Pertanyaan dan Pernyataan

mandakara1

Oleh: Muhammad Sholeh Muria

Bagaimana keadaan hatimu? Ketakberdayaan kita akan misteri realita, terkadang menggelisahkan, bukan? Fenomena sosial yang kita temui, seperti ketidakcocokan perilaku seseorang yang cenderung tidak kita setujui, seringkali mencemaskan.

Bagaimana dengan pikiranmu? Apakah rasionalitas kita akan sebuah kebenaran yang partikular telah sepenuhnya benar; bijaksana? Bagaimana dengan kehendak kita yang seringkali terbatasi oleh ketakberdayaan untuk menampakkan ketidaksetujuan secara verbal terhadap perilaku-perilaku individu lain?

Akankah kita temui sebuah kebijaksanaan dalam perilaku yang kontraproduktif dengan “prinsip”? Ataukah kita akan terjebak dalam ketakberdayaan dan kemudian memakai selemah-lemahnya iman? Apakah selemah-lemahnya iman itu dapat menjadi pilihan pertama, agar tak terjadi konfrontasi yang menimbulkan disharmoni?

Dosakah jika pilihan pertama ini diyakini sebagai one-one solution dalam merespon perilaku yang tidak kita setujui (karena etik)? Apakah dapat dibenarkan, bahwa dalih agar tidak timbul konfrontasi dengan mengambil satu-satunya pilihan?

Stimulus apa yang dapat membuat kita berani untuk menyatakan sikap dan menyampaikan bahwa perilaku individu lain kurang tepat; salah, menyimpang, tidak bijaksana? Ataukah sejatinya, kita hanya takut pada realitas yang akan terjadi di masa mendatang dalam konteks potensi ketidakharmonisan yang akan timbul?

Realitas masa depan masih bayang-bayang yang belum tentu terjadi.

Mungkinkah yang kita takuti adalah individunya? Atau jangan-jangan kita takut akan runtuhnya emosional “saudara” terhadap kita dan takut kehilangan kenyamanan- seolah tiada tempat lain yang nyaman untuk kita singgahi dan menetap di dalamnya. Ataukah subyektivitas kebenaran yang kita pegang justru bukan suatu kebenaran- dengan kata lain, dia atau merekalah yang benar dalam berperilaku? Apakah kita terlalu lemah dan mereka terlampau superior, sehingga tiada kuasa untuk menjedanya- tabayun?

Bisa jadi kita sudah tidak peduli dengan semua itu. Namun, atas dasar apa kita tidak peduli? Padahal kualitas kesadaran dan pemahaman akan moral mengandung tanggung jawab moral. Apakah dengan ketidakpedulian, sebuah tanggung jawab menjadi gugur. Atau justru sebaliknya, menjadi pikiran yang senantiasa terlintas dan menjadi kecemasan.

Mungkin setiap orang memiliki ruang dan waktunya untuk dapat bersikap lebih bijak. Tidak mungkin tanpa sebab, di suatu tempat seseorang berpijak. Akhir kata, sepertinya ketidaksetujuan harus tetap dinyatakan- meski mampunya masih dengan tulisan.

Nuhun.

Lebih baru Lebih lama