Membedah Nalar Islam Qabil: Pemahaman Puasa yang Menindas

 


Mandakara - Tak terasa kita sudah menginjak sepuluh hari terakhir di bulan suci Ramadhan. Ibadah wajib yang harus kita laksanakan di bulan ini ialah puasa. Dengan berpuasa, kita tidak hanya dihimbau untuk meningkatkan kualitas diri (individu), melainkan juga untuk memperbaiki kehidupan sosial masyarakat secara terus-menerus. Sebab, puasa bukan ritual agama (Islam) yang fokus meng-upgrade diri belaka, melainkan juga mengandung spirit dan orientasi perbaikan (islah) sosial masyarakat. Sebagaimana sabda Rasulullah: “Barang siapa memberi makan berbuka puasa bagi orang yang berpuasa maka ia mendapat seperti pahala orang-orang yang puasa tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun” (HR. Tirmidzi).

Jika kita mencermati hadist tersebut, nampak jelas ada suatu seruan kepada kita untuk memberi, membantu, dan menolong orang lain. Tentu bantuan kita itu bukan hanya diperuntukkan bagi orang yang sedang berpuasa semata, namun juga bagi mereka yang membutuhkan. Tidak peduli dari golongan, komunitas, dan agama manapun. Sehingga, dalam konteks ini, selain sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, ibadah puasa juga memuat spirit dan nilai keberpihakan kepada mereka yang lemah (al-Mustadh’afun). Dengan kata lain, puasa merupakan ibadah yang memiliki spirit “pembebasan”, dan sebagai seorang Mukmin, kita wajib mengaktualisasikannya.

Upaya menggali dimensi dan nilai-nilai sosial yang terkandung di dalam ibadah puasa ini, sejauh pengetahuan saya, sudah banyak dilakukan. Bagaimana puasa dipahami sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas diri, memperbanyak pahala, dan keharusan kita untuk membantu sesama. Memahami puasa dengan cara demikian memang penting untuk landasan amaliah kita dalam kehidupan sehari-hari. Karena, sekali lagi, puasa merupakan ibadah fardhu yang bersifat spritual dan sosial.

Akan tetapi, kalau kita menelisik lebih jauh pemahaman umat Islam yang mapan, justru kita akan menemukan semacam “penindasan interpretatif”. Hal ini bisa kita temui dalam pandangan yang menyatakan: alasan umat Islam (diwajibkan) berpuasa ialah untuk menunjukkan simpati kepada orang miskin yang lapar. Hampir seluruh umat Islam di Indonesia masih memahami puasa dengan cara demikian. Puasa hanya dipahami sebagai ibadah yang mendorong umat Islam untuk “memberi” rasa iba kepada kaum miskin yang lapar.

Secara sekilas, memang, tidak begitu terlihat ada suatu masalah yang serius. Tapi, kalau kita membacanya secara cermat, maka pemahaman itu akan menyatakan “sesuatu” yang lain: “kita adalah seorang Muslim yang kaya, atau setidaknya berpunya”. Dan di balik kalimat itu menegaskan satu hal: di mana orang kaya merupakan “subjek”, dan orang miskin adalah “objek” dalam suatu agama. Bagaimana mungkin di dalam suatu agama (Islam), ada relasi subjek-objek yang justru menciptakan jurang pemisah di antara mereka? Sehingga memosisikan Muslim kaya (borjuis) berada di atas Muslim miskin (proletar). Pemahaman seperti ini memiliki konsekuensi yang akan meruntuhkan prinsip egalitarianisme dalam Islam.

Maka dari itu, memahami bahwa ibadah puasa adalah “ajang” untuk menunjukkan simpati kepada orang miskin perlu kita tanggalkan. Karena pemahaman semacam itu merupakan hasil dari penalaran yang tidak sehat—jika tidak mengatakan “menindas”.

Dalam On The Sociology of Islam (1979), Syariati berpendapat bahwa sejarah manusia senantiasa berjalan secara dialektis. Hal ini disebabkan oleh dua kubu atau kutub yang saling berlawanan. Dan hal itu kemudian mengkonstruksi realitas sosial, terutama masyarakat Islam, sehingga memunculkan dua tipologi atau karakteristik masyarakat: Qabil dan Habil. Pertama, kubu Qabil yang bersifat negatif. Kubu ini bisa kita temui di sekitar kita, seperti orang atau kelompok yang menindas, memperbudak, dan membodohi masyarakat dengan segala cara. Kedua, kubu Habil yang memiliki sifat positif. Mereka adalah orang atau kelompok yang berjuang menegakkan keadilan, melawan segala bentuk penindasan, menjunjung tinggi keadilan, membela kaum lemah, dan senantiasa mengatakan kebenaran.

Pandangan cendekiawan Muslim asal Iran itu membantu kita dalam memahami tipologi masyarakat Islam dewasa ini. Dalam konteks memahami (alasan) ibadah puasa sebagai “ajang” menunjukkan simpati kepada orang-orang miskin yang lapar, dapat kita katakan, pemahaman semacam itu merupakan hasil penalaran dari kubu Qabil. Sebab, kita menemukan suatu “penindasan interpretatif” yang menciptakan jurang pemisah antara Muslim satu dengan yang lain, antara Muslim Borjuis dan Muslim Proletar, di balik pemahaman tersebut. Padahal, Islam merupakan agama yang egaliter, emansipatif, dan liberatif. Bahkan hal ini juga merupakan tugas para nabi yang diutus oleh Tuhan. Sebagaimana yang ditulis Ziaul Haque, dalam Revelation and Revolution in Islam (1987), bahwa para nabi-revolusioner diutus di dunia ini memiliki tiga tugas pokok: menyatakan kebenaran; berjuang melawan kezaliman dan kebathilan; dan menciptakan tatanan sosial yang baik, adil, dan setara.

Islam adalah agama yang berpihak kepada mereka yang lemah, membebaskan masyarakat dari belenggu penindasan, dan berusaha mewujudkan sistem sosial yang rahmatan lil ‘alamin. Dengan demikian, memahami alasan diwajibkannya puasa Ramadhan sebagai upaya umat Islam untuk bersimpati kepada orang miskin yang lapar, adalah wujud penindasan yang subtil. Model pemahaman semacam ini lahir dari nalar Muslim Qabil yang menindas, dan bahkan berpotensi menghambat kemajuan masyarakat Islam. Karena, dalam kehidupan kita dewasa ini, penindasan tidak lagi berupa perbudakan atau perbuatan kasar seperti di era penjajahan kolonial, melainkan dengan cara menginterpelasi nilai atau pemahaman tertentu kepada masyarakat.

Oleh karena itu, untuk memerangi nalar Muslim Qabil yang menindas melalui pemahaman tersebut, kita perlu memahami ibadah puasa secara lebih kritis, liberatif, dan emansipatif. Bagaimana di bulan suci Ramadhan ini, terutama saat kita berpuasa, tindakan praktis yang kita lakukan memberikan dampak positif bagi kehidupan sosial. Misalnya, senantiasa membela kemanusiaan, berada di pihak masyarakat yang tertindas, dan melakukan gerakan konkret untuk memerangi segala bentuk penindasan yang diciptakan penguasa tiran, baik secara kognitif maupun opresif.

Demikianlah makna puasa yang sesungguhnya. Ibadah puasa yang memiliki nilai spiritual (untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt) dan nilai sosial (untuk memperbaiki tatanan sosial yang timpang). Lebih jauh, puasa juga (harus) dilandasi oleh spirit pembebasan masyarakat dari ketertindasan sistemik yang dilakukan oleh thaghut—Fir’aun, Qarun, dan Haman kontemporer.

 

Oleh: Dendy Wahyu Anugrah (Santri PP Miftachussa’adah Maron, Genteng)

 

Bacaan Lanjut

Esack, Farid, On Being A Muslim: Menjadi Muslim di Dunia Modern. Jakarta: Erlangga, 2002

Syariati, Ali, On The Sociology of Islam. Berkeley: Mizan Press, 1979

Ziaul Haque, Revelation & Revolution in Islam. Pakistan: Vanguard Books, 1987


Lebih baru Lebih lama