Nilai Sosial hilang : Salaman makin jarang, julid makin rajin

 


Oleh : Aldi Asy Syaikh Ar-Rois

Pernahkah kita bertanya, atau menanyakan, kenapa orang zaman sekarang jago julid daripada saling menghargai? Dan pernah gak kita kepikiran, kenapa orang sekarang lebih jago nyinyir daripada menyapa? Dulu, kalau ketemu orang, tangan kita enteng aja buat menjabat, menyapa dan ngobrol basa-basi. Coba lihat sekarang, bisa-bisanya cuman salaman sama layer ponsel. Salaman makin langka, tapi hobi komentar dan nyinyir makin subur, seperti tanah yang subur di musim hujan, dan laris kayak diskon akhir bulan.

Sabagai sarjana social (cailah!), saya sering kepikiran, ini kenapa sih, orang-orang lebih semangat ngebahas kekurangaan orang lain daripada menjaga etika? Padahal, kalau menurut teori, bentar, dengerin dulu – yang mananya interiaksi sosial itu harusnya bikin kita makin erat, makin rukun. Tapi, kenyataan di lapangan? Ternyata teori kalah sama tren. Trendsetter Zaman Now, Gens.

Nah, ini yang lucu, ya. Bukannya makin maju, kita malah makin jauh dari nilai-nilai yang dulu bikin kita bangga sebagai bangsa yang ramah. Dulu saling dukung itu keren. Sekarang kalau gak ikut ngegosip kayaknya malah dikiran gak “Update.” Saya sebagai sarjana social kadang mikir, ini perkembangan atau mundur alon-alon, ya?

Tapi jangan salah paham, ya. Saya bukan sok suci, kadang saya juga manusia biasa, suka penasaran sama drama yang berseliweran di media sosial. Tapi kan, yang membedakan kita adalah seberapa jauh kita mau nyemplung, “kalau sekedar jadi penonton bayaran masih oke lah.” Tapi kalau jadi “komentator resmi sepak bola,” wah, hati-hati tuh.

Saya juga tahu, kadang orang bilang, “ah nyinyir itu kan udah biasa di zaman sekarang, gak papa lah.” Eh bentar, gak papa gimana? Ini tuh udah kaya hobi baru gak sih! Dulu hobi kita itu ngumpul buat senang-senang, lah sekarang? Ngumpulnya buat buka aib. Ironisnya, kadang orang yang paling rajin julid, seakan-akan punya “kepribadian ganda” ramah offline, padas online. Ngeri gak sih, guys?

Kapan terakhir kali kita menyapa tentangga tanpa rasa takut dianggap sok kenal? Jangan-jangan, kita lebih banyak ngomong sama orang di dunia maya ketimbang di dunia nyata. Pernah ada yang bilang (kayaknya teman sekos saya sih, bukan selebgram terkenal), “sapa tentangga itu penting, biar kalau Listrik mati gak binggung minjem lilin.” Bener gak? Di era Cashleess ini, menyapa tentangga biasa jadi investasi tak terduga, kali aja butuh bantuan dadakan.

Sabagai sarjana sosial (di baleni maneh, og). Saya percaya, kalau kita Kembali sedikit ke kebiasaan sederhana salam, sapa, senyum bisa bikin suasana jauh lebih nyaman. Ngak perlu lebay,ngak perlu nunggu viral, cukup jadi manusia biasa aja, woy. Salaman sederhana tapi tulus itu, siapa tahu, bisa bikin orang yang kita sapa jadi merasa di hargai. Percaaya deh, efeknya lebih berharga daripada jumlah likes yang kita kumpulkan.

Masih betah? Kalau sampai sini berarti masih betah. Nah mungkin ada yang mikir “Aduh, ini kok gue banget ya” ada yang mikir gitu? Kalau ada, gak papa, kita semua kemungkinan pernah atau bahkan sering. Tapi kan, justru ini kesempatan buat belajar jadi lebih baik, bukan untuk sok bijak. Tapi supaya kita gak terjebak jadi generasi yang lebih fokus ke “kulit” dari pada “isi.”

Jadi, gimana menurut anda? Lebih enak pilih salaman atau julid? Kalau saya sih, sebagai sarjana sosial angkat bahu, pikir aja sendiri. Mana yang bikin kita lebih damai di hati.

Terimasih gusy……


Lebih baru Lebih lama