Seni Diam dalam Hidup




Oleh : Aldi Asy Syaikh Ar-Rois

Di era sekarang, di mana setiap momen bisa viral dalam sekejap, anak muda terutama Gen-Z sering merasa tertekan untuk selalu bersuara. Dari Twitter hingga TikTok, setiap pendapat seakan harus diungkapkan, seolah-olah hidup kita adalah reality show dan kita adalah bintang utamanya. Namun, kita sering lupa bahwa kadang, memilih untuk diam adalah senjata pamungkas!

Bayangkan saja, dalam perdebatan panas di grub WhatsApp, satu-satunya yang memilih untuk tidak berkomentar bisa jadi pahlawan tak terduga. Teman-teman berdebat seru tentang film terbaru, sementara kita hanya membalas dengan emoji diam. Tentu, kita bisa jadi meme di grub, hahahaha. Tapi setidaknya kita tidak terjebak dalam drama!

Ketika situasi mulai tegang, ambil contoh kasus ketika teman kita menghabisakan dua jam menceritakan betapa pentingnya tren fashion terbaru, padahal dia sendiri masih mengenakan kaos yang sama dari tahun lalu. Di sinilah seni diam berperan. Kita bisa mengangguk sambil berfikir, “Apakah saya harus ikut pusing?” di saat itulah kita ingat kata Kakek jauh saya, Kakek Sapardi Djoko Damono, “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.” Kesederhanaan ini bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang menjalani hidup tanpa terlalu banyak membebani diri.

Dalam keheningan, kita bisa merenungkan hal-hal yang lebih penting. Alih-alih menanggapi dengan komentar yang mungkin akan memperkeruh suasana, kita bisa memilih untuk tersenyum, menikmati singkong rebus, dan memikirkan rencana akhir pekan. Kita bisa saja memutuskan untuk pergi ke kafe, order kopi, dan menikmati keheningan sambil melihat orang-orang berinteraksi di sekitar kita, suatu momen yang justru bisa memberi inspasi. Jangan lupa bawa doi ya, kalau ada tapi.

Lagi pula kebijaksanaan datang dari mendengarkan, bukan berbicara. Ketika orang-orang sekitar kita berdebat tentang siapa yang lebih jago antara Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, kita bisa saja mengangkat bahu, tersenyum, dan berkata, “Yah, saya lebih suka menikmati kedamaian dari pada drama.” Seperti kata Om Khalil Gibran, “kebijaksanaan datang Ketika kita belajar untuk mendengarkan, bukan hanya berbicara.”

Jadi, mari kita seruput kopi dan tarik nafas dalam dalam, telan dulu kopinya. Pilih untuk diam saat perlu, dan lihat apa yang terjadi. Siapa tahu, keheningan kita justru bisa memberi ruang untuk ide-ide segar dan perspektif baru. Terkadang, dengan hanya mendengerkan, kita bisa mengumpulkan lebih banyak wawasan daripada jika kita terlibat dalam setiap dikusi.

Nah, saatnya kita bersantai. Jika ada teman yang terus menerus membahas betapa pentingnya update status dan binggung caption di media sosial, kita cukup menjawab. “iya, itu penting. Tapi kamu tahu, kadang lebih baik momen-momen tak terduga yang diposting di feed.” Dengan begitu, kita bukan hanya menghindari drama, tapi juga mengajak mereka untuk melihat keindahan dari momen sederhana.

Ingat, dunia ini sudah cukup ramai dengan berbagai pendapat dan kebisingan. Menjadi tenang dalam keributan bukan hanya sebuah pilihan, tapi juga sebuah seni. Ketika kita memilih untuk diam, kita justru memberi diri kita kesempatan untuk menemukan kadamaian di Tengah kekacauan. Diam itu kadang lebih berhaga dari sekedar bising, dan bisa jadi, keheningan kita adalah jawaban yang paling mengena.

Terakhir dari saya, “Di Tengah dunia yang berisik, kita bisa lupa bahwa kekuatan bisa ditemukan dalam keheningan. Diam adalah tempat di mana jiwa mendengar, dan sunyi yang sederhana, sering kali tersembunyi kedalaman yang abadi. Kadang, dengan memilih diam, kita justru berbicara paling lantang, mengirim pesan bahwa ketenangan adalah kekuatan sejati yang tak butuh pengakuan.”



Lebih baru Lebih lama