Oleh: Dendy Wahyu Anugrah
Di tengah
arus budaya populer (popular culture) seperti sekarang ini, faktanya masih ada
“pengangguran terselubung”—jika tidak dikatakan banyak. Para pengangguran itu,
karena ndak ada kerjaan, jadi ya etok-etok melakukan aktivitas.
Acap kali, aktivitas yang dilakukan, kelihatan sepele dan out of the
world—kalau out of the box sudah lumrah. Sebagai contoh: pagi hari
nonton orang-orang lari di RTH, hilir-mudik ke minimarket supaya diucapin
“selamat datang” dan “terima kasih”, atau tiap hari ke kafe biar dapat senyum
manis mbak-mbak waitters.
Ya, jujur
saja, saya adalah bagian dari “pengangguran terselubung” di atas. Sebagai
laki-laki, mengaku sebagai pengangguran, adalah suatu tindakan “bunuh diri”
paling jantan! Tapi, meski bentukan saya begini (bagi yang belum kenal, saya
persilahkan searching di Syaikhina Google al-Internetiy), saya
bisa membahagiakanmu kok, Dik.
Agar tidak
terjadi ketimpangan internal, sebagai seorang pengangguran, saya juga mendaku
sebagai “pembangkang terbuka”. Salah satu bentuk pembangkangan itu, antara
lain: sok-sokan sinau, nulis, jadi penonton ke-ndelogok-an politik yang
baik, dan ini yang paling sering: mencintaimu. Semua itu saya lakukan untuk
menyeimbangkan kehidupan. Sebab, jika tidak begitu, bisa innalillah.
Sukar memang, tapi ya bagaimana lagi. Namanya juga hidup. Sempat saya berpikir
(karena merasa kesulitan menyeimbangkan kehidupan saya): bagaimana ya jadi
Nietzsche yang ingin selalu “menari-nari di atas dua jurang yang menganga” itu?
Bagaimana ya jadi Heidegger yang kepengin banget jadi Dasein, atau jadi
Jokowi yang tidak ingin “melepaskan” Indonesia itu. Berpikir jadi mereka saja,
sudah sebegitu ruwet-nya, apalagi ngelakoni.
Oleh karena
terlalu sukar dan lumayan rumit, tanggalkan saja soal “pengangguran
terselubung” dan “pembangkang terbuka” tadi. Saya akan membahas hal-hal yang enteng-enteng
saja. Pada kesempatan kali ini, saya membahas secuil dari kehidupan anak muda
yang, sependek pengetahuan saya, mengalami dekadensi. Maaf, pembahasan agak
sedikit menukik, sesekali-lah ya, biar kayak perempuan—sulit dimengerti.
Popular Culture & Pergeseran Umpatan: Sebuah Tilikan Singkat
Kalau kita
cermat memahami realitas anak muda sekarang ini, kemungkinan besar kita akan
mengernyitkan dahi. Kenapa begitu? Ya, singkatnya, karena “budaya pop” yang
telah disebut di muka tadi. Menurut John Storey, dalam Cultural Theory and
Popular Culture: An Introduction (2015), budaya populer (popular culture)
itu adalah budaya yang muncul setelah industrialisasi dan urbanisasi. Nah,
berarti, merujuk dari definisi Storey (yang diperas dari enam definisi) tadi,
budaya kita sekarang ini bisa disebut “budaya pop”.
Arus budaya
pop telah melanda pola pikir, gaya hidup, kebiasaan, kesukaan, dan komunikasi
anak muda hadza zaman. Mereka, insan-insan ndelogok itu, sudah
terbawa arus budaya pop, sehingga mengalami “pergeseran” yang kentara—jika
tidak disebut “dekadensi”. Pergeseran itu terjadi, salah satunya, dalam
kata-kata “umpatan” yang keluar dari mulut mereka di tongkrongan atau,
belakangan yang paling banyak, di media sosial. Bagaimana saya bisa tahu?
Sekali lagi, karena saya ini “pengangguran”. Sehingga, dari hari ke hari,
kesibukan saya cuma: nongki-nongki di kafe atau sekrol-sekrol
gadget.
Umpatan
anak muda sekarang, kalau ditengok secara seksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya, ternyata sedang “dijajah” oleh dua kebahasaan: bahasa
urban dan Barat. Bahasa urban, merujuk pada daerah perkotaan seperti Jakarta.
Varian umpatan yang sering terdengar, antara lain: anjing, ngent*t, bangsat,
taik, dan babi. Misalnya, “Anjing lu!”, “Bangsat kowe!”, dan umpatan sejenis
(silahkan dicontohkan sendiri).
Sedangkan,
bahasa Barat, merujuk pada bahasa Inggris “jalanan”. Biasanya, umpatan ini didapat
dari flayer bahasa Inggris atau cuplikan film biru (blue film). Tapi,
saya tidak tahu pasti, dari mana mereka mendapatkan kata umpatan ala
Barat ini. Makanya, agar lebih mudah dipahami, saya “kambing hitam”-kan saja
budaya pop itu. Kata umpatan ala Barat ini bisa diketahui, antara lain: fuck,
mother fucker, bitch, shit, dan damn. Misalnya, “Oh, shit! Dia selingkuh, Bro”,
“Ah, fuck you-lah!”, dan sejenisnya.
Menurut
saya, fenomena umpatan (Jawa: pisuhan) ini, adalah pergeseran budaya yang perlu
diperhatikan agak serius—meskipun ndak serius-serius amat, sih. Sebab,
kalau kita mengingat-ingat betul, sebenarnya kita punya kata umpatan yang khas
dan genuine. Di Jawa Timur, misalnya. Berapa banyak kata umpatan yang
dimiliki oleh masyarakat Jawa bagian timur itu? Banyak. Namun, paling khas
ialah kata Jancuk (padanan: jancok, diancuk, dan diancok). Ada dua
artikel yang menarik membahas dari sisi historis dan semantik-pragmatik kata Jancuk
itu, yakni Sejarah Kata Jancuk: Muncul Gara-Gara Tank Belanda atau Romusha?
(Aprilia Kumala di Mojok.co, 2019) dan Discourse Analysis About “Jancok or
Dancok” in Discourse: Semantic and Pragmatic (Yam Saroh, STKIP PGRI
Jombang, 2010).
Untuk
(sedikit) memperkuat uraian di atas, saya akan melampirkan dua kepingan sejarah
yang berkaitan dengan umpatan khas Jawa itu—biar kelihatan “akademis” dan jauh
dari penilaian “ndobos” belaka.
Jancuk & Revolusi 10 November 1945
Jika kita
ditanya, “Jancuk itu dari mana, sih?”, secara spontan kita akan menjawab:
Surabaya. Tapi, sampai detik ini, kata ini sulit dipastikan kapan dan siapa
penemunya. Ia lahir dan tumbuh di kalangan masyarakat Jawa, khususnya bagian
timur. Menyembul begitu saja, tanpa ada yang tahu asal-usulnya.
Gus Rizal
Mumazziq, dalam Surabaya: Kota Pahlawan Santri (2017), membidik dari
sudut pandang yang lain dari kebanyakan sejarawan. Ia, di dalam bukunya,
menghidangkan “santapan” sejarah tentang Pertempuran Surabaya yang monumental
itu, dari sisi kelakar; cerita lucu arek-arek Suroboyo saat berperang.
Namun, yang menarik, Gus Rizal juga menyuguhkan fakta bahwa istilah Jancuk
adalah pekikan perlawanan yang keluar dari kerongkongan para pahlawan Revolusi
10 November 1945.
Salah satu
contohnya, ada seorang panglima yang sering misuh, ia bernama Hasanuddin
Pasopati (seorang panglima Polisi Tentara Keamanan Rakyat, PTKR, Jawa Timur).
Hal itu dibuktikan, misalnya, saat Pak Hasanuddin dan pasukannya mengintai
markas Kempetai pada pertengahan bulan Oktober 1945, dan mereka berniat untuk
merebut gudang senjata milik Kempetai itu.
“Prasamu aku yo gak dek-dekan terus? Jancuk, sopo sing gak kuatir. Sing nok kono iku dudu prajurit biasa, Kempetai (polisi rahasia), Rek. Iyo nek telung atus Geisha ngono karuane. Jancuk! Kon ngerti, uwong-uwong gendheng iku meneng-meneng iso masang bom nek gelem,” kata Pak Hasanuddin dengan logat Suroboyoan (hal. 142-143).
Seorang
panglima saja sering misuh, apalagi pasukannya. Panglima kencing berdiri,
pasukan kencing berlari sambil bawa senjata di pinggang sebelah kiri. Dan, yang lebih menarik lagi, pendapat Gus
Rizal tentang kata Jancuk di dalam pusaran Pertempuran Surabaya itu. Bunyi
pendapat beliau, begini:
“Bagi saya, dalam Revolusi November 1945, selain pekik takbir Bung Tomo,
teriakan Merdeka, dan slogan Merdeka Atau Mati, Jancuk juga mendapat prioritas
utama. Sebab, kata ini menjadi salah satu perekat egalitarian di antara rakyat
maupun pejuang Surabaya. Berbeda dengan Palagan Ambarawa, Puputan Margarana,
dan Serangan Umum 1 Maret 1949, yang ketiganya memiliki hierarki yang jelas
dengan taktik militer modern, Revolusi November di Surabaya terjadi secara
sporadik tapi bergelombang...” (hal. 143-144).
Dalam hal
ini, saya cocok dan sependapat dengan kesimpulan seorang “Gus” yang kealimannya
lebih panjang dan lebat dari rambut gondrong-nya itu.
Amuk-amuk Blambangan: Potret Pemberontak & Celeng!
Jujur,
mencari sumber yang memuat model umpatan masyarakat Blambangan (Banyuwangi)
sama sulitnya dengan membaca kode dan tanda-tanda singkat dari dekne.
Tapi, bagaimanapun, harus tetap senantiasa dicari. Demikian, umumnya laki-laki
“proletar” yang ingin menciptakan revolusi cinta dalam hidupnya—meraih hati
seorang perempuan.
Syukur, ada
sumber yang bisa dilacak, meski hanya sepintas lalu membahas umpatan khas ujung
timur Jawa itu. Dalam buku Sayu Wiwit Sang Kaisar (2009), H. Slamet
Utomo membubuhkan sedikit pembahasan tentang “amuk-amuk orang Blambangan”.
Menurut Pak Slamet Utomo, bahasa dan sifat orang Blambangan memiliki perbedaan
yang cukup jelas dengan bahasa orang Jawa (Jawa Timur atau Jawa Tengah).
Orang-orang Blambangan, bagi Pak Slamet Utomo, memiliki karakter “pemberontak”.
“Ada kalanya kepala desa membuat kesalahan. Lalu semua penduduk desa
sepakat tidak mau menjalankan segala macam pekerjaan, tidak mau membayar pajak,
selama kepala desa itu tidak diganti...” (hal. 18)
Selain itu,
berkaitan dengan pisuh-pisuhan, masyarakat Blambangan mempunyai varian kata
yang beragam, antara lain: Celeng, Babi, Asu, Sun Banting!, dan
lain-lain. Kata-kata itu diucapkan oleh orang Blambangan ketika lama tak bersua
(dan saat sedang “mengamuk”). Menurut salah seorang sahabat, ada kata umpatan
lain yang juga sering diucapkan orang-orang Blambangan (Osing): Borok, Kopok,
Matairo, Nagud, dan Rainiro.
Setali tiga
uang dengan Revolusi November 1945 di Surabaya, menurut saya, saat orang-orang
Blambangan melawan Kompeni pada Perang Wilis dan Puputan Bayu, misalnya, kata
umpatan seperti “Celeng” dan “Sun Banting!” merupakan kata-kata yang senantiasa
mengiringi peperangan.
Gerakan Revitalisasi Budaya: Mengubur Fuck You!, Mengudarakan Jancuk!
Akhirnya,
sampai juga di penghujung tulisan yang (agak) panjang ini. Maunya sih, menulis
soal “pisuh-pisuhan” ini secara ringkas. Tapi, kok, rasanya kurang puas. Sebab,
bagi saya, ini juga sesuatu yang urgen dibahas, khususnya untuk kalangan anak
muda, selain ngobrolin politik kekuasaan yang tentatif dan ruwet itu.
Saya telah
mengurai arus budaya populer (popular culture), dilanjut dengan kata
umpatan khas masyarakat Jawa disertai dua kepingan sejarah tentang kata
“Jancuk” dan “Celeng”-nya orang Blambangan. Secara sederhana, maksud dari
tulisan ini, sebenarnya mau mengajak anak-anak muda (laki-laki dan perempuan)
untuk bersama-sama merevitalisasi budaya kita. Ya, kedengarannya terlampau
“ndakik” dan kurang ajar, sih. Sebab, kata Jancuk dan Celeng itu,
sudah diletakkan dalam ruang “kenistaan” oleh masyarakat kita.
Namun, saya
kok punya pandangan: bahwa dalam nguri-nguri budaya itu tidak
hanya menjalankan ritual, tradisi turun-temurun, buat seminar kebudayaan,
mendaftar diri jadi Duta Kebudayaan, atau ikut Banyuwangi Youth Festival jadi
Jebeng-Thulik. Tetap mempertahankan kata umpatan khas daerah agar tidak
tergerus budaya asing, itu juga termasuk nguri-nguri budaya.
Setidak-tidaknya cukup membantu.
Dari mana
kita berasal, ya budaya tempat lahir kita itulah yang harus tetap kita jaga
kelestariannya dari deru ombak modernisasi. Sudah banyak, kok, para tokoh
intelektual yang menguliti bagaimana peradaban Barat itu bekerja dan “menjajah”
Negara Dunia Ketiga seperti Indonesia kita tercinta ini. Oleh sebab itu, perlu
gerakan masif untuk menjaga otentisitas kebudayaan masyarakat kita. Salah satu
caranya: mengumpatlah sesuai bahasa daerah masing-masing!
Akhirul kalam, saya mengajak seluruh elemen
generasi muda untuk bersama-sama misuh di manapun kalian berada, dengan pisuhan:“Jancuk”,
“Asu”, “Celeng”, “Matairo”, dan sejenisnya. Kita counter umpatan yang
datang dari daerah urban dan Barat itu. Meruntuhkan dan mengubur dalam-dalam
hegemoni “Fuck You”, dan membangkitkan kembali “Jancuk” sebagai umpatan khas
kita!
Salam,
Jancok!
Bahan bacaan lanjut:
Storey,
John. Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction. New York:
Routledge, 2015
Kumala,
Aprilia. Sejarah Kata Jancuk: Muncul Gara-Gara Tank Belanda atau Romusha?
(2019) https://mojok.co/komen/versus/sejarah-kata-jancuk/ (diakses pada 11/11/2024)
Saroh, Yam.
Discourse Analysis About “Jancok or Dancok” in Discourse: Semantic and
Pragmatic (STKIP PGRI Jombang, 2010)
Mumazziq Z,
Rizal. Surabaya: Kota Pahlawan Santri. Surabaya: LTN NU Surabaya, 2017