Aku Menulis Karenamu: Bagian 1

Aku Menulis Karenamu

Oleh: Muhammad Sholeh Muria

"Cantik sekali. Hm, kira-kira jomblo nggak ya?" Gumam Rifqi dalam kesendirian. Sejak sepulang dari kampus dan kemudian membersihkan dirinya dari kekotoran lahir, barangkali juga batin, ia hanya bersila dengan rokok di tangannya. Meditasi bukan kebiasaannya. Tapi sore itu di kamarnya, selayaknya pertapa, ia memaknai getaran tak biasa yang dirasakan sebab melihat perempuan.

***

Biasanya mahasiswa semester akhir memang suka ke kampus. Entah dengan niat bimbingan atau ngopi dan bertemu kawan-kawan di Kantin.

"Jangan tanya itu dong. Ngopi-ngopi mahasiswa semester tua itu harus variatif. Nggak cuma soal tugas akhir," ucap Rifqi pada Badrun yang menanyakan sampai titik mana pengerjaan penelitiannya. "Mbok ya soal cewek kek," tukasnya sembari tertawa.

"Bu!" panggil seorang mahasiswi pada pemilik Kantin. Suaranya melambai saat memesan mie instan. Tak serius nada bicaranya, "Lucu," pikir Rifqi.

Suara kebanyakan perempuan memang selalu mengundang pandang, seolah ada panggilan tanpa sengaja. Mungkin itu yang dirasakan Rifqi. Lalu, "makjleb!" dadanya bergemuruh pelan. Selepas itu ia putuskan untuk menoleh ke arah mahasiswi itu.

Rokok yang di sela antara jari tengah dan telunjuknya lambat laun bergetar. Getaran itu menjalar. Dada pusatnya, tapi pengaruhnya ke seluruh raga Rifqi.

Tak disangka, mahasiswi itu duduk di seberang tempat Rifqi duduk. Ia jadi tak mampu untuk menahan pandangan. "Masya Allah," batin Rifqi. Ironi, perempuan itu juga memandangnya sesekali.

Sore di kantin adalah tragedi aneh bagi Rifqi. Bagaimana tidak, ia sudah lama tak merasakan hal itu. Getaran itu bahkan masih sedikit terasa saat ia sudah di rumah. Pertapaannya memaknai arti getaran tak mengarah pada fisika atau penyakit. Ia benar-benar merasakannya sebagai rasa. Tapi apakah bisa disebut rasa jika masih sekali berjumpa? Atau tak ada aturan yang berarti dalam hal kejatuhan cinta?

***

Hari-hari berlalu, tapi samar wajah dalam bayang Rifqi tak segera terlupa. Antara penasaran atau memang telah muncul sebuah rasa, nyaris tak dapat dibedakan.

Hari ini Rifqi akan menghadap dosen pembimbing. Mahasiswa semester akhir itu cukup pusing dengan tugas akhir. Masih menyusun proposal saja sudah pusing tujuh keliling, apalagi kalau sudah masuk bab pembahasan. Mati dia!

Barangkali tak sedramatis itu. Tapi ia memang cukup bandel dalam hal tulis-menulis. Kalau soal retorika dan debat, ia cukup piawai. Selain rokok dan kopi, ia juga suka membaca buku. Mungkin sekarang list kesukaannya bertambah, yakni mahasiswi itu.

***

Rifqi di Kantin hanya ditemani kopi dan rokok, sesekali memandang gadget. Raut mukanya tak secerah saat ia berangkat dari rumah. "Memang ngerjain skripsi sesulit ini?" pikirnya.

Saat bertemu dosen pembimbing, ia benar-benar dihabisi. Narasi dalam proposalnya tak berdasar. Coretan merah dosen pembimbing penuh, bak lukisan abstrak yang memiliki makna. Dan memang memiliki makna. Maknanya ia harus revisi.

Hal itu cukup membuatnya lupa pada bayang samar wajah mahasiswi yang ia temui beberapa hari lalu. Rasanya kebetulan atau memang ada alasan, mahasiswi itu ternyata di Kantin. Dan Rifqi tak menyadarinya, karena memang duduk mereka berjauhan.

Yang sebelumnya tak terbayang, melihat mahasiswa itu memantik jiwa kejantanan Rifqi. "Sepertinya dia mau ke kelas," pikir Rifqi. Ia sangat ingin memiliki whatsapp cewek itu. Tak pikir panjang, Rifqi menghampirinya.

"Boleh gabung Mbak?" Tanpa basa-basi Rifqi menyamankan duduknya. Mahasiswi itu bersama temannya saling pandang. Mungkin kaget, mungkin juga bingung. Dengan wajah yang demikian, mereka sontak mengangguk, mengiyakan.

Pertanyaan-pertanyaan template didaratkan kepada kedua mahasiswi itu. Tapi fokus Rifqi satu. Betul, si dia.

***

Betapa senangnya Rifqi setelah mendapatkan nomor mahasiswi itu. Chatting ala-ala pedekate dilancarkan setiap hari. Revi, ya nama mahasiswi itu. Kebetulan hampir sama dengan namanya. Tapi apakah ada suatu hal terjadi karena kebetulan?

Keduanya telah saling interaktif dalam dunia maya. Senyam-senyum bibir Rifqi dan mungkin juga bibir Revi membangun tali batin antara keduanya.

***

Siang hari, Rifqi duduk di kursi yang telah disediakan kampus sebagai fasilitas bagi mahasiswa yang terletak di antara kelas dengan kelas yang lain. Dalam duduk, tak selamanya ia terbayang Revi, sesekali skripsi terbenak dan mendorong munculnya kecemasan.

"Assalamu’alaikum," Rifqi sontak ber-wa'alaikumussalam kemudian mencium tangan yang cukup kasar tapi tak tua. Itu adalah dosennya, Pak Amir.

"Merenung, kayak udah punya lima anak saja kamu, Rif," ejek Pak Amir sembari menepuk pundaknya. Rifqi tertawa kecil. Jelas-jelas ia masih tak punya istri. Jangankan istri, pacar saja masih dalam proses pendekatan, dan belum juga pasti.

Mereka membicarakan banyak hal, termasuk skripsi. Rifqi banyak bertanya pada Pak Amir mengenai penelitian dan penulisan.

"Pak, saya kok malas menulis ya. Kemarin dosen pembimbing mencorat-coret lembar proposal saya. Banyak yang salah katanya," curhat Rifqi. Ia hanya ingin kerumitan dalam pengerjaan tugas akhirnya mendapatkan pencerahan.

"Kamu itu sudah mahasiswa tua, tapi malas nulis," tanggap Pak Amir. "Menulis itu perlu cinta," imbuhnya.

***

"Menulis memang harus dengan cinta. Menulis tak cukup dengan rasio, tetapi juga rasa," gumam Rifqi dalam kamarnya.

Ia terngiang ungkapan epik yang ia dapatkan saat mengobrol dengan Pak Amir. "Dengan cinta berarti dengan ketulusan rasa. Cinta butuh perjuangan, begitu juga menulis," perkataan Pak Amir yang sedang ia pikirkan.

"Mengerjakan tugas akhir harus dengan cinta, dengan perjuangan. Ya, aku akan menulis dengan baik dan mencinta dengan baik pula. Keduanya tak perlu tergesa, tapi pasti," pikirnya sembari sesekali menghisap rokok kretek lemah di tangannya.

Tapi cinta mana yang memberi kepastian?

***

Di tengah pengerjaan proposal skripsi yang ia geluti dengan cinta dan rasa yang masih berdentum pada Revi, Rifqi merasakan dilematis. Tidak. Ini bukan seperti kisah romansa tak berkepastian dan menyakitkan yang didasarkan pada "Aku mau fokus pendidikan dulu," Itu omong kosong alih-alih penolakan.

Rifqi masih merenungi obrolannya dengan Pak Amir. Ia berpikir bahwa kepastian dalam cinta memiliki gilirannya. Di satu sisi, ia ingin. Di sisi lain, ia berangan bahwa cinta berdasar rasio saja tak cukup. Ia ingin mencinta dengan rasa. Cinta pada paras saja tak etis. Cinta harus menerima dengan kebesaran hati, dan ia terlepas dari kekurangan dan kelebihan.

***

Lambat laun, Rifqi sedikit mengurangi interaksinya dengan Revi di dunia maya. Selain ia sedang fokus pada tugas akhirnya, ia juga menunda keinginannya dalam memiliki perempuan. "Jika yang akan terjadi kesakitan karena ketidakpastian. Maka, memantaskan diri  adalah yang lebih penting dilakukan," pikirnya.

Keterampilan menulis Rifqi seiring waktu terasah. Meski belum mahir, ia punya orientasi untuk mengasah lebih dalam lagi kemampuannya.

***

Jumat siang di Kantin, Revi dan Rifqi saling tatap. Rifqi telah mengungkapkan apa yang selama ini dalam hatinya.

"Aku suka kamu, tapi ini belum waktunya," ungkap Rifqi. Revi seperti tak percaya mendengar perkataannya. Namun ia tetap tenang.

"Ini informasi buatmu. Faseku masih cukup dengan menyampaikan. Bagaimana denganmu, silahkan memutuskan apa yang kamu yakini," lanjut Rifqi.

Suasana Kantin tak begitu ramai, tapi tetap bising. Berbeda dengan meja yang mereka tempati. Terasa hening. "Apa yang dicari lelaki dari seorang perempuan saat mereka ingin memiliki?" tanya Revi memecah kesaling-diaman mereka.

"Lelaki mencari kesenangan untuk dirinya sendiri. Cinta terhadap perempuan hanya kata-kata manis yang lama-lama akan hilang manisnya, dan akhirnya sekedar kata-kata," jawab Rifqi. Mereka berdua tak sedang ingin bercanda sejak janji temu yang diminta Rifqi bahwa ada hal yang ingin ia bicarakan pada Revi.

"Lalu kenapa lelaki mencinta, jika mereka hanya ingin memenuhi hasratnya untuk kesenangan?" Revi mulai merasa ragu terhadap cinta lelaki pada perempuan.

Rifqi menyeruput kopinya dan menunjukkan rokok dan koreknya kepada Revi sebagai tanda meminta izin untuk merokok. Revi mengangguk. Pantikan korek api modern memunculkan api biru-bermerah. Rokok yang sejak tadi ia selipkan di antara bibir atas dan bawahnya akhirnya tersulut dan "whusss,", kepulan asap yang sebelumnya terpenjara dalam tembakau akhirnya bebas.

"Tak ada lelaki sama saja. Setiap lelaki punya selera. Ada yang selera dengan paras. Mereka melihat ujung rambut sampai ujung kuku kaki perempuan untuk menentukan suka atau tidak. Warna kulit, bibir, manis dan indah matanya jadi indikator untuk menaruh hati. Kamu tahu bahwa yang menaruh hati atas nama cinta bukan diri kita?" Rifqi mengakhiri penjelasan yang ia pungkasi pertanyaan dengan menghisap rokoknya.

Suasana di antara keduanya tak bisa dikatakan sebagai kencan ala anak pacaran pada umumnya. Mereka diskusi serius alih-alih bercanda dan bercumbu.

Umumnya, selalu lelaki yang menanyakan perempuan. Mereka membicarakan sisi misteri perempuan yang kompleks. Perempuan bermaksud B, tapi yang mereka katakan A. Tidak peka hanya membuat lelaki berada di tebing, yang hanya dengan muka masam perempuan mereka terhempas dan jatuh ke dalam jurang ketidakpahaman akan maksud dan keinginan perempuan.

Berbeda dengan umumnya, Revi sebagai perempuan justru sangat ingin tahu sisi misteri lelaki. Entah memang ia penasaran atau sebenarnya ada hal lain yang ia maksudkan. Rifqi tak mungkin memahami. Perempuan kodratnya memang mengandung; mengandung bayi dan misteri.

"Aku tahu. Rasa cinta adalah anugerah. Lalu bagaimana mereka dapat memahami perempuan, jika hanya kesenangan diri mereka sendiri yang dituju? Menurutku, dalil semua lelaki sama itu benar," Revi terus menghujam pertanyaan-pertanyaan yang pastinya akan terus ditanggapi oleh Rifqi.

"Ya, kamu tahu itu. Berarti kita sepakat bahwa lelaki berselera fisik perempuan itu bukan cinta, karena mereka membuat getaran cinta palsu, tak berdasar anugerah," jelas Rifqi. Revi mengiyakan dan mengulangi pertanyaan yang belum dijawab Rifqi.

"Mereka tak dapat memahami perempuan. Yang mereka pandang adalah yang terlihat oleh matanya, bukan yang tak kasat mata. Mereka tak melihat hati yang tak kasat mata itu," tegas Rifqi. Ia mengambil selembar tisu untuk Revi yang kedua matanya sedang berkaca-kaca sembari menenangkannya.

Sambil sedikit terisak, Revi bertanya "Lalu apa yang kamu ingin dariku?".

***

Obrolan di Kantin itu cukup panjang. Diakhiri dengan kedamaian di antara keduanya. "Mari bersama saling memantaskan diri," kata Revi. Ia tersenyum sebelum akhirnya ia meninggalkan Rifqi.

"Tak perlu tergesa untuk memiliki. Kita pantaskan diri. Sebagai wujud cinta, aku akan menulis karenamu, karena cinta," gumam Rifqi dalam kepergian Revi yang lambat laun tak terlihat dari pandangan.

Bel istirahat berbunyi. Banyak mahasiswa keluar dari kelas dan bergegas ke ruang kebebasan yang lebih bebas daripada ruang kelas, yakni Kantin. Dan "Dorrr!" Badrun mengagetkan Rifqi yang sedang tersenyum dalam kekosongan.

Bersambung...

Lebih baru Lebih lama