, Jilid 1). (Marianto Samosir, Penerj.). Jakarta: Indeks. (Karya asli diterbitkan 2009)

Ardiansyah, A., Sarinah, S., Susilawati, S., & Juanda, J. (2022). Kajian Psikoanalisis Sigmund Freud. Jurnal Kependidikan, 7(1), 25–31. Universitas Samawa.

Lebih baru Lebih lama