Absurditas Yali-yali


 Oleh: M. Helliandik (Hendik)

        “Acap kali manusia merasa tersesat atas apa yang ia lakukan. Manusia bisa melakukan ini dan itu, pun banyak sekali pilihan-pilihan atas segala yang ia ingin lakukan, namun tampaknya tak satu pun benar-benar perlu ia lakukan.”

Dalam kondisi seperti ini manusia sering kali  dihadapkan atas absurditas tindakan-tindakannya. Albert Camus seorang filosof eksistensialis dalam esai filsafatnya Mite Sisifus atau Mitos Sisifus mengatakan bahwa absurditas ada karena terdapat konfrontasi beberapa hal. 

Absurditas akan menampakkan dirinya ketika rasio tidak bisa menyusun atau bahkan menyatukan antara beberapa hal yang mana saling berkontradiksi atau bertentangan itu menjadi satu pemahaman yang logis.

Contoh kasus, ketika seorang terlilit hutang kepada si A dan si B, yang mana hutang kepada si B lebih besar daripada hutang kepada si A, namun si A sudah menagih berulang kali hingga tenggang waktu yang ditentukan sudah habis. Maka si penghutang harus membayar saat itu juga.

Sedangkan si penghutang punya uang yang senilai dengan hutangnya kepada si A, dan si penghutang ingin melunasinya pada hari itu juga, namun uang itu sedang dibutuhkan juga untuk membelikan susu anaknya yang saat itu juga ia harus penuhi. 

Dalam kondisi ini antara realitas bertabrakan dengan idealisme orang tersebut. Pada tahap ini si penghutang akan mencari dan meninbang kebenaran atau kesalahan dari kondisi tersebut. Dan apabila rasio belum menemukan jawaban, maka orang itu akan mengambil data tambahan melalui akibat yang muncul dari tiap kondisi tersebut yang ingin ia pilih untuk dikerjakan. Dan di situlah saat jawaban belum ditemukan lahirlah absurditas. 

Absurditas lahir dari suatu yang ada karena rasio tidak berhenti untuk berjalan, sementara keadaan tidak ada habisnya untuk bisa ditaklukannya oleh rasio manusia. Ketika hilangnya pembanding maka hilang pula ke-absurd-an. Ia hanya akan lahir dan ada ketika suatu hal saling berkontradiksi atau saling bertentangan, karena jika satu hal hilang maka lahirlah suatu kepastian, dan kemungkinan tiada maka hilanglah absurditas. 

Absurditas bukan lagi masalah benar atau salah ia adalah hal yang tidak pernah ada habisnya dicapai dan dikerjakan rasio. Dengan adanya hal itulah rasio tidak akan berhenti. Ia akan semakin besar ketika pembanding-pembandingnya semakin luas. 

Tetapi absurditas bukanlah kesia-siaan belaka, ia bersifat tidak terhingga. Dalam mitos sisifus Camus, Sisifus dikisahkan oleh Homer sebagai raja yang bijak dari Korintus. Ia dikutuk atau diberi hukuman oleh Zeus untuk mengangkat batu hingga sampai puncak gunung, namun batu itu ketika sudah di puncak ternyata jatuh kembali, dan Sisifus harus mengulanginya kembali tiada henti, karena batu jatuh terus ketika sudah sampai di puncak. Dari kisah ini itulah kesia-siaan. 

Camus menyebut Sisifus dalam kisah tersebut merupakan absurditas yang nyata. Camus menilai hal tersebut bukanlah kesia-siaan belaka, namun melihat sisi kebahagiaannya. Sisifus ketika mengangkat batu ke atas gunung adalah saat di mana manusia melakukan konfrontasi. Dari sini sama halnya seperti manusia dalam mencari segala segalanya; konfrontasi, kesenangan, kesedihan, perjuangan, pengabdian, kerinduan, pemberontakan dst. 

Kembali lagi ke paragraf awal yang mana manusia sering kali melakukan suatu hal tanpa adanya pertimbangan yang mendalam atas apa yang benar-benar ingin ia lakukan atau bahkan sekadar melakukan hal itu yang ternyata sangat tidak perlu kita lakukan. Namun ada nilai tersendiri atas apa yang dilakukan dengan keleluasaan dan tanpa adanya paksaan ataupun dorongan motif apapun itu.

Dalam banyak kejadian manusia seringkali terjebak dan mengikuti pelbagai trend (fomo), yang pada dasarnya ia tidak pernah tau dan benar-benar tau atas apa yang terjadi dan mengapa harus mengikuti apa yang sedang menjadi trend. Apapun itu trend-nya baik itu bermanfat maupun sama sekali tidak ada manfaat baginya tetaplah ia lakukan.

Spek “Yali-yali” misalnya, yang sedang menjadi trend perempuan memakai outfit syar’i dengan backsound andalannya “Yali-yali”. Hampir kecenderungan laki-laki dalam memandang perempuan, yang nampak terlihat layaknya muslimah dengan outfit gamis maupun jubah, dan semacamnya itu. Memang secara kasat mata terlihat sholehah namun ada sedikit kecenderungan miring daripada muslimah itu sendiri, yaitu sholehot. Dengan beberapa outfit yang sedikit menampakkan auratnya atau jubah yang ketat sehingga terlihat sholehot.

Sedangkan menurut penulis yang masih amatir ini melihat “yali-yali” ini sangat berbeda dengan pandangan umum laki-laki (pemburu “yali-yali”). “Yali-yali” bukanlah sekadar perempuan yang memakai outfit syar’i dengan backsound lagu Yali-yalinya, namun lebih daripada itu adalah perempuan yang teguh taat agamanya, berilmu, dan menjaga pakiannya.

Menjadi absurd ketika seorang perempuan berpakaian syar’i dengan identitas idealnya yang selalu melekat seperti (perempuan berilmu, berakhlak dan seterusnya), namun terjadi distorsi nilai, hanya karena mengikuti trend tanpa benar-benar mengetahui esensi dari pada itu.

Menjadi absurd pula ketika laki-laki (pemburu “yali-yali”) berbeda idealismenya dalam memandangnya semacam perempuan sekop-sekop, tobrut, dst. Yang pada kenyataannya hanya ingin menikmati lekuk tubuhnya. Bukan menikmati keteduhan paras, kesantunan akhlak, dan ilmunya.

Maka dari itu pesan dari penulis kepada para perempuan yang semoga layak untuk disegani dan dihormati karena ilmu, dan akhlaknya. Mari beranjak dari yang awalnya sekadar outfit syar’i menjadi benar-benar syar’i keseluruhan tindak dan laku, Tata dan tuturnya. 

Di sini penulis bukan berarti dalam posisi sebagai laki-laki yang sok suci, atau juga tidak menikmati trend di atas. Melainkan ini hanya sebagai refleksi bersama sebagai insan yang sadar akan kebaikan dan nilai-nilai luhur. Tidak lain dan tidak bukan, dalam memandang realita seperti di atas, mari bersama untuk tetap mempertahankan nilai-nilai yang seharusnya terjaga. Bukan malah menjadikan itu sebagai objek pandangan yang miring atau negatif bagi laki-laki. Dan bukan mengikuti trend berjubah syar’i semata bagi perempuan. Lebih daripada itu kita sebagai perempuan dan laki-laki yang nantinya adalah satu kesatuan utuh kedapannya akan menjadi madrasah pertama bagi anaknya adalah perempuan, dan kepala sekolahnya adalah laki-laki. 

Sekian sedikit tulisan, dan setitik keresahan, yang semoga bersama menjadi kesadaran. 
Tabik!

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama