Oleh: Ayon & Oyanku
Di
kota kecil bernama Banjuanji, hidup seorang pria bernama Arga. Ia dikenal
sebagai pribadi yang ramah, murah senyum, dan selalu bersedia membantu.
Orang-orang di sekitarnya memujinya sebagai manusia teladan, seseorang yang
layak dijadikan contoh. Namun, di balik senyumnya yang memikat, ada rahasia
yang tak diketahui siapapun.
Arga
adalah seorang manusia palsu. Setiap pagi, ia berdiri di depan cermin besar di
kamarnya. Di sana, ia mengenakan topeng yang berbeda-beda, bukan topeng fisik,
melainkan ekspresi, sikap, dan kata-kata yang ia pilih dengan hati-hati. Bagi
tetangga, ia adalah sosok yang penuh perhatian. Bagi teman-teman kerjanya, ia
adalah pribadi yang kharismatik dan pekerja keras. Namun, di balik semua itu, Arga
hanya melihat orang lain sebagai alat untuk kepentingannya sendiri.
Di
kantornya, Arga memuji atasan dengan kalimat-kalimat manis, padahal dalam hati
ia mengejek setiap keputusan yang dianggapnya bodoh. Ia bersikap ramah kepada
rekan-rekannya, meski sebenarnya ia sering mencuri ide mereka untuk menaikkan
posisinya sendiri. Ketika rekan kerjanya, Lina, menangis di sudut kantor karena
dimarahi bos, Arga menghampirinya, berkata, “Aku tahu ini berat, tapi kau harus
kuat. Aku mendukungmu.”
Namun,
di perjalanan pulang, ia bergumam sendiri, “Seharusnya Lina sadar, dia memang
tak layak bekerja di sini.”
Malam
hari adalah waktu yang paling jujur bagi Arga. Di kamar tanpa cahaya, ia
melepaskan topeng-topengnya. Namun, meskipun ia sendirian, cermin di depannya
tetap memantulkan sesuatu yang asing. Ia menatap bayangannya dan bertanya dalam
hati, “Siapa aku sebenarnya?” Tapi ia tak pernah mendapatkan jawaban. Setiap
refleksi yang ia lihat hanyalah sepotong dari peran yang ia mainkan sepanjang
hari.
Suatu
malam, ia terbangun dengan keringat dingin. Dalam mimpinya, ia berdiri di
sebuah panggung, dikelilingi oleh orang-orang yang mengenalnya. Tapi tak ada
sorakan atau tepuk tangan. Sebaliknya, semua wajah yang ia kenal memandangnya
dengan kebencian. Lina berteriak, “Kau pengkhianat!” Temannya, Bima , berkata,
“Aku tahu kau mencuri ide dariku!” Bahkan, ibunya yang sudah meninggal tampak
di antara kerumunan, berkata dengan suara yang menusuk, “Kapan kau akan
berhenti menjadi orang lain?”
Hari
berikutnya, Arga merasa sesuatu berubah. Setiap kali ia berbicara, ia merasa
ada bayangan dari cermin di kamarnya yang mengawasi. Bayangan itu tak tersenyum
seperti biasanya. Ia seperti menuduh.
Di
kantor, ketika Arga mencoba bersikap ramah kepada Lina lagi, wanita itu hanya
menatapnya dengan dingin. “Kau selalu bilang mendukungku, tapi di belakang, aku
dengar kau justru memperburuk reputasiku di depan bos,” katanya tajam.
Kata-kata itu menghantam Arga seperti badai. Ia mencoba menyangkal, tapi lina
melanjutkan, “Aku bosan dengan kemunafikanmu. Semua orang tahu siapa kau
sebenarnya.”
Hari-hari
berikutnya, satu demi satu topeng Arga mulai retak. Orang-orang tak lagi
tersenyum ramah padanya. Mereka memandangnya dengan curiga, bahkan jijik. Arga merasa
dunianya runtuh. Ia tak tahu lagi siapa yang ia tipu, orang-orang di sekitarnya
atau dirinya sendiri.
Hingga
suatu malam, cermin di kamarnya retak tanpa alasan. Arga menatap pantulan
dirinya yang terpecah-pecah, dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar
telanjang. Tidak ada topeng, tidak ada peran. Hanya seorang pria yang dipenuhi
penyesalan karena menghabiskan hidupnya menjadi seseorang yang bahkan ia
sendiri tak kenal.
Sejak saat itu, Arga menghilang dari Banjuanji. Beberapa orang berkata ia pindah ke kota lain untuk memulai hidup baru. Yang lain berbisik bahwa ia gila dan dikurung di tempat nun jauh. Namun, tak ada yang benar-benar tahu di mana ia kini. Satu hal yang pasti, di kota kecil itu,orang-orang belajar dari kisahnya. Mereka mulai berhati-hati, bertanya-tanya, apakah di sekitar mereka masih ada manusia cermin lain, yang hanya memantulkan bayangan, tanpa pernah menunjukkan jati diri yang sebenarnya.