Oleh: Muhammad Sholeh Muria
“Kemarin Aku pintar, Aku ingin mengubah dunia. Hari ini aku bijak, Aku ingin mengubah diriku sendiri” – Jalaluddin Rumi
Tulisan ini adalah lanjutan dari opini yang berjudul “Pertanyaan dan Pernyataan”. Muncul sebab kecemasan dan juga perlu dinyatakan. Setitik teori, tidak ada filsuf, hanya ada kalimat Rumi di atas. Tak ada soal bagi pembaca yang ingin tetap tinggal. Tak ada sanksi untuk pembaca yang hendak pergi. Silahkan.
Dua dekade lebih penulis mengalami perubahan-perubahan. Perubahan fisik, pola pikir, karakter, prinsip dan orientasi. Dari yang terakhir, contoh terkecilnya adalah orientasi hidup atau cita-cita. Semakin ke sini, cita-cita bisa semakin konkret, bahkan juga bisa semakin abstrak- ada juga yang abstrak tapi dirasa konkret. Tapi yang penulis rasakan cukup fluktuatif, yang pastinya juga dirasa pembaca sekalian.
Perihal perubahan diri memang pasti terjadi pada seseorang- meroket atau anjlok. Tiada stagnasi mutlak dalam perjalanan hidup. Stagnasi berasosiasi pada aspek-aspek (partikular), bukan pada universalitas diri manusia. Pemikiran yang stagnan, berarti pemikiran yang tak berubah. Bukan manusia yang tak berubah.
Perubahan bisa terjadi karena faktor internal maupun eksternal. Faktor internalnya adalah kualitas kesadaran diri. Apalagi perubahan signifikan, biasanya terjadi karena kesadaran tinggi yang akhirnya merevolusi universalitas diri; pola pikir, karakter, prinsip dan orientasi.
Faktor eksternal tidak serta merta dapat mengubah diri seseorang. Hubungan kausalitas antara diri dengan faktor eksternal yang kemudian dapat mengubah diri seseorang pun juga bertitik tolak pada kesadaran.
Faktor eksternal bisa sekedar kentut yang baunya sementara dan kemudian hilang begitu saja. Tetapi juga dapat menjadi surat dari seorang terkasih yang harus dibuka dan dimaknai kerinduannya.
Kesadaran yang timbul dari faktor eksternal lebih kecil kemungkinannya, karena kebanyakan orang yakin pada prinsipnya sendiri, meskipun maksud faktor eksternal sangat luhur. Seseorang dengan egonya merasa bahwa dirinya benar, sehingga faktor eksternal jadi sekedar kentut- menetap kemudian lenyap.
Faktor eksternal yang luhur- yang berpotensi mengubah diri kita, akan dapat masuk sebagai hal yang bermakna, saat kualitas kesadaran yang kita miliki telah sampai di titik dapat mempertimbangkan, bahwa faktor eksternal tersebut benar-benar dapat mengubah diri ke arah yang lebih baik atau sebaliknya.
Kualitas kesadaran kita hari ini adalah akumulasi sementara dari kesadaran-kesadaran yang berangkat dari internal dan sebagiannya dari eksternal. Dikatakan sementara, karena kualitas kesadaran bersifat potensial. Prinsip hari esok bisa jadi dapat berubah, bahkan sama sekali berbeda (bertolak belakang) dengan prinsip hari ini. Seperti halnya prinsip hari ini yang berbeda dengan prinsip diri kita 5-10 tahun yang lalu. Dan itu karena kualitas kesadaran.
Berbicara faktor eskternal yang penulis ulas sebagai faktor dengan probabilitas kecil dalam mengubah diri seseorang, semestinya kita pahami, sadari dan batasi diri untuk mengubah diri orang lain. Membatasi bukan berarti tidak sama sekali. Karena sebagai zoon politicon, manusia satu dengan yang lain pasti saling silang dalam persinggungan; termasuk dalam menjadi faktor eksternal berubahnya seseorang.
Penulis merasa bahwa kualitas kesadaran-lah yang menjadikan faktor eksternal sebagai hal yang mungkin dapat mengubah seseorang. Yakni saat kualitas kesadaran mereka telah mencapai titik dapat menerima faktor eskternal yang luhur dan yang akan mengantarkan mereka menjadi lebih baik.
Manusia yang sekaligus menjadi faktor eksternal bagi manusia yang lain pun juga harus memiliki kualitas kesadaran dan berlaku etis- tidak menjadi faktor eksternal yang memaksa orang lain agar berubah. Maksud penulis, kita jangan sampai menjadi kentut abadi- tak sedap dan tak pernah lenyap.
Sedikit hal mengenai perubahan, bahwa diri kita adalah arus yang berputar. Jika arus putaran diri kita besar, maka potensi seseorang berubah karena kita (sebagai faktor eksternal) pun juga besar. Jika arusnya kecil, menurut penulis, kita hanyalah kentut.
Meski demikian, ada kalanya kentut pun bisa berubah mengubah orang lain. Karena akhirnya orang itu akan memaknai baunya sebagai esensi dengan rasionya, bukan hanya tanpa menutup hidung- selayaknya pesan kekasih yang dibaca tidak hanya dengan matanya, tetapi juga hatinya.
Di Tengah kesulitan untuk mengubah orang lain karena tulisan ini, mungkin kita bisa menentukan orang-orang mana saja yang kita mampu mengubahnya- sebagai faktor eksternal yang berpengaruh. Dengan melihat kualitas kesadaran diri kita, arus putaran diri kita dan kualitas kesadaran orang yang ingin kita ubah.
Jika ternyata mumet untuk memilah, berpeganglah pada apa yang dikatakan Rumi. Jika tak pintar, tak perlu muluk-muluk ingin mengubah dunia. Kalau belum bijak, mari berefleksi ke dalam diri.