Aku Menulis Karenamu: Bagian 2



Oleh: Muhammad Sholeh Muria

Semua mahasiswa kelasku keluar setelah dosen mengucap salam. Berduyun-duyun, mereka seiring keluar dan turun tangga terbagi-bagi dalam sirkel-sirkel. Wajar, walaupun satu kelas, frekuensinya beda-beda. Frekuensi A berkumpul dengan sesamanya dan seterusnya.

Aku adalah salah satu mahasiswi yang juga masuk dalam sirkel tertentu. Aku dan teman-temanku cenderung jadi tim hore dalam setiap diskusi di kelas. Di antara teman-temanku –bukannya sombong, aku lebih menonjol. Lebih aktif dalam kelas maksudnya.

***

"Bu, pesan mie ya. Pakai telur, sayurnya banyak, kasih cabe juga. Minum kayak biasanya, hehehe," teriakku pada Bu Kantin. Nggak pake megaphone, tapi suaraku bulat dan mungkin setengah orang di kantin yang cukup luas itu mendengar teriakanku tadi.

Memesan dengan teriakan adalah ritualku. Kalau lapar, mie instan jadi andalanku. Esnya, pasti es jeruk. Ibu Kantin sudah hafal mantra yang kuucapkan itu setiap kali terlihat kelaparan. "Sabar ya, Rev," jawaban otomatis ibu Kantin dan aku memahaminya. Oh iya, namaku Revi. Biar sayang, tak kasih tahu. Soalnya kalau kenal katanya sayang. Katanya.

"Pusing banget mikir filsafat ya," celetukku pada teman-teman sirkel. Itu mata kuliah yang baru saja diajarkan di kelas. Sebagai mahasiswa semester dua, aku cukup aktif dan turut berperan dalam dialektika kelas. Dan Filsafat  Umum membuatku cukup berpikir keras.

Setelah ngobral-ngobrol, "Rev, besok kita presentasi loh," ujar Yayuk. Pandanganku kosong di siang bolong. "Rev!" Yayuk sedikit teriak sembari memukul pundakku yang akhirnya terkaget lantas ber-apa padanya. Yayuk menoleh ke belakang dan ia melihat mahasiswa yang sedang menoleh ke arah meja kami, kemudian mengalihkan pandangan.

Yayuk memandangku. Hitungan satu, dua, tiga, ia bergeleng-geleng. Kejadiannya berlalu begitu cepat. Saling pandang, kemudian gara-gara Yayuk, aku hanya bisa curi-curi pandang saat Yayuk sedang lengah. "Siapa dia?" pikirku.

***

Di tempat tidur, aku mempelajari materi yang akan dipresentasikan besok. Kejadian siang hanyalah bayang-bayang yang sekedar kebetulan. "Musikan ah," pikirku sembari membuka aplikasi di laptop.

Reff "Kamu Nggak Sendirian" berkumandang, aku terhenti sejenak. "Filsafat artinya cinta kebijaksanaan," gumamku. Tiba-tiba aku teringat materi yang diajarkan Pak Alex di kelas siang tadi.

"Apa ada ya manusia yang sendirian?" Tanyaku pada keheningan dalam diriku, karena terpantik keramaian musik dari luar diriku.

"Jika seseorang sendirian, apa yang akan terjadi?" Imbuhku. Aku masih ingat istilah radix. Berfilsafat berarti berpikir sampai ke akarnya, kan? batinku.

Aku masih berpikir dan lambat laun angin malam yang bebas masuk melalui jendela kamar membuatku berdiri dan menutup jendela itu. Sekembalinya, tanya dalam kepalaku muncul lagi, seperti tukang parkir di pasar atau toko-toko pinggir jalan– tiba-tiba muncul saat pemilik motor mau pulang.

"Jika benar-benar sendirian apakah seseorang akan kesepian?" Tanyaku sembari menoleh ke kanan atas dan mencubit dagu dengan jempol dan telunjuk tangan kanan.

"Tapi Aku tak kesepian. Masih ada musik, masih ada cemilan. Cukup untuk menemani," pikirku. Lama-lama berpikir dan selalu bertanya pusing juga, akhirnya aku putuskan untuk fokus mempelajari materi.

Sampai sebelum tidur, cemilan habis, musik sudah dimatikan. Hanya tinggal keheningan dan dinamika suara hewan-hewan nokturnal. "Sendiri ternyata sepi juga ya," gumamku.

***

Presentasi tadi cukup baik bagiku. Walaupun terbilang juga cukup sulit untuk mencoba menjawab pertanyaan teman-teman. Tapi kelompokku, untungnya mereka belajar semua. Dan kelas menjadi lebih aktif.

Seperti biasanya, perut yang tadi pagi hanya berisi roti kecil, sudah memulai kemalangannya. Cacing-cacing sudah turun jalan, mereka mengangkat kain-kain yang di-pylox bertuliskan "Beri kami karbo, beri kami protein, beri kami lemak. Nutrisi! Nutrisi! Nutrisi!". Kira-kira begitu keadaan perutku.

Sebelum aku melangsungkan ritual, bu Kantin mendahului, "Seperti biasa?" tanyanya. Dan aku hanya ber-iya sembari tertawa kecil. Di kantin, aku hanya berdua, bersama Nanda. Salah satu bestie dalam sirkelku.

***

Ngobrol di kantin bersama Nanda cukup intens. Ya umumnya obrolan cewek, biasanya seputar fashion, style, ghibah tipis dan lain-lain. Tetapi juga sedikit ada kualitasnya, sebab aku memantik diskusi dengannya mengenai "Bagaimana manusia saat ia sendirian, apakah ia kesepian?". Ada sudut pandang baru yang kudapatkan saat berdiskusi dengannya.

”Tapi terkadang manusia perlu sendirian gak sih, Rev,” katanya. Belum paham, aku diam dan lantas ia meneruskan argumentasinya, ”Justru ada orang yang memilih untuk sendirian. Mungkin pusing dengan masalah, mungkin punya utang, mungkin evaluasi diri kenapa pacarnya ngambek. Beberapa hal terkadang membuat orang menyendiri, dan itu bukan sebuah kesepian, malah justru pilihan,” jelas Nanda. Aku manggut-manggut.

***

Hampir dua jam kami di Kantin, karena jam kedua libur. Dosennya ke luar kota. Setelah diskusi panjang, dan saat akan bergegas pulang, aku melihat mahasiswa yang kemarin -yang kami saling curi pandang. Dia menghampiri kami.

"Boleh gabung, Mbak?" celetuk mahasiswa itu tiba-tiba. Aku dan Nanda refleks saling pandang dan mengangguk. Niat untuk pulang kami urungkan. Dia menyalami sambil mengenalkan dirinya, "Rifqi," katanya. Kami sambut menyalami dan menyebut nama masing-masing. Ia manggut-manggut saat aku menyebut nama, sembari ber-oh.

Obrolan-obrolan template berlangsung, seperti menanyakan asal prodi, rumah dan basa-basi lainnya. "Asik juga mas ini," batinku. Sempat juga ia bertanya mengenai mata kuliah dan kondisi forum kelas saat presentasi. Asik atau memang sok asik, tapi cara bertuturnya sangat baik. "Boleh juga," pikirku.

"Boleh minta nomornya mbak,?" pintanya. Melihat artikulasi argumentasinya sepertinya bisa jadi teman diskusi, pikirku. Lantas aku amini permintaannya.

Selama kami mengobrol, cenderung arah pandangnya padaku. Memang demikian atau terlalu percaya diri, aku tak tahu.

"Mas, mau pulang dulu ya," kataku sembari senyam-senyum. Menyalaminya, lalu bergegas pulang. Masih tiga langkah kami berjalan, ia berkata, "Kapan-kapan diskusi lagi, Rev, Nan.". Kami refleks "Siap!" seperti pekik prajurit pada komandannya.

***

Sejak pertemuan itu, aku dan Rifqi intens chatting-an. Banyak hal kami bicarakan, mulai dari filsafat, agama sampai rasa. Walaupun lebih tua dariku, Rifqi sangat populis orangnya.

"Oh iya, Mas. Menurutmu, apa yang terjadi saat manusia hidup sendirian tanpa teman?" Aku menanyakan untuk benar-benar mencari kebenaran. Bukan untuk basa-basi ataupun biar tetap bisa komunikasi.

"Memang ada orang hidup sendirian?" timpalnya malah balik bertanya. Aku membalas "Menurutmu?" ditaburi emote memegang dagu, lalu memintanya memberi jawaban berdasar persepsinya.

"Sepengetahuanku, kalau manusia sendirian, ada dua kemungkinan," aku ber-apa membalas chat-nya. Penasaran.

"Kemungkinan pertama, dia binatang. Kemungkinan yang lain, dia Tuhan," aku ber-kok bisa padanya. Jawaban-jawaban yang selama ini kudapatkan atas pertanyaanku itu tidak seaneh jawaban Rifqi. "Itu menurut Aristoteles. Bukan menurutku," jelas Rifqi sembari menyematkan emote tertawa keras.

***

Diskusi di whatsapp cukup panjang dan mendalam. Aku jadi tahu makna kesendirian. Rifqi memberi penjelasan yang nyaris sama dengan Nanda, namun lebih mendalam. Tapi, ada hal lain yang juga mendesak masuk, bukan hanya pengetahuan hasil dari kami berdiskusi. Sepertinya hal lain.

Sebelum tidur kusempatkan refleksi. Terlentang, menatap ke atas dan berpikir. "Tak mungkin seseorang hidup sendirian. Selain kebutuhannya pada orang lain, ia memang harus bersosial. Karena perilaku setiap manusia, disadari atau tidak, memberi efek pada manusia lain," aku berbisik pada malam. Ia mendengar bisikku. Walaupun aku tak tahu sebelah mana telinganya. "Zoon politicon," gumamku.

"Dan menyendiri biasanya memang pilihan. Sendiri adalah jeda, koma, spasi. Sebuah ruang di mana waktu milik seorang diri. Seperti malam ini, aku memilih tidur sendiri. Gak mungkin aku cari teman tidur,” pikirku sembari menyunggingkan bibir.

Sintesis demi sintesis aku refleksikan. Sampai akhirnya lelap menyelimuti mata dan kesadaranku yang tinggal sekedip mata lalu, ”Perasaan apa ini?”, batinku. Dan kemudian terlelap.

***

Di satu sisi, mengenal Rifqi membuka cakrawala berpikir. Di sisi lain, juga membuka perasaan. Ada rasa yang aneh semenjak kami saling berkomunikasi. Pembahasan obrolan dalam chat juga demikian dinamis dan pasti ada singgungan soal rasa, soal hati, soal pasangan dan sejenisnya.

Aktivitas seperti biasanya tak berubah sama sekali. Hanya saat malam, agendaku jadi bertambah karena mengenalnya. Tiba-tiba saja malam ini aku kaget karena mati lampu sekaligus karena pernyataan Rifqi.

"Rev, aku suka kamu," singkatnya.

Keadaan memang mati lampu, mata tanpa cahaya tak bisa melihat apapun. Tapi dalam kegelapan dan keheningan, pernyataan Rifqi membuat dunia seolah terang benderang secara tiba-tiba. Dada dan sekujur tubuh serasa bergetar. Seperti halnya Hancock dalam serial jepang One Piece, yang menyukai Luffy sampai membuatnya meriang, bahkan disebut sebagai "Penyakit Cinta". Tak sedramatis itu, tapi aku merasakannya. Secara tiba-tiba keringat  bersumber dari keningku. ”Inikah perasaanku?” gumamku.

***

Malam itu memang tidak ada ritual, akad-akadan atau apapun, hanya pernyataan yang dibalas dengan pernyataan. Rifqi tak menembakku, aku pun tak memintanya. Ini seperti hubungan utopis yang berharap ke depannya akan selalu baik-baik saja. Karena kami sama-sama tahu saling memiliki rasa.

Obrolan semakin intens. Setiap hari ada saja hal yang dibicarakan. Aku semakin tertarik dengannya dan kami saling bercumbu dalam maya. Namun, hari demi hari Rifqi kurang interaktif.

Biasanya dia dulu yang menghubungiku, kini terpaksa tanpa gengsi –karena sudah sangat akrab, aku menghubunginya. Dan itu terjadi beberapa kali. Ia bilang masih belum bisa intens, karena tugas akhirnya yang masih di tahap proposal. Sedangkan deadline sudah terlalu dekat.

"Rev, maaf ya, untuk beberapa hari ke depan aku harus menyelesaikan proposalku. Selesai seminar proposal kita healing," tawarnya dalam aplikasi hijau itu membuatku lega.

***

Aku cukup dibuat gundah oleh Rifqi yang kini sudah jarang chat. Tapi aku tetap mencoba menjernihkan pikiran. Mencoba untuk tenang dan tak terdistraksi relasi hati yang sedang kesepian ini.

Di luar rumah, deras hujan mengguyur kampungku. Sesekali kilat petir dan gemuruh menciptakan dinamika hujan yang semakin lengkap. Menarik selimut adalah hal menyenangkan di kondisi demikian. Tapi keadaan hati tak menghendaki kesenangan itu.

Beberapa hari lalu, Rifqi masih selalu menyempatkan waktu bagi kami untuk bercumbu dalam kata dan saling menghibur. Tetapi hari-hari selanjutnya, ia menghubungi hanya saat sempat saja. Aku mengerti keadaannya, tapi galau sulit dihindari. Alay ataupun alamiah, getaran tak mengenakkan ini sangat menggelisahkan.

Sesekali ia menghubungi dan menanyakan kabar serta bagaimana kuliahku, terkadang juga menanyakan tugas-tugas kuliah. Aku senang saat ia menghubungi, tetapi waktu yang singkat hanya membuat kesenangan sementara dan gelisah kembali hadir.

”Inikah yang dinamakan kesepian?” tanyaku dalam sepi yang ramai sebab guyuran hujan di luar.

”Kesendirian ini tak membuatku menjadi binatang ataupun Tuhan. Kesepian ini menjengkelkan. Di saat seperti ini, bukan menyendiri yang kubutuhkan. Sendiri bukan juga pilihan,” kata-kataku keluar dari bibir tanpa kontrol.

***

Di Kampus aku sempat melihatnya masuk ke ruang dosen sembari membawa kertas yang cukup tebal. Mungkin itu proposal skripsinya. Aku masuk kelas dan setelah pembelajaran selesai mencoba meneleponnya. Ia tak membalas chat-ku saat pembelajaran di kelas tadi.

"Kamu di mana?" tanyaku dalam telepon.

"Aku sudah di rumah, Rev. Maaf ya," jawab Rifqi seolah tak bersalah.

Aku kesal. Dia hanya meminta maaf, lalu telepon langsung ku tutup. Seharusnya kami bisa bertemu, walaupun sekedar minum es di Kantin. Saling menceritakan hal-hal yang telah telah terlewati selama tak berkomunikasi.

***

Kini, malamku selalu dihinggapi kegalauan. Terkesan alay, tapi aku merasakan kesakit-hatian. Kesal, tak ingin galau, tapi keadaan hati memang seolah mengharuskan demikian.

Tiba-tiba ia menelepon. Aku tersenyum.

"Assalamu’alaikum, Rev," sapanya. Aku menjawab dengan nada tak semangat. Ia merayu-rayu, menanyakan hal-hal yang jawaban dariku datar-datar saja.

"Rev, rindu memang demikian," katanya. Aku sebenarnya senang Rifqi menelepon, tapi karena ia sebab kegalauanku selama ini, aku ingin ia membayarnya.

"Kalau kita ketemu terus, takkan ada ruang untuk rindu," lanjut Rifqi. Aku hanya ber-hmm, masih tak semangat. Tapi aku sumringah sekali malam ini.

"Kalau tak ada rindu, apa istimewanya pertemuan. Maka, sebenarnya kita sedang menabung rindu agar pantas untuk bertemu, agar dapat dirasa pertemuan yang menyenangkan," jelasnya. Aku senyam-senyum tanpa ia ketahui.

Akhirnya aku bisa menerimanya. Kami mengobrol seseru biasanya. Saling menimpali dan hati ini mendapat ruang ketenangan sebab hati serasa terisi kembali.

"Oh iya, Rev, besok kita ke Kantin yuk. Aku pengen ngobrol serius." Pintanya sebelum telepon diakhiri.

Aku penasaran, memintanya untuk menjelaskan sekalian di telepon, tapi ia bilang harus dibicarakan tatap muka. Akhirnya aku amini.

Malam ini aku sangat senang, namun permintaannya di akhir telepon membuatku penasaran. Kegelisahan kembali berhinggap. Namun, aku mencoba berpikir jernih.

"Mungkin dia mau menembakku secara langsung," pikirku sembari senyam-senyum pada malam.

***

Janji Jumat siang tak ada halangan sama sekali. Kami bertemu dengan kegembiraan, khususnya aku yang berhari-hari disayat kesepian. Namun, melihat raut mukanya tak biasa. Seperti ada hal yang benar-benar serius ia katakan.

”Aku suka kamu, tapi ini belum waktunya,” ungkapnya membuatku tak percaya. Apa yang sedang Rifqi inginkan.

Ia hanya menjelaskan bahwa dia belum waktunya untuk masuk dalam babak perjalanan panjang bernama cinta. Lantas aku menanyakan mengenai yang dicari lelaki saat mereka ingin memiliki seorang perempuan.

Semakin tak percaya aku mendengar penjelasannya. Menurutku semua lelaki sama saja, mereka hanya ingin memenuhi kebutuhan nafsu. Tak ada yang lain.

”Lalu kenapa lelaki mencinta, jika mereka hanya ingin memenuhi hasratnya untuk kesenangan?” tanyaku pada Rifqi. Hatiku panas karena penjelasannya.

Kata Rifqi tak ada istilah semua lelaki sama saja. Setiap lelaki memiliki seleranya masing-masing. Aku mulai membaca maksud dari keseriusan pertemuan kami. Awalnya aku mengira aku ditembak, tapi ternyata aku terjebak. Ya, terjebak karena pikiranku sendiri.

Pesanan kami datang. Rifqi memesan kopi dan aku es jeruk seperti biasa, tapi tanpa mie instan. Mungkin sebuah makna bahwa cinta didapatkan seiring waktu, tidak instan. Seperti yang dikatakan Rifqi bahwa getaran cinta yang murni adalah anugerah yang timbul karena proses, bukan diciptakan sendiri oleh manusia karena indikator fisik saja, tapi karena ketertarikan batin yang berkelanjutan.

”Aku bukan munafik, Rev. Tapi yang kulihat sementara ini adalah kepalsuan dalam getaran yang kurasakan. Jika memang dianugerahkan, getaran murni akan menghampiri,” ungkap Rifqi.

Aku membenarkan argumennya. ”Lalu bagaimana mereka dapat memahami perempuan?” tanyaku.

Lelaki dengan selera paras saja tak dapat memahami hati perempuan, kata Rifqi. Hati serasa teriris, genangan kecil air mendesak keluar dari kelopak mataku. Rifqi mengambilkan selembar tisu. ”Maaf ya, Rev.” ia menenangkan.

”Lalu apa yang kamu ingin dariku?” tanyaku.

Kami berbincang dalam ramai yang hening. Hari Jumat memang tak banyak yang kuliah, tapi keriuhan di luar forum kami cukup riuh bergemuruh. Tapi itu gemuruh yang tak berarti, karena lebih besar gemuruh hatiku. Dan Rifqi tak mungkin mendengarnya.

Rifqi menyela. Ia ingin melanjutkan argumentasinya mengenai macam-macam lelaki dalam mencinta. Aku mengangguk siap mendengarkan.

”Memang tidak masalah kalau ada yang mencinta karena paras. Tapi jika hanya itu? Paras ada masanya, Rev.” Katanya.

Aku menyeruput esku, sedangkan ia menghisap rokoknya. Lantas mimik wajahnya bersiap melanjutkan penjelasan. Sebab kesadaran baru, aku sedikit memiliki ketenangan untuk tidak emosional berlebihan.

”Ada juga yang mencinta dengan ketulusan. Mereka melihat indahnya hati dalam diri perempuan yang baik. Mereka terperangah terhadap perangai dan ingin memiliki perempuan seperti itu,” jelas Rifqi.

Aku masih terus fokus mendengarkannya. Air mata mulai mengering dan rasanya lebih tenang mendengar Rifqi berbicara demikian. Namun, aku tak memberi respon apapun.

“Tapi lelaki semacam ini terkadang kurang percaya diri, Rev. Mereka merasa tak pantas dan akhirnya menurunkan ambisi untuk mendapat, untuk memiliki perempuan yang seperti itu. Bagi mereka, untuk memiliki, harus berusaha memantaskan diri” kata Rifqi. Aku mulai memahami maksudnya.

Hubungan kami memang masih sebentar, tapi yang Rifqi rasakan sama sekali berbeda dengan yang aku rasakan. Pertama, ia yang berambisi dan aku tertarik. Entah karena apa, lalu perilakunya berubah secara signifikan. Dan itu membuatku gelisah. Kini, aku tahu maksudnya.

”Lantas apa yang kamu ingin dariku?” pertanyaanku tadi kucurahkan lagi demi mendapat jawaban darinya.

”Memilikimu dalam ketulusan dan kepantasan,” jawabnya singkat.

Menurutku, ia sudah pantas. Mungkin karena ia belum merasa tulus, karena dasar cintanya yang tak murni, Rifqi memilih untuk mundur. ”Apa itu alasannya?” tanyaku.

”Menurutku, belum. Jika tak tulus berarti belum pantas. Keduanya harus sama-sama terisi, Rev. Getaran murni pasti akan datang saat aku pantas” ungkap Rifqi. Aku mengangguk saja. Tak ada paksaan dariku untuk Rifqi kembali seperti saat ia menatapku, meminta nomor dan menghubungiku setiap malam.

”Rev, kita tak akan mungkin mendapat sesuatu, jika berlebihan menginginkannya. Dan tak akan pernah tahu hakikat dari memiliki, jika sangat berlebihan ingin memilikinya. Memantaskan diri adalah batasan agar tak berlebihan dalam ingin mendapat dan memiliki,” imbuh Rifqi.

Sudah lama rasanya tak menjalin relasi hati seperti ini. Dan yang sudah-sudah, hanya sakit yang terjadi. Namun, Rifqi memantik kesadaranku.

”Mungkin nanti ada waktunya ya,” celetukku memecah diam. Rifqi tersenyum, aku tersenyum. Kami merasakan kedamaian.

Posisi matahari semakin bergeser ke arah barat. Kudengar lantunan adzan dari aplikasi HP Rifqi tanda waktu Ashar sudah tiba.

Sudah cukup lama kami mengobrol. Walaupun sedang tidak ada jam kelas, aku merasa sedang kuliah bersama Rifqi. Ya, kuliah tanpa bangku, mata kuliah perasaan, bab cinta.

”Mari bersama saling memantaskan diri,” kataku sembari tersenyum. Aku pamit pulang padanya dan ia membalas dengan anggukan dan senyuman. ”Hati-hati,” pintanya saat aku baru melangkah. Aku mengangguk.

***

Hari-hari berlalu hatiku merasa tenang. Tak ada kegelisahan yang berarti. Fokus untuk belajar, kembali menjadi agenda harianku. Menjadi tim hore yang semangat dalam kelas. Membaca buku-buku baru dan menulis puisi-puisi di buku diary.

Komunikasi dengan Rifqi tak lagi intens. Kami sama-sama berkomitmen untuk memantaskan diri. Entah takdir mempertemukan atau tidak, setidaknya kami sadar bahwa fase kami adalah fase belajar, memperluas wawasan dan memperdalam keterampilan. Bahkan dalam cinta pun, kami masih di fase menjadi pembelajar.

Suatu malam aku melihat story whatsapp Rifqi berupa tautan. Itu sebuah tulisan di situs milik organisasi yang ia ikuti selama ini. Judulnya ”Aku Menulis Karenamu”. ”Menarik,” batinku. Lantas kubaca hingga selesai.

”Bagus, Mas. Senang aku bacanya, hehehe.” aku membalas story-nya.

“Senang gapapa, Rev. Tapi seadanya saja, tak perlu berlebihan. Hiyaa.” Jawabnya, diakhiri dengan emote tertawa keras.

Aku diam. Sejenak mengingat pernyataan Rifqi saat kami bertemu terakhir kali.

”Dan tak akan pernah tahu hakikat dari memiliki, jika sangat berlebihan ingin memilikinya.”

Aku membalas dengan emote senyum manis padanya.

Tamat

Baca "Aku Menulis Karenamu: Bagian 1"

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama