Perempuan: Dari Keadilan, Madrasah Pertama Hingga Potensi Berkiprah

 


Mandakara - Muda dan cantik tapi tidak bisa bertahan lama. Bagaimana jika sudah tua, siapa yang masih mau? Perempuan adalah sosok yang kurang akal dan agamanya; puasa dan shalatnya yang tidak “sempurna”. Perempuan lebih dominan menggunakan perasaan dari pada akalnya. Jika seperti itu, sebenarnya bukanlah sebuah aib, bukan juga kekurangan. Itu semua karena Allah memberi sebagai penyeimbang.

Dari awal perempuan dan dan laki-laki berbeda dan memiliki tugasnya masing-masing. Wahai perempuan mintalah keadilan bukan kesetaraan. Karena keadilan dibuat untuk semua kalangan. Laki-laki diciptakan lebih rasional, sedangkan perempuan lebih emosional. Hendaknya, hal ini tidak dijadikan tolak ukur lebih baik atau lebih buruk. Bukanlah kekurangan jika perempuan diciptakan lebih emosional, karena ini bisa menjadi penyeimbang. Karena jika semua rasional maka kehidupan tidak akan berjalan seimbang.

Dalam kehidupan, perempuan mempunyai tugas yang berat. Hadis “الأم مدرسة الأولى” adalah ungkapan dalam bahasa Arab yang artinya “ibu adalah sekolah pertama dan utama”. Madrasah tidak akan menghasilkan murid terbaik tanpa adanya kualitas terbaik dahulu dari lembaga (ibu) itu sendiri.

Oleh karena itu, jika perempuan diberi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi, mereka akan mampu menjadi ibu yang berkualitas dan tentunya memiliki anak yang berkualitas pula. Perempuan seharusnya tidak menuntut kesetaraan, tapi keadilan; karena dalam beberapa hal dalam kehidupan, mereka diatur dan harus patuh kepada laki-laki, baik itu kepada suami atau wali (ayah), yang merupakan perintah Allah demi kemaslahatan dan keseimbangan hidup bersama.

Jika perempuan memiliki kompetensi yang memadai, seharusnya mereka diberi kesempatan secara adil agar dapat melaksanakan tugas-tugas mereka dengan bijaksana dan lebih baik. Ibnu Rusyd menolak anggapan bahwa perempuan hanya sebatas mengurus urusan domestik. Dalam bukunya Talkhish al-Siyasah Li Aflathun (Ringkasan Buku “Politea” karya Plato), ia menjelaskan bahwa perempuan berhak untuk berkiprah di ruang publik, yang memiliki dampak nyata bagi masyarakat.

Dalam buku itu, Ibnu Rusyd menyatakan:

“Selama perempuan tumbuh dan berkembang dengan kecerdasan dan kapasitas intelektual yang memadai, tidak mustahil kita akan menemukan di antara mereka para filsuf, pemimpin publik, dan sebagainya. Memang ada yang berpendapat bahwa perempuan seperti itu langka, apalagi ada hukum-hukum agama yang tidak mengakui kepemimpinan politik perempuan. Namun, meskipun ada hukum agama yang berbeda, keberadaan perempuan-perempuan seperti itu bukanlah hal yang mustahil.”

Perempuan seharusnya memiliki motivasi yang kuat dan besar untuk memberdayakan dirinya dalam hal-hal positif, sembari tetap membatasi hal-hal yang diatur oleh agama. Jika ada perempuan yang merasa terintimidasi karena dianggap sebagai makhluk kedua, lemah, dan tidak berdaya, maka kita tidak perlu banyak berbicara; kita hanya perlu membuktikan bahwa kita memiliki kompetensi yang cukup untuk bersaing dan berhak mendapatkan kepercayaan. Kita mampu menaklukkan tantangan lebih dari yang dibebankan kepada perempuan.

Salam kepada seluruh perempuan, kalian cantik-mengagumkan. Terimakasih telah bertahan menghadapi mood yang kadang kita sendiri tak tahu harus bagaimana mengolah supaya lebih masuk akal.

Wallahu a’lam

Tabik.

Oleh: Krayon 12 Warna

Lebih baru Lebih lama