Lebaran dan Senyummu, Semoga Lekas untukku, Dik

 

Selepas Sholat Id: Aroma Tanah, Harapan di Langit

Langit di Karangjati masih berselimut kabut tipis. Selepas sholat Id, suara takbir yang tadi memenuhi masjid mulai mereda, berganti dengan suara orang-orang yang saling bersalaman berbaur dengan derap langkah-langkah sandal di jalan tanah yang sedikit becek akibat gerimis semalam.

Kang Burhan berdiri sejenak di depan masjid, menyapu pandang ke sekitar. Para jamaah berbondong-bondong pulang, sebagian singgah di rumah tetangga untuk bersalaman, sebagian lain langsung menuju rumah masing-masing, barangkali ingin segera mencicipi ketupat dan opor yang sejak tadi subuh sudah menguar aromanya dari dapur-dapur rumah.

Sebuah suara menyapa. Ia menoleh dan menemukan Aini berdiri tak jauh darinya. Mukena putihnya dengan motif khas kesukaannya bunga daisy, wajahnya berseri di bawah cahaya pagi.

“Aini,” katanya, berdiri dan menyodorkan tangan ke arah beberapa teman yang lewat. “Lebaran ini, ada yang baru?”

Aini tersenyum, seakan mengerti arah pembicaraan. “Kerudung baru, mukena baru, sandal baru, buku juga baru.”

Kang Burhan mengangguk, tersenyum kecil. Tiga hari lalu, di story Instagram, ia menulis pesan pendek:

"Adakah yang baru, dari lebaran tahun ini?
Skincare, kerudung, gincu atau bahkan buku.
Semoga cukup itu, namun satu lagi,
senyummu. Semoga lekas untukku, Dik.”

Ia tak tahu apakah Aini melihatnya. Tapi pagi ini, ia tak ingin sekadar menunggu jawaban dalam bentuk tanda like atau emoji. Ia ingin bertemu langsung, menyampaikan perasaannya yang selama ini ia pendam.

Sejak lulus kuliah dua tahun lalu, ia menyimpan rasa itu. Aini adalah juniornya, mahasiswi yang sering datang kepadanya meminta bimbingan, arahan serta organisasi. Tapi setelah ia bekerja dan Aini masih menyelesaikan kuliahnya, komunikasi mereka tak seaktif dulu.

Kini, dalam suasana lebaran, ia merasa ada yang mendekatkan mereka lagi.

“Silaturahim ke mana dulu, Kang?” tanya Aini, melangkah bersama menuju pintu gerbang masjid.

“Ke pondok dulu. Mau sowan ke Kyai Rohman.”

Aini mengangguk. “Salam untuk beliau.”

Mereka berpisah di pertigaan jalan.

 

Meminta Restu Kyai

Rumah Kyai Rohman berdiri tak jauh dari pesantren kecil yang beliau asuh. Di halaman rumahnya, beberapa santri tampak mengangkat nampan berisi gelas-gelas teh dan kopi untuk para tamu.

Begitu masuk ke ruang tamu, Kang Burhan melihat Kyai Rohman duduk di atas dipan, mengenakan sarung kotak-kotak dengan sorban putih melingkar di bahunya. Wajahnya tenang seperti biasa, sorot matanya teduh.

"Kang Burhan, sudah lama tidak sowan," sapa beliau.

"Iya, Yai. Maaf belum sempat datang sebelum ini," jawab Kang Burhan sambil menundukkan kepala.

Mereka berbincang ringan—tentang kondisi pondok, santri baru, hingga keadaan desa. Lalu, tanpa diduga, Kyai Rohman bertanya, "Burhan, kapan menikah?"

Kang Burhan tertawa kecil, mencoba meredakan gugupnya. "Belum ada yang cocok, Yai."

Kyai Rohman terkekeh, lalu menatapnya lebih dalam sambil mengepulkan asap kretek. "Atau belum berani melamar?"

Pertanyaan itu membuat Kang Burhan terdiam.

"Bukan masalah cocok atau tidak, Han. Jodoh itu soal hati yang tenang. Kalau ada seseorang yang membuat hatimu tenang, jangan ditunda terlalu lama."

Dalam hatinya, Kang Burhan tahu, seseorang itu adalah Aini.

Ia menarik nafas, lalu dengan suara yang sedikit pelan, ia berkata, "Yai, saya ada niat untuk melamar seseorang. Namanya Aini, dulu junior saya di kampus. Saya sudah lama menyukainya, tapi belum pernah benar-benar menyampaikan secara langsung. Saya ingin meminta restu dari panjenengan."

Kyai Rohman tersenyum. "Bagus, Han. Jika hatimu sudah mantap, segera temui keluarganya. Jangan biarkan perempuan baik menunggu terlalu lama."

Kang Burhan mengangguk. Hatinya terasa lebih ringan, selepas restu dan doa dibacakan. 


Gesah Gayeng di Rumah Pak Lik Joyo

Rumah Pak Lik Joyo sudah seperti markas besar bagi para pemuda desa Karangjati setiap kali lebaran tiba. Di teras rumah yang luas, orang-orang sudah berkumpul, duduk melingkar di atas tikar pandan. Gelak tawa meledak berulang kali, bercampur dengan aroma teh tubruk yang mengepul dari cangkir-cangkir tanah liat.

Kang Burhan baru saja melewati gerbang ketika suara berat Pak Lik Joyo menyambutnya dari dalam rumah.

"Weh, akhirnya datang juga, Sarjana Burhan!" seru Pak Lik dengan nada menggoda.

Tawa langsung pecah. Kang Burhan hanya bisa tersenyum dan mengangguk sopan sebelum akhirnya duduk di antara mereka.

"Bentar lagi jadi Sarjana Mapan, Lik," saut Wahid, teman sebaya Kang Burhan yang baru menikah tiga bulan lalu.

"Sarjana Mapan itu kalau sudah punya istri, Wan. Kalau masih begini ya Sarjana Sendiri," timpal Samin, yang sedari tadi menggoyang-goyangkan gelas tehnya.

"Halah, jangan-jangan Burhan ini sarjana teori doang. Teori jodoh dipahami, tapi praktiknya nol!"

Tawa kembali meledak. Kang Burhan hanya bisa menggeleng pelan.

"Lik, ini acara silaturahim atau acara membully saya?" katanya, mencoba membela diri.

Pak Lik Joyo tertawa. "Ya silaturahim, tapi kan kalau nggak ada yang digodain, nggak seru!"

Kang Burhan tertawa kecil, menyesap tehnya. Tapi sebelum sempat membalas, Wahid kembali mengompori suasana.

"Burhan ini sebenarnya bukan nggak ada jodoh, Lik. Dia itu ada target, tapi nunggu ceweknya sadar sendiri."

"Halah! Zaman sekarang mana ada perempuan bisa paham perasaan laki-laki kalau nggak diungkapin?" saut Pak Lik Joyo sambil terkekeh.

"Ada, Lik, kalau cowoknya rajin kode-kode di story Instagram," kata Samin.

Seketika semua menoleh ke Kang Burhan.

"Burhan, kamu ngode di Instagram?" Wahid menaikkan alisnya, tertarik.

Kang Burhan berdehem, sedikit salah tingkah. "Ah, biasa aja."

"Biasa aja gimana? Kasih contoh!"

Dengan sedikit enggan, Kang Burhan akhirnya mengeluarkan ponselnya. Ia membuka Instagram dan memperlihatkan story yang ia unggah tiga hari sebelum lebaran:

"Adakah yang baru, dari lebaran tahun ini? Skincare, kerudung, gincu atau bahkan Buku. Semoga cukup itu, namun satu lagi, senyummu. Semoga lekas untukku, Dik."

Suasana mendadak hening selama tiga detik. Lalu, tiba-tiba meledaklah tawa mereka.

"Astaghfirullah, Burhan! Ini sih kode keras, bukan kode halus!" Wahid sampai terbatuk karena terlalu banyak tertawa.

"Aku kira cuma sajak biasa, ternyata ada korban yang dituju!" Samin menepuk bahu Kang Burhan, masih tergelak.

Pak Lik Joyo mengusap matanya yang berair karena kebanyakan tertawa. "Burhan, Burhan… Lah terus, cewek yang kamu tuju ini sadar nggak?"

Kang Burhan tersenyum kecil. "Belum tahu."

"Jadi kamu cuma nunggu?"

"Saya kan orangnya sabar, Lik."

"HAH! Sabar apaan! Sabar itu kalau kamu sudah melamar, terus menunggu jawaban. Lah ini kamu bahkan ngajak ngobrol langsung aja belum!"

Tawa kembali pecah. Tapi kali ini, ada sesuatu yang terasa lebih menohok bagi Kang Burhan.

"Jangan kelamaan, Han!," lanjut Pak Lik dengan nada yang lebih serius. "Kalau sudah ada yang cocok, langsung datangi orang tuanya. Nggak usah malu-malu."

Kang Burhan mengangguk pelan. Dalam hatinya, ia tahu benar siapa yang dimaksud dengan "sudah cocok" itu.

Ia menatap cangkir tehnya yang mulai mendingin. Ada banyak hal yang perlu ia lakukan setelah ini. Dan semuanya harus ia mulai dengan keberanian.

 

Rumah Aini: Dari Obrolan Ringan ke Keberanian

Setelah dari rumah Lik Joyo, Kang Burhan segera bergegas menuntaskan dahaga jawaban dan kepastian untuk silaturrahim ke rumah Aini. Iya, rumah Aini masih seperti yang ia ingat. Pekarangannya luas dengan bunga-bunga yang selalu tertata rapi, tampak lebih segar setelah gerimis semalam.

Ia menarik nafas panjang sebelum mengetuk pintu pagar. Tak butuh waktu lama, ibu Aini keluar dengan senyum hangat.

"Nak Burhan! Silakan masuk, Aini ada di dalam."

Jantung Kang Burhan sedikit berdegup lebih cepat. Ia melangkah masuk, duduk di ruang tamu yang hangat dan bersih. Tak lama, Aini muncul dari dapur, mengenakan gamis putih ala-ala nawaning dengan kerudung putih, membawa nampan berisi teh dan ketan serundeng.

"Kang Burhan, kapan pulang dari kota?" tanyanya, membuka obrolan.

"Malam takbiran kemarin," jawab Kang Burhan.

Percakapan mereka mengalir ringan—tentang lebaran, tentang kabar teman-teman kampus, tentang hal-hal kecil yang sebenarnya tak begitu penting, tapi baginya begitu berarti.

Lalu, di antara jeda percakapan, Kang Burhan mengumpulkan keberanian.

"Aini, kamu masih ingat waktu pertama kali kita bertemu di kampus?"

Aini menoleh, sedikit tersenyum. "Waktu itu aku mahasiswa baru yang nyasar ke fakultas lain, terus Kang Burhan yang nolongin, kan?"

Kang Burhan tertawa kecil. "Iya. Dan sejak saat itu, aku selalu ingat kamu."

Aini menunduk, merapikan ujung kerudungnya. "Masa, Kang?"

Suasana menjadi lebih hening.

Lalu, dengan suara yang lebih pelan namun mantap, Kang Burhan berkata, "Aini, aku sudah lama menyimpan perasaan ini. Sejak aku lulus, dan kamu masih di kampus. Aku nggak pernah benar-benar bilang, tapi aku ingin kamu tahu… aku ingin serius."

Aini menatapnya, matanya sedikit membesar. Seolah tak menyangka, tapi juga seolah sudah lama menunggu.

"Kamu mau jadi istriku, Aini?"

Aini tidak langsung menjawab. Ia menatap gelas teh di depannya, seolah mencari jawaban di dalamnya. Lalu, perlahan, ia mengangkat wajah dan tersenyum.

"Kang Burhan," katanya pelan. "Aku juga sudah lama menyimpan rasa itu."

Di luar, suara anak-anak yang bermain petasan masih terdengar. Tapi bagi Kang Burhan, dunia terasa lebih hening. Lebih damai. Seperti doa yang akhirnya mendapat jawaban.

 

Keheningan yang Berbicara

Kang Burhan menatap Aini, mencoba menangkap sesuatu dari sorot matanya. Ia masih belum percaya bahwa kata-kata itu benar-benar keluar dari mulutnya—bahwa akhirnya ia mengatakannya secara langsung, bukan sekadar kode-kode di Instagram atau sajak-sajak yang ia unggah di story.

Di depannya, Aini masih tersenyum, tapi ia tidak segera menjawab. Suasana di dalam rumah terasa begitu hening. Hanya ada suara jam dinding yang berdetak pelan, sesekali terdengar suara ibu Aini yang masih berbincang dengan tamu lain di ruang depan.

Aini mengaduk pelan tehnya, seolah mencari jawaban dalam pusaran air di cangkir itu.

"Kang Burhan..." katanya akhirnya, suaranya pelan. "Aku juga sudah lama menyimpan rasa itu."

Deg!.

Jawaban itu membuat dada Kang Burhan terasa lebih ringan, seperti beban yang lama ia pikul akhirnya terangkat. Tapi sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, Aini melanjutkan, "Tapi... apakah Kang Burhan sudah benar-benar yakin?"

Pertanyaan itu membuatnya sedikit terkejut. "Yakin, Aini. Aku ingin menikahimu. Aku ingin mendatangi orang tuamu secepatnya, kalau kamu juga bersedia."

Aini menunduk, menggigit bibirnya sebentar. "Aku senang mendengar itu, Kang. Tapi pernikahan bukan hanya tentang dua orang yang saling suka. Ini tentang keluarga, tentang kesiapan... dan tentang keberanian untuk menjalani semuanya bersama."

Kang Burhan mengangguk. "Aku mengerti, Aini. Dan aku siap."

Aini tersenyum kecil. "Kalau begitu, datangi Ayah."


Pertemuan dengan Ayah Aini

Pak Hasyim duduk di teras rumahnya, menikmati suasana selepas gerimis menjelang siang yang mulai hangat. Di tangannya, sebuah cangkir teh masih mengepulkan uap tipis. Sementara di kejauhan, suara anak-anak bermain petasan masih terdengar.

Kang Burhan duduk di hadapannya, berusaha menenangkan degup jantungnya yang terasa lebih cepat dari biasanya. Ini bukan pertama kalinya ia berbicara dengan Pak Hasyim, tapi kali ini berbeda. Kali ini, ia datang dengan niat yang jauh lebih besar: melamar putri lelaki itu.

Aini duduk di samping ayahnya, tak banyak bicara. Hanya sesekali ia menunduk, mengaduk cangkir tehnya dengan gerakan yang terlihat sedikit gugup.

Pak Hasyim meletakkan cangkirnya di meja, lalu menatap Kang Burhan dengan sorot mata yang sulit ditebak.

"Burhan," suaranya pelan namun jelas. "Aku sudah lama mengenalmu. Kamu bukan orang asing bagi keluarga ini. Tapi aku ingin mendengar langsung darimu, apa sebenarnya niatmu datang ke sini?"

Kang Burhan menarik nafas panjang, berusaha mengumpulkan keberaniannya.

"Pak," katanya, suaranya sedikit bergetar. "Saya datang dengan niat baik. Saya sudah lama mengenal Aini, dan saya ingin membangun masa depan bersamanya."

Pak Hasyim masih diam. Ia mengangkat cangkir tehnya lagi, menyeruputnya perlahan, seolah memberi waktu bagi Kang Burhan untuk melanjutkan.

"Saya tahu, ini bukan keputusan yang bisa diambil dengan tergesa-gesa," lanjut Kang Burhan. "Tapi saya sudah memikirkan ini dengan matang. Saya ingin melamar Aini, dengan restu Bapak dan keluarga."

Aini menundukkan kepalanya lebih dalam. Pipinya tampak merona, meski ia berusaha menyembunyikannya di balik gelas teh yang ia genggam.

Pak Hasyim menghela nafas pelan. "Burhan," katanya, "menikah bukan hanya soal cinta. Ini soal tanggung jawab, soal kesiapan, soal keberanian untuk menghadapi masa depan bersama. Kamu yakin sudah siap?"

Kang Burhan mengangguk mantap. "InsyaAllah, Pak. Saya sudah meminta restu dari Kyai Rohman sebelum datang ke sini. Beliau mendukung niat saya."

Mendengar nama itu, Pak Hasyim tampak sedikit terkejut. "Kamu sudah menemui Kyai Rohman?"

"Sudah, Pak," jawab Kang Burhan. "Saya sowan ke beliau sebelum datang ke sini. Beliau menasihati saya tentang kesiapan seorang lelaki untuk menikah, tentang keberanian untuk memastikan pilihan. Dan saya sudah yakin, Pak. Aini adalah pilihan saya."

Pak Hasyim terdiam beberapa saat. Angin berhembus pelan, menggoyangkan dedaunan di halaman rumah.

Lalu, dengan senyum tipis, ia mengangguk.

"Kalau begitu, datanglah lagi bersama keluargamu. Kita bicarakan lebih lanjut."

Kang Burhan merasa dadanya menghangat. Ia melirik ke arah Aini, yang kini tersenyum kecil.

Di kejauhan, suara takbir corong masjid dari mp3 mulai menggema kembali di langit desa.

Dan di hati Kang Burhan, doa-doanya akhirnya mendapat jawaban.


Malam Takbiran Tahun Depan

Malam takbiran di desa Karangjati kali ini terasa berbeda bagi Kang Burhan. Langit masih dihiasi gemintang, suara takbir masih bersahut-sahutan dari masjid dan musala, dan aroma ketupat yang direbus semalaman masih memenuhi udara. Namun, ada sesuatu yang baru dalam hidupnya—sesuatu yang dulu hanya bisa ia bayangkan dalam doa-doanya, dalam story Instagram yang ia unggah dengan harapan, dalam diam yang mengandung rindu yang tak pernah tuntas.

Kini, Aini adalah istrinya.

Kang Burhan berdiri di teras rumah, mengenakan sarung dan kaos putih yang sudah mulai mengendur di bagian lengan karena sering dipakai. Kopiahnya miring sedikit, terkena angin malam yang bertiup pelan. Dari dalam rumah, terdengar suara Aini sedang bercengkrama dengan ibu dan mertua perempuannya, sesekali diselingi tawa kecil yang terdengar seperti denting bel yang lembut.

Hatinya hangat.

Setahun yang lalu, ia masih berdiri di tempat yang sama, menatap langit yang sama, namun dengan perasaan yang berbeda—perasaan ragu, perasaan menunggu. Tahun lalu, ia masih bertanya-tanya, apakah Aini akan menangkap semua kode yang ia sisipkan dalam story-story Instagramnya? Apakah ia juga menyimpan rasa yang sama? Apakah takbir tahun itu akan menjadi saksi atas harapan yang berbalas?

Tahun ini, takbir yang berkumandang terasa lebih syahdu. Lebih bermakna. Karena kini, Kang Burhan tidak lagi bertanya-tanya. Ia sudah memiliki jawaban itu dalam sosok Aini, dalam langkah-langkah kecil yang terdengar dari dalam rumah, dalam suara yang kini mengisi dan mengiasi harinya.

Aini muncul dari balik pintu, mengenakan gamis merah muda lembut dengan kerudung putih yang menjuntai hingga punggungnya. Di tangannya ada dua cangkir teh hangat, yang uapnya masih mengepul tipis. Ia tersenyum kecil, lalu menyerahkan satu cangkir kepada Kang Burhan.

"Mas, dari tadi melamun?" tanyanya Aini, dengan panggilan baru untuk suaminya.

Kang Burhan menerima cangkir itu, tersenyum. "Nggak, Dik. Cuma mengingat setahun yang lalu."

Aini ikut bersandar di tiang teras, menatap ke arah langit. "Setahun yang lalu kita masih saling diam, ya?"

Kang Burhan terkekeh. "Iya. Aku masih sibuk main kode di Instagram, berharap kamu sadar."

Aini tertawa kecil, menggoyangkan cangkir tehnya pelan. "Aku sadar kok, Mas. Tapi aku pura-pura nggak sadar, biar kamu yang usaha."

Kang Burhan menoleh, menatap wajah istrinya yang diterangi lampu temaram dari dalam rumah. "Jadi kamu sudah tahu dari awal?"

Aini mengangkat bahunya, masih tersenyum. "Mungkin."

Mereka terdiam sebentar, menikmati malam takbiran yang tenang. Dari kejauhan, suara petasan anak-anak masih sesekali terdengar, bercampur dengan gema takbir yang semakin mendalam di dada.

"Mas," panggil Aini pelan.

"Hmm?"

"Apa yang paling kamu syukuri malam ini?"

Kang Burhan menarik nafas dalam-dalam, lalu menyesap tehnya perlahan. Matanya menatap langit yang terbentang luas, mengingat kembali perjalanan yang telah mereka lalui—dari perkenalan di kampus, perasaan yang ia pendam bertahun-tahun, keberanian yang akhirnya ia kumpulkan untuk melamar, hingga kini berdiri di sini, di rumah yang menjadi saksi bahwa doanya selama ini akhirnya terjawab.

"Aku bersyukur," katanya, suaranya lebih pelan dari biasanya, "karena takbir tahun ini, aku sudah nggak sendiri lagi."

Aini menunduk, menyembunyikan senyumnya di balik cangkirnya.

Kang Burhan melanjutkan, "Dan aku bersyukur, karena ternyata jawaban dari semua doa dan harapanku selama ini… ada di sebelahku sekarang."

Aini menghela nafas pelan, lalu mendongak menatap suaminya dengan mata yang sedikit berembun.

"Kalau aku, Mas," katanya lirih, "aku bersyukur karena kita nggak cuma dipertemukan, tapi juga dipersatukan."

Malam itu, di bawah langit Karangjati yang masih dipenuhi gema takbir, Kang Burhan tahu satu hal pasti:

Takbir tahun ini adalah takbir yang paling indah dalam hidupnya.

Takbir yang akhirnya membuat rindunya genap.


Oleh: Muhammad Nasrullah

Lebih baru Lebih lama