Masyarakat di dunia ketiga yang sedang membangun dan berkembang—termasuk Indonesia—pada umumnya sangat menggemari apa yang disebut dengan modern. Kemodernan (modernitas) menjadi mitos yang kerap dijadikan tolok ukur dalam menilai kemajuan suatu peradaban dan kebudayaan masyarakat tertentu. Namun, apakah tolok ukur kemodernan itu, dan siapakah yang menetapkannya?
Sulit
disangkal bahwa tingkat kemodernan suatu bangsa pada umumnya diukur berdasarkan
sudut pandang teoritis para sosiolog barat. Oleh karena itu, tidak mengherankan
jika tolok ukur yang digunakan untuk menilai kemajuan suatu masyarakat pun
berlandaskan pada kriteria-kriteria barat.
Bertolak
dari pandangan dasar Barat yang cenderung materialistik, maka tolok ukur yang
dipakai dalam menilai kemajuan suatu masyarakat lebih bersifat material. Dalam
hal ini, kemajuan sering kali disamakan dengan peningkatan angka PDB (Produk
Domestik Bruto), pembangunan infrastruktur seperti jalan dan gedung, dan
sebagainya.
Cara pandang seperti ini turut memengaruhi sikap mental masyarakat dalam menilai kemodernan melalui ukuran dan simbol-simbol fisik. Di sini, kemajuan diidentikkan dengan penggunaan simbol-simbol fisik yang lazim ditemukan di Barat, seperti gaya hidup konsumtif, cara berpakaian, dan lain-lain.
Lebih
lanjut, pandangan seperti ini juga diadopsi oleh sebagian masyarakat kita, yang
menilai kemodernan berdasarkan gaya hidup yang dianggap mampu memberikan
kesejukan emosional. Perhatian dan kepedulian terhadap masalah yang dihadapi
orang lain menumbuhkan empati dalam komunikasi antarmanusia. Menurut para ahli
komunikasi modern, justru komunikasi empatik inilah yang mampu membangkitkan
kesadaran masyarakat untuk bertindak dengan sukarela.
Namun,
komunikasi empatik ini semakin langka ditemukan dalam masyarakat perkotaan.
Mayoritas orang terarah dan dikendalikan oleh faktor dan motivasi ekonomi.
Keadaan ini, selain menumbuhkan sikap individualis, juga mengikis nilai-nilai
emosional dan spiritual masyarakat kota. Akibatnya, masyarakat perkotaan lebih
rentan terhadap gangguan psikologis yang dikenal dengan istilah sindrom
alienasi (keterasingan).
Keluarga Nuklir dan Alienasi
Faktor
dan motivasi ekonomi yang sangat dominan dalam masyarakat modern telah mengubah
pola kehidupan keluarga. Disadari atau tidak, nilai efisiensi telah merasuki
pemikiran dalam kehidupan keluarga. Keluarga besar dianggap tidak lagi relevan
dengan kondisi masyarakat modern. Lambat laun, keluarga besar digantikan oleh
keluarga kecil (keluarga nuklir), yang terdiri atas ayah, ibu, dan dua anak.
Anggota keluarga lainnya, seperti mertua, adik, atau kakak, lebih dianggap
sebagai tamu daripada bagian dari keluarga.
Hal ini
terjadi bersamaan dengan meningkatnya kesibukan kedua orang tua yang bekerja.
Pola hidup dan tingkat konsumsi yang tinggi di kota menuntut kedua orang tua
untuk bekerja. Akibatnya, anak-anak terpaksa ditinggal di rumah dan diasuh oleh
pembantu rumah tangga (pramuwisma), atau dalam istilah populer disebut baby
sitter (pengasuh anak). Karena kesibukan orang tua, tidak jarang anak
merasa lebih dekat dengan pembantu. Padahal, tingkat pendidikan pembantu rumah
tangga umumnya masih terbatas, sehingga rawan terjadi kesalahan dalam mendidik
anak.
Sementara itu, orang tua beranggapan bahwa dengan mencukupi kebutuhan materi, segala urusan anak telah selesai. Padahal, kebutuhan manusia—termasuk anak-anak—tidak hanya bersifat material.
Akibatnya, anak merasa terasing karena kebutuhan
emosionalnya tidak terpenuhi. Jika hal ini terus berlangsung, tidak
mengherankan apabila anak berperilaku menyimpang dan melanggar norma sosial
maupun susila. Sayangnya, dalam situasi seperti ini, orang tua cenderung
menyalahkan anak tanpa introspeksi diri.
Fakta
ini cukup menjelaskan mengapa tingkat kenakalan remaja cenderung lebih tinggi
di perkotaan. Demikian pula dengan tingginya angka kriminalitas dan bunuh diri,
yang menjadi indikator kuat atas meningkatnya tingkat keterasingan (alienasi)
dalam masyarakat perkotaan—atau masyarakat modern.
Khalifah
Agaknya,
tidaklah keliru jika Allah Swt. menciptakan manusia sebagai khalifah di muka
bumi. Kata khalifah, yang secara harfiah berarti “wakil Tuhan” di muka bumi,
menunjukkan betapa tinggi derajat manusia dibandingkan makhluk Allah lainnya.
Sebagai khalifah, manusia dibekali akal, hawa nafsu, serta sifat ketuhanan
(lahut-theomorfis) untuk menyempurnakan kemanusiaannya (nasut).
Dengan seluruh potensi itu, manusia diberi tugas untuk menyempurnakan kemanusiaan dan lingkungannya, serta merealisasikan sifat ketuhanan tersebut dalam kehidupan. Oleh karena itu, manusia memegang peran sentral dalam semesta untuk menggali dan memanfaatkannya demi kemaslahatan manusia dan lingkungannya. Maka, sangat merendahkan derajat kemanusiaan apabila manusia lebih dikuasai oleh kepentingan material dan ekonomi seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
Terjadinya
alienasi dalam kehidupan manusia menandakan bahwa ia telah kehilangan fungsinya
sebagai rahmatan lil alamin. Alienasi bukan hanya melumpuhkan potensi
diri, tetapi juga menyebabkan manusia gagal mewujudkan sifat ketuhanannya
sehingga tidak berbeda dari makhluk lainnya.
Dalam konteks ini, ibadah dalam Islam merupakan sarana untuk membebaskan manusia dari belenggu materialisme. Bisa dikatakan bahwa seluruh ibadah wajib—bahkan sunah—mengandung hikmah untuk memutus keterikatan kepada tuhan-tuhan palsu (pseudo-God), agar manusia hanya terikat kepada Allah Swt.
Melalui ibadah, manusia dapat
melakukan perenggangan dari hal-hal duniawi sembari memperkuat hubungan
spiritual dengan Allah. Kegagalan dalam menjalankan ibadah dengan benar berarti
kegagalan dalam membebaskan diri dari materialisme, sekaligus kegagalan dalam
menjalin hubungan vertikal dengan Tuhan dan horizontal dengan sesama.
Sebab,
ibadah dalam Islam memuat dimensi vertikal dan horizontal. Persoalannya kini,
apakah kita sudah benar-benar menjalankan ibadah-ibadah yang diwajibkan Allah
kepada kita? Ataukah ibadah hanya menjadi rutinitas belaka? Jika demikian,
sulit berharap bahwa ibadah mampu membebaskan kita dari keterikatan terhadap
hal-hal duniawi. Maka, marilah kita bertanya kepada diri sendiri: bagaimanakah
kualitas ibadah yang selama ini kita jalani?
Oleh:
Alfan Hidayatullah