Oleh: Muhammad Sholeh Muria
Tahun 2024 sudah mendekati
ujungnya, tapi apa yang sudah kita lakukan setahun terakhir? Apakah hal-hal
yang diinginkan sudah tergapai? Seluruhnya atau sebagian? Jangan-jangan tidak sama
sekali. Di usia yang tak lagi remaja, sepertinya membuat rencana-rencana hidup
jangka pendek, menengah dan panjang merupakan hal wajar.
Rencana-rencana tahunan ini
biasa disebut dengan resolusi– berisi angan-angan yang ingin dituju dalam
setahun berikutnya. Resolusi dibuat biasanya berdasarkan orientasi
hidup yang ditemukan oleh pribadi seseorang; saya, sampean dan
mereka. Tapi, tak selalu demikian. Banyak orang juga tak peduli dengan tradisi
tahunan yang bernama resolusi itu.
Dilansir dari Katadata.co.id,
menurut survei JakPat, 68,8 masyarakat Indonesia rutin membuat resolusi
tahunan. Survei yang dilakukan pada 1.646 responden di tahun 2022 ini
menyimpulkan beberapa poin resolusi menyambut tahun baru 2023, yakni: 1) 61,1%
ingin menabung lebih banyak; 2) 46,8% berniat lebih hemat; 3) 41,2% ingin
menjaga pola makan yang sehat; 4) 39,9% ingin menambah kenalan baru; 5)
menginginkan BB ideal, dan; 6) 32% ingin mencari hobi baru.
Tentu resolusi tahunan bukan hanya hal-hal di atas saja.
Memang poin-poin di atas terkesan sederhana, namun setiap orang dengan
orientasi hidupnya selalu memiliki resolusi jangka panjang yang dengan waktu
setahun tak cukup untuk dapat tergapai. Umumnya, resolusi strategis; bisa dikatakan
cita-cita, dilalui dan direncanakan secara berkala dari tahun ke tahun.
Terlepas dari resolusi strategis, resolusi itu sendiri terkadang justru menjadi
masalah, sebab seseorang tidak mengukur kemampuannya dalam mengupayakan
tergapainya list resolusi.
Dilansir dari Tempo.co, usia ghirah resolusi tak
berlangsung lama. Dalam penelitian tahun 2020, hanya 55% orang menganggap
dirinya berhasil mempertahankan resolusi selama setahun. Hal ini menunjukkan
bahwa resolusi tahunan dengan orientasi pengembangan diri sekalipun, tak akan
selamanya berjalan mudah. Justru sebab musuh seseorang adalah dirinya sendiri,
suksesi resolusi menuai tantangan-tantangan, seperti malas, tidak konsisten dan
putus asa karena kesulitan melangkah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan University of
Scranton, penyebab seseorang gagal dalam mewujudkan resolusi tahunannya
adalah keinginan yang terlalu ambisius dan tidak realistis. Di samping itu,
psikolog Carleton University, Tim Pychyl menyebutkan bahwa menunda
pekerjaan merupakan faktor utama resolusi tahunan gagal dicapai. Sudah ambisius
dan tidak realistis, masih ditunda juga, nanti sambat; “Hidup
kok begini-begini saja ya?”.
Nah, dinamika resolusi di atas merupakan gambaran bagi
kita bahwa perencanaan dan pelaksanaan harus jalan beriringan. Tidak cukup
dengan menuliskan mimpi-mimpi di atas kertas, melainkan mesti diperjuangkan
dengan langkah-langkah. Langkah-langkah tak harus laju, asal tidak berhenti. Sambat
pun boleh saja, asal tidak berputus asa.
Di tengah kebingungan masal para muda-mudi dewasa
amatiran, persoalan ingin menjadi apa, ingin mencari dan mengejar apa, serta berakhir
dengan bagaimana, memiliki resolusi dengan orientasi menjadi pribadi yang lebih
baik adalah langkah yang cukup obyektif. Atas dasar ketidakmampuan menerka
takdir, manusia bebas berencana pada pengembangan dan perbaikan diri.
Bagi para pekerja seperti saya,
menjadi lebih baik dalam pekerjaan, lebih optimal dan tidak terkejar deadline
adalah keinginan dan perbaikan diri untuk lebih disiplin. Sebab, menunda
pekerjaan adalah aktivitas rutin yang seolah menyenangkan. Padahal terasa betul
bagaimana pikiran dan hati terpantik saat deadline sudah semakin dekat;
ketidaknyamanan dan hasil kerja menjadi tidak optimal. “Ya masih manusia”, demikian dalih pelariannya,
yang membuat sulit untuk mendisiplinkan diri.
Dalam keadaan apapun dan kondisi
bagaimana pun, resolusi, menurut saya, harus dibuat; meski kecil dan sederhana
sekalipun. Sebab, jika tidak dari perubahan
kecil yang berangkat dari dorongan
hati sendiri, kita tak mungkin dapat melakukan
perubahan besar ke arah yang lebih baik.
Benar, bahwa faktor eskternal, seperti dorongan seseorang juga memiliki
pengaruh– dorongan sampean misalnya, tetapi jika kita tak menggerakkan kaki
sendiri, bagaimana langkah akan dimulai.
Menurut saya, resolusi yang
berorientasi pada perbaikan akan mengarah pada kebaikan-kebaikan, salah satunya adalah kebermanfaatan diri bagi
manusia sekitar. Dengan demikian, hidup yang absurd– untuk tidak mengatakan rouwet,
menjadi lebih memiliki makna, sebab keberadaan diri seseorang berpengaruh positif pada
diri orang lain dan kehadirannya justru dinanti.
Tulisan ini adalah ajakan
sederhana. Tidak berarti saya sudah menjadi salih (baik), kemudian melakukah dakwah.
Tidak. Ini adalah tulisan bersumber dari benak. Itu saja. Tak kurang dan tak
lebih. Terkesan tulisan yang buruk, tak apa– asal sampean masih bisa membacanya.
Akhir kata, saya kutipkan kalimat
dari buku Biografi Gus Dur karya Greg Barton yang mengisahkan tentang
kesadaran Gus Dur dalam memaknai jalan
hidup ayahnya, KH. Abdul Wahid
Hasyim, saat wafat; yang mana saat berpulang, perjalanan dari Jakarta menuju rumah
duka (Jombang), di sepanjang pinggir jalan selalu dikerumuni masyarakat.
“Apa yang mungkin dapat dilakukan oleh seorang manusia, sehingga rakyat mencintainya? Apakah ada prestasi yang lebih baik daripada hal ini dalam hidup?”
Terimakasih.
Referensi:
https://www.tempo.co/gaya-hidup/demi-semangat-baru-ini-alasan-bikin-resolusi-tahun-baru-103981
https://www.rri.co.id/lain-lain/1191850/pentingkah-membuat-resolusi-di-tahun-baru
https://databoks.katadata.co.id/layanan-konsumen-kesehatan/statistik/15e4f7fbac808d1/ini-resolusi-tahun-baru-paling-populer-di-indonesia