Yudisium: Pesan Kiai Untuk Alumni Ibrahimy


Mandakara - Sabtu lalu (18/10/25), Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi – selanjutnya ditulis UNIIB – telah menggelar Wisuda ke-31 di El Hotel Banyuwangi. Tahun ini, jumlah wisudawan yang dikukuhkan mencapai 325 – 329 dalam yudisium, 327 sebelum pelaksanaan wisuda dan 325 saat hari H. Setiap tahun seremonial pengukuhan ini dilaksanakan, dan setiap tahun pula ratusan mahasiswa yang telah menyelesaikan tugas akhirnya berhari raya. Sebab, selama ini mereka memang berpuasa – ngempet pengen. Dan hanya ikut senang saat sejawatnya berhasil dalam ujian proposal maupun munaqasyah, sebelum pada akhirnya mereka sendiri yang mengalami rentetan euforia-euforia itu.

Perayaan tahunan yang digelar kampus ini bisa dikatakan sukses – jika ditilik dari susunan acaranya – walaupun pada pra dan pascanya terjadi gonjang-ganjing. Penuntutan hak yang dilakukan mahasiswa adalah hal wajar. Sebagai respon “perlawanan” yang berbentuk pertanyaan sekaligus pernyataan, mungkin momentum tersebut merupakan kesempatan terakhir – sebelum akhirnya benar-benar purna – bagi mahasiswa (alumni baru) dalam memberikan efek social control-nya pada kebijakan perguruan tinggi yang sejatinya mereka banggakan.

Dan saya memandang, sebagai yang pernah menjadi mahasiswa – apalagi para pimpinan dan dosen yang tentunya juga pernah menyandang label tersebut – bahwa reaksi mahasiswa terhadap kebijakan merupakan bagian dari dinamika dan dialektika di dalam kampus. Di satu sisi, mahasiswa memiliki euforia-historis mengenai perannya sebagai agen perubahan – dalam konteks ini adalah kritis terhadap hal-hal yang menurut mereka tidak tepat. Dan di sisi lain, kampus memiliki otoritas membuat kebijakan yang juga tidak luput dari potensi mengundang reaksi mahasiswanya.

Terlepas dari itu, tulisan ini ingin mengangkat serta memperdengarkan kembali anjuran yang terkemas dalam pesan KH. Muwafiq Amir, BA. selaku Ketua Yayasan Pendidikan Islam dan Sosial Ibrahimy (YASMY). Jadi, ini hanya tulisan yang tiba-tiba terbersit saat Ketua YASMY memberikan sambutannya dalam Yudisium pada Selasa lalu (14/10/25). 

Tentu pesan beliau tidak parsial, hanya sebatas pada alumni terbaru UNIIB, melainkan berlaku secara universal; seluruh, alumni, termasuk bagi saya sendiri. Dan semoga, hal-hal yang terjadi tidak mengalihkan pesan Kiai Muwafiq untuk mendapatkan atensi dari segenap alumni.

Tidak Mudah Menjadi Sarjana

Kita semua tahu bahwa untuk mendapatkan gelar sarjana bukan hal yang mudah. Banyak hal harus ditempuh-dilakoni dengan ketabahan. Idealnya, gelar “S” didapatkan dalam waktu empat tahun, walaupun juga masih ada – untuk tidak menyebut banyak – mahasiswa yang masuk dalam kategori “maba” (mahasiswa basi), karena tidak kunjung selesai dalam menjalani studi.

Terlepas dari adanya perbedaan yang berarti dari makna sarjana dan intelektual, di mana sarjana sekedar gelar akademik, sedangkan intelektual juga mencakup fungsinya sebagai agen perubahan sosial, pencapaian akademik yang akhirnya dirayakan dengan wisuda tidak dapat disebut sebagai jalan panjang tanpa perjuangan. Setiap mahasiswa menjalani perjuangannya dengan cerita berikut deritanya masing-masing.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib karrama Allahu wajhah dalam kitab Ta’lim Muta’allim karya Syekh Burhanuddin Az-Zarnuji (2009:24), beliau dawuh bahwa syarat untuk mendapatkan ilmu (manfaat) ada enam perkara, yaitu kecerdasan, semangat, bersabar, memiliki bekal (sangu), bimbingan guru dan (mencari ilmu) dalam waktu yang lama. Laku akademik yang dijalani mahasiswa tentu penuh dengan keletihan, bahkan mungkin juga luka. Keputusasaan senantiasa menghampiri mereka, sedangkan mereka memiliki alasan untuk tidak menyerah.

Berkaitan dengan gelar yang didapat tidak dalam waktu yang singkat, dawuh Sayyidina Ali di atas juga menjadi alasan bahwa menuntut ilmu (manfaat) membutuhkan waktu yang panjang. Maka, wajar saja jika saat wisuda, mereka benar-benar merayakannya; menyewa fotografer, berpose di studio foto bersama keluarga, mengundang segenap sanak saudara, bahkan kekasih, untuk juga turut bahagia atas peluh studi yang akhirnya berbuah manis itu.

Mulai dari menjadi mahasiswa baru yang aktivitasnya sama sekali berbeda dengan aktivitas saat masih di sekolah, mereka beradaptasi dengan aktivitas akademik yang dirumuskan dalam Tridharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat. Tidak berhenti di situ, setiap hari mereka mengalami dilematis saat masa-masa bimbingan skripsi; bingung mengawali tulisan, takut salah dalam menyusun proposal, dosen pembimbing yang tak jarang sulit ditemui (padahal sudah janjian), belum lagi mood nyicil skripsi yang hilang dan timbul, hingga bayang-bayang sidang munaqasyah yang bakal menghabisi hasil penelitian mereka. Tidak cukup di situ, mereka harus menyiapkan tetek-bengek lainnya menuju seremoni wisuda. Dan pada akhirnya, ikhtiar mereka terbayar dengan wujud sah menyandang gelar sarjana.

Pesan Ketua Yayasan

Yudisium adalah salah satu rangkaian akademik yang sebenarnya menjadi tanda bahwa mahasiswa telah memenuhi persyaratan akademik maupun administratif untuk dinyatakan lulus. Dalam rangkaian Wisuda UNIIB ke-31, Yudisium yang digelar pada Selasa lalu (14/10/25), mungkin menjadi daya tarik tersendiri bagi calon-calon wisudawan, yakni dalam pengumuman mahasiswa berprestasi; IPK tertinggi, skripsi terbaik dan lulusan terbaik. Namun, salah satu sesi dalam kegiatan tersebut, yakni sambutan dari Ketua YASMY, KH. Muwafiq Amir, BA. juga sangat penting untuk diperhatikan, khususnya bagi para alumni. Hanya saja, dalam tulisan ini, tidak semua poin sambutan akan dibahas. Hanya poin-poin yang menyangkut nilai untuk diperhatikan berikut direfleksi dan diimplementasikan oleh para alumni.

KH. Muwafiq Amir, BA. saat menyampaikan sambutannya.
Sumber foto: LPM El Mizna
Dalam sambutan beliau – saya sangsi semua peserta Yudisium mendengarkan, sebab sambutan Kiai sangat lirih, namun sarat maksud, dan mungkin juga ada yang memang tidak memperhatikan –, hal pertama yang disampaikan ialah apresiasi terhadap perjuangan mahasiswa, yang akhir studinya memberikan hasil sesuai dengan ikhtiar mereka. Tidak sebatas apresiasi, Kiai juga memberikan penekanan, yang dalam sambutan tersebut diulang-ulang beberapa kali, yakni keharusan tidak berhenti belajar. Lulus kuliah bukan tanda bahwa status menjadi pembelajar telah selesai. Sebagai muslim, tentu kita tidak asing dengan ungkapan: “Tuntutlah ilmu mulai dari buaian hingga liang lahat.”

Penekanan Kiai Muwafiq kepada para alumni sudah barang tentu tidak untuk hal lain, kecuali untuk kepentingan intelektualitas pribadi masing-masing alumni. Di sisi lain, juga menjadi pepeling agar tetap rendah hati walaupun sudah mendapat gelar sarjana. Dalam penggalan syair Al-Ustadz Ruknu Al-Islam (populer dengan julukan Al-Adib): Inna at-tawaddlu’a min khishali al-muttaqi – wabihi at-taqiyyu ila al-ma’ali yartaqi, yang berarti: “tawadlu’ adalah salah satu tanda atau sifat orang yang bertakwa. Dengan bersifat tawadlu’, orang yang takwa akan semakin tinggi martabatnya,” (Az-Zarnuji, 2009:17).

Dari sini menjadi jelas, bahwa pesan Kiai bukan sekedar kata sambutan. Pesan beliau agar kita tidak berhenti belajar dapat menjadi pengingat, bahwa dalam menuntut ilmu tidak dapat dibatasi hanya dalam fase pendidikan formal saja. Menjadi pembelajar sepanjang hayat, lebih-lebih bagi muslim, adalah laku hidup yang tak boleh ditinggalkan apalagi diabaikan.

Kiai Muwafiq juga mengingatkan agar setiap alumni berperan dalam masyarakat. Peran alumni di masyarakat, lanjut Kiai, merupakan indikator keberhasilan Ibrahimy sebagai perguruan tinggi. Secara spesifik, Kiai tidak menyebut peran yang bagaimana yang seharusnya dilakukan oleh alumni. Namun, kita perlu memahami ini sebagai pantikan agar ilmu maupun keterampilan yang didapatkan di masa studi, dapat dipergunakan secara optimal; tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk masyarakat. Bentuk peran bisa dalam konteks profil lulusan (contoh lulusan Fakultas Tarbiyah, bentuk perannya adalah sebagai pendidik), atau dalam konteks yang lain (sesuai dengan kapasitas dan kecenderungannya).

Tidak adanya bentuk peran yang spesifik dalam pesan Kiai ini adalah wujud bahwa kapasitas alumni UNIIB yang sangat beragam merupakan keniscayaan. Tidak semua lulusan memiliki profesi sesuai dengan rumpun fakultasnya. Kendati demikian, tidak ada alasan untuk tidak berperan (bermanfaat) sama sekali.

Dan poin terakhir dalam sambutan Kiai – yang juga menjadi Pengasuh PP. Bustanul Makmur Kebunrejo itu – ialah perbandingan lurus antara ilmu dan ketakwaan. Beliau mengutip dawuh Imam Al-Ghazali – sebagian menyebutnya sabda Nabi Saw – : Man izdada ilman wa lam yazdad hudan lam yazdad illa bu’dan, yang artinya: “barang siapa bertambah ilmunya, tetapi tidak bertambah hidayahnya, tidak bertambah kecuali dia jauh dari Allah Swt,” (Mahfudz, 2024:120). Setiap alumni yang telah lama menempuh pendidikan, tentunya mengalami peningkatan keilmuan (ilmu agama maupun jurusannya). Sehingga menurut Kiai, mereka juga perlu tetap berusaha meningkatkan ketakwaan. Kematangan ilmu harus diimbangi dengan ikhtiar takwa, senantiasa taqarrub dan ibadah kepada Allah Swt., bukan sebaliknya – semakin jauh.

Sekali lagi, bahwa pesan beliau merupakan pepeling. Kita tidak akan tahu bagaimana cerita hidup kita selanjutnya. Di satu sisi, terus belajar agar tetap rendah hati merupakan kiat positif untuk berperan dalam masyarakat. Dan di sisi lain, terus meningkatkan ketakwaan merupakan ikhtiar untuk mendekatkan diri, sekaligus bekal untuk menyiapkan diri dalam menghadap Allah Swt.

Tulisan yang Belum Tuntas

Tulisan ini pada awalnya diniatkan untuk membedah 5 wasiat pendiri, yakni KH. Imam Zarkasyi Djunaidi, yang dikontekstualisasikan kepada para alumni UNIIB. Dengan menyadur buku alumni UNIIB, Dendy Wahyu Anugrah, dengan judul 5 Wasiat KH. Imam Zarkasyi Djunaidi: Syarah Wasiat Untuk Institut Agama Islam Ibrahimy (2024), karena beberapa pertimbangan, tulisan dibagi menjadi dua dan dipublikasi secara terpisah. Dan setelah tulisan ini, menyusul tulisan yang akan membedah dengan basis interpretasi butir-butir wasiat Kiai Zarkasyi.

Kiai Muwafiq yang memberikan pengantar dalam buku kawan saya, Dendy, menegaskan bahwa syarah wasiat yang ditulis Ananda Dendy itu bukanlah korpus tertutup sebagaimana Al-Quran (Anugrah, 2024:viii). Sehingga, telaah, pengkajian dan interpretasi – di samping diimplementasikan – terhadap butir-butir wasiat Kiai Zarkasyi kepada civitas akademika masih mungkin dan harus dilakukan. Lebih-lebih jika diinterpretasi-dikontekstualisasi agar juga menjadi nilai-nilai yang dipegang oleh para alumni – yang notabene bukan lagi bagian dari civitas akademika – dalam berperan di masyarakat.

Pada akhirnya, semoga tulisan yang bermuara dari pesan Kiai Muwafiq ini dapat menjadi laku ta’awun. Dan semoga tulisan berikutnya dapat dikerjakan se-optimal mungkin, kemudian dipublikasi; tidak hanya bertujuan agar dibaca, melainkan juga menghidupkan kembali kultur akademik untuk menelaah dan mengkaji nilai-nilai para pendahulu.

Oleh: Bang Sholeh (Alumni IAII - 2023)

Daftar Rujukan

        Anugrah, Dendy Wahyu. 2024. 5 Wasiat KH. Imam Zarkasyi Djunaidi: Syarah Wasiat Untuk Institut Agama Islam Ibrahimy. Malang: Dinun

            Az-Zarnuji, Syekh Burhanuddin. 2009. Terjemah Ta’lim Muta’allim (Penerjemah: Abdul Kadir Aljufri). Surabaya: Mutiara Ilmu

Mahfudz, Asmawi. 2024. Fiqih Peradaban. Yogyakarta: DIVA Press

Lebih baru Lebih lama