Di era
sekarang, di mana setiap momen bisa viral dalam sekejap, anak muda terutama
Gen-Z sering merasa tertekan untuk selalu bersuara. Dari Twitter hingga TikTok,
setiap pendapat seakan harus diungkapkan, seolah-olah hidup kita adalah reality
show dan kita adalah bintang utamanya. Namun, kita sering lupa bahwa kadang,
memilih untuk diam adalah senjata pamungkas!
Bayangkan saja,
dalam perdebatan panas di grub WhatsApp, satu-satunya yang memilih untuk tidak
berkomentar bisa jadi pahlawan tak terduga. Teman-teman berdebat seru tentang
film terbaru, sementara kita hanya membalas dengan emoji diam. Tentu, kita bisa
jadi meme di grub, hahahaha. Tapi setidaknya kita tidak terjebak dalam
drama!
Ketika situasi
mulai tegang, ambil contoh kasus ketika teman kita menghabisakan dua jam
menceritakan betapa pentingnya tren fashion terbaru, padahal dia sendiri masih
mengenakan kaos yang sama dari tahun lalu. Di sinilah seni diam berperan. Kita bisa
mengangguk sambil berfikir, “Apakah saya harus ikut pusing?” di saat itulah
kita ingat kata Kakek jauh saya, Kakek Sapardi Djoko Damono, “Aku ingin
mencintaimu dengan sederhana.” Kesederhanaan ini bukan hanya tentang cinta,
tapi juga tentang menjalani hidup tanpa terlalu banyak membebani diri.
Dalam keheningan,
kita bisa merenungkan hal-hal yang lebih penting. Alih-alih menanggapi dengan
komentar yang mungkin akan memperkeruh suasana, kita bisa memilih untuk
tersenyum, menikmati singkong rebus, dan memikirkan rencana akhir pekan. Kita bisa
saja memutuskan untuk pergi ke kafe, order kopi, dan menikmati keheningan
sambil melihat orang-orang berinteraksi di sekitar kita, suatu momen yang
justru bisa memberi inspasi. Jangan lupa bawa doi ya, kalau ada tapi.
Lagi pula
kebijaksanaan datang dari mendengarkan, bukan berbicara. Ketika orang-orang
sekitar kita berdebat tentang siapa yang lebih jago antara Cristiano Ronaldo
dan Lionel Messi, kita bisa saja mengangkat bahu, tersenyum, dan berkata, “Yah,
saya lebih suka menikmati kedamaian dari pada drama.” Seperti kata Om Khalil
Gibran, “kebijaksanaan datang Ketika kita belajar untuk mendengarkan, bukan hanya
berbicara.”
Jadi, mari
kita seruput kopi dan tarik nafas dalam dalam, telan dulu kopinya. Pilih untuk
diam saat perlu, dan lihat apa yang terjadi. Siapa tahu, keheningan kita justru
bisa memberi ruang untuk ide-ide segar dan perspektif baru. Terkadang, dengan
hanya mendengerkan, kita bisa mengumpulkan lebih banyak wawasan daripada jika
kita terlibat dalam setiap dikusi.
Nah, saatnya kita bersantai. Jika ada teman yang terus menerus membahas betapa pentingnya update status dan binggung caption di media sosial, kita cukup menjawab. “iya, itu penting. Tapi kamu tahu, kadang lebih baik momen-momen tak terduga yang diposting di feed.” Dengan begitu, kita bukan hanya menghindari drama, tapi juga mengajak mereka untuk melihat keindahan dari momen sederhana.
Ingat, dunia
ini sudah cukup ramai dengan berbagai pendapat dan kebisingan. Menjadi tenang
dalam keributan bukan hanya sebuah pilihan, tapi juga sebuah seni. Ketika kita
memilih untuk diam, kita justru memberi diri kita kesempatan untuk menemukan
kadamaian di Tengah kekacauan. Diam itu kadang lebih berhaga dari sekedar
bising, dan bisa jadi, keheningan kita adalah jawaban yang paling mengena.
Terakhir dari saya, “Di Tengah dunia yang berisik, kita bisa lupa bahwa kekuatan bisa ditemukan dalam keheningan. Diam adalah tempat di mana jiwa mendengar, dan sunyi yang sederhana, sering kali tersembunyi kedalaman yang abadi. Kadang, dengan memilih diam, kita justru berbicara paling lantang, mengirim pesan bahwa ketenangan adalah kekuatan sejati yang tak butuh pengakuan.”