Oleh: Muhammad Sholeh Muria
Semua mahasiswa kelasku keluar
setelah dosen mengucap salam. Berduyun-duyun, mereka seiring keluar dan turun
tangga terbagi-bagi dalam sirkel-sirkel. Wajar, walaupun satu kelas,
frekuensinya beda-beda. Frekuensi A berkumpul dengan sesamanya dan seterusnya.
Aku adalah salah satu mahasiswi yang
juga masuk dalam sirkel tertentu. Aku dan teman-temanku cenderung jadi tim hore dalam
setiap diskusi di kelas. Di antara teman-temanku –bukannya sombong, aku lebih
menonjol. Lebih aktif dalam kelas maksudnya.
***
"Bu, pesan mie ya. Pakai telur,
sayurnya banyak, kasih cabe juga. Minum kayak biasanya, hehehe," teriakku
pada Bu Kantin. Nggak pake megaphone, tapi suaraku bulat dan mungkin
setengah orang di kantin yang cukup luas itu mendengar teriakanku tadi.
Memesan dengan teriakan adalah
ritualku. Kalau lapar, mie instan jadi andalanku. Esnya, pasti es
jeruk. Ibu Kantin sudah hafal mantra yang kuucapkan itu setiap kali terlihat
kelaparan. "Sabar ya, Rev," jawaban otomatis ibu Kantin dan aku
memahaminya. Oh iya, namaku Revi. Biar sayang, tak kasih tahu. Soalnya kalau
kenal katanya sayang. Katanya.
"Pusing banget mikir filsafat
ya," celetukku pada teman-teman sirkel. Itu mata kuliah yang baru saja
diajarkan di kelas. Sebagai mahasiswa semester dua, aku cukup aktif dan turut
berperan dalam dialektika kelas. Dan Filsafat
Umum membuatku cukup berpikir keras.
Setelah ngobral-ngobrol, "Rev,
besok kita presentasi loh," ujar Yayuk. Pandanganku kosong di siang
bolong. "Rev!" Yayuk sedikit teriak sembari memukul pundakku yang
akhirnya terkaget lantas ber-apa padanya. Yayuk menoleh ke belakang dan ia
melihat mahasiswa yang sedang menoleh ke arah meja kami, kemudian mengalihkan
pandangan.
Yayuk memandangku. Hitungan satu,
dua, tiga, ia bergeleng-geleng. Kejadiannya berlalu begitu cepat. Saling
pandang, kemudian gara-gara Yayuk, aku hanya bisa curi-curi pandang saat Yayuk
sedang lengah. "Siapa dia?" pikirku.
***
Di tempat tidur, aku mempelajari
materi yang akan dipresentasikan besok. Kejadian siang hanyalah bayang-bayang
yang sekedar kebetulan. "Musikan ah," pikirku sembari membuka
aplikasi di laptop.
Reff "Kamu Nggak
Sendirian" berkumandang, aku terhenti sejenak. "Filsafat artinya
cinta kebijaksanaan," gumamku. Tiba-tiba aku teringat materi yang
diajarkan Pak Alex di kelas siang tadi.
"Apa ada ya manusia yang
sendirian?" Tanyaku pada keheningan dalam diriku, karena terpantik
keramaian musik dari luar diriku.
"Jika seseorang sendirian, apa
yang akan terjadi?" Imbuhku. Aku masih ingat istilah radix.
Berfilsafat berarti berpikir sampai ke akarnya, kan? batinku.
Aku masih berpikir dan lambat laun
angin malam yang bebas masuk melalui jendela kamar membuatku berdiri dan
menutup jendela itu. Sekembalinya, tanya dalam kepalaku muncul lagi, seperti
tukang parkir di pasar atau toko-toko pinggir jalan– tiba-tiba muncul saat
pemilik motor mau pulang.
"Jika benar-benar sendirian
apakah seseorang akan kesepian?" Tanyaku sembari menoleh ke kanan atas dan
mencubit dagu dengan jempol dan telunjuk tangan kanan.
"Tapi Aku tak kesepian. Masih
ada musik, masih ada cemilan. Cukup untuk menemani," pikirku. Lama-lama
berpikir dan selalu bertanya pusing juga, akhirnya aku putuskan untuk fokus mempelajari
materi.
Sampai sebelum tidur, cemilan habis,
musik sudah dimatikan. Hanya tinggal keheningan dan dinamika suara hewan-hewan
nokturnal. "Sendiri ternyata sepi juga ya," gumamku.
***
Presentasi tadi cukup baik bagiku.
Walaupun terbilang juga cukup sulit untuk mencoba menjawab pertanyaan
teman-teman. Tapi kelompokku, untungnya mereka belajar semua. Dan kelas menjadi
lebih aktif.
Seperti biasanya, perut yang tadi
pagi hanya berisi roti kecil, sudah memulai kemalangannya. Cacing-cacing sudah
turun jalan, mereka mengangkat kain-kain yang di-pylox bertuliskan "Beri
kami karbo, beri kami protein, beri kami lemak. Nutrisi! Nutrisi!
Nutrisi!". Kira-kira begitu keadaan perutku.
Sebelum aku melangsungkan ritual, bu
Kantin mendahului, "Seperti biasa?" tanyanya. Dan aku hanya ber-iya
sembari tertawa kecil. Di kantin, aku hanya berdua, bersama Nanda. Salah satu bestie
dalam sirkelku.
***
Ngobrol di kantin bersama Nanda cukup
intens. Ya umumnya obrolan cewek, biasanya seputar fashion, style,
ghibah tipis dan lain-lain. Tetapi juga sedikit ada kualitasnya, sebab aku
memantik diskusi dengannya mengenai "Bagaimana manusia saat ia sendirian,
apakah ia kesepian?". Ada sudut pandang baru yang kudapatkan saat
berdiskusi dengannya.
”Tapi terkadang manusia perlu
sendirian gak sih, Rev,” katanya. Belum paham, aku diam dan lantas ia
meneruskan argumentasinya, ”Justru ada orang yang memilih untuk sendirian.
Mungkin pusing dengan masalah, mungkin punya utang, mungkin evaluasi diri
kenapa pacarnya ngambek. Beberapa hal terkadang membuat orang menyendiri, dan
itu bukan sebuah kesepian, malah justru pilihan,” jelas Nanda. Aku
manggut-manggut.
***
Hampir dua jam kami di Kantin, karena
jam kedua libur. Dosennya ke luar kota. Setelah diskusi panjang, dan saat akan
bergegas pulang, aku melihat mahasiswa yang kemarin -yang kami saling curi
pandang. Dia menghampiri kami.
"Boleh gabung, Mbak?"
celetuk mahasiswa itu tiba-tiba. Aku dan Nanda refleks saling pandang dan mengangguk. Niat
untuk pulang kami urungkan. Dia menyalami sambil mengenalkan dirinya,
"Rifqi," katanya. Kami sambut menyalami dan menyebut nama
masing-masing. Ia manggut-manggut saat aku menyebut nama, sembari ber-oh.
Obrolan-obrolan template berlangsung,
seperti menanyakan asal prodi, rumah dan basa-basi lainnya. "Asik juga mas
ini," batinku. Sempat juga ia bertanya mengenai mata kuliah dan kondisi
forum kelas saat presentasi. Asik atau memang sok asik, tapi cara bertuturnya
sangat baik. "Boleh juga," pikirku.
"Boleh minta nomornya
mbak,?" pintanya. Melihat artikulasi argumentasinya sepertinya bisa jadi
teman diskusi, pikirku. Lantas aku amini permintaannya.
Selama kami mengobrol, cenderung arah
pandangnya padaku. Memang demikian atau terlalu percaya diri, aku tak tahu.
"Mas, mau pulang dulu ya,"
kataku sembari senyam-senyum. Menyalaminya, lalu bergegas pulang. Masih
tiga langkah kami berjalan, ia berkata, "Kapan-kapan diskusi lagi, Rev,
Nan.". Kami refleks "Siap!" seperti pekik prajurit pada
komandannya.
***
Sejak pertemuan itu, aku dan Rifqi
intens chatting-an. Banyak hal kami bicarakan, mulai dari filsafat, agama sampai
rasa. Walaupun lebih tua dariku, Rifqi sangat populis orangnya.
"Oh iya, Mas. Menurutmu, apa
yang terjadi saat manusia hidup sendirian tanpa teman?" Aku menanyakan
untuk benar-benar mencari kebenaran. Bukan untuk basa-basi ataupun biar tetap
bisa komunikasi.
"Memang ada orang hidup
sendirian?" timpalnya malah balik bertanya. Aku membalas
"Menurutmu?" ditaburi emote memegang dagu, lalu memintanya
memberi jawaban berdasar persepsinya.
"Sepengetahuanku, kalau manusia
sendirian, ada dua kemungkinan," aku ber-apa membalas chat-nya.
Penasaran.
"Kemungkinan pertama, dia
binatang. Kemungkinan yang lain, dia Tuhan," aku ber-kok bisa padanya.
Jawaban-jawaban yang selama ini kudapatkan atas pertanyaanku itu tidak seaneh
jawaban Rifqi. "Itu menurut Aristoteles. Bukan menurutku," jelas
Rifqi sembari menyematkan emote tertawa keras.
***
Diskusi di whatsapp cukup
panjang dan mendalam. Aku jadi tahu makna kesendirian. Rifqi memberi penjelasan
yang nyaris sama dengan Nanda, namun lebih mendalam. Tapi, ada hal lain yang
juga mendesak masuk, bukan hanya pengetahuan hasil dari kami berdiskusi.
Sepertinya hal lain.
Sebelum tidur kusempatkan refleksi.
Terlentang, menatap ke atas dan berpikir. "Tak mungkin seseorang hidup
sendirian. Selain kebutuhannya pada orang lain, ia memang harus bersosial.
Karena perilaku setiap manusia, disadari atau tidak, memberi efek pada manusia
lain," aku berbisik pada malam. Ia mendengar bisikku. Walaupun aku tak
tahu sebelah mana telinganya. "Zoon politicon,"
gumamku.
"Dan menyendiri biasanya memang
pilihan. Sendiri adalah jeda, koma, spasi. Sebuah ruang di mana waktu milik seorang
diri. Seperti malam ini, aku memilih tidur sendiri. Gak mungkin aku cari teman
tidur,” pikirku sembari menyunggingkan bibir.
Sintesis demi sintesis aku
refleksikan. Sampai akhirnya lelap menyelimuti mata dan kesadaranku yang
tinggal sekedip mata lalu, ”Perasaan apa ini?”, batinku. Dan kemudian terlelap.
***
Di satu sisi, mengenal Rifqi membuka
cakrawala berpikir. Di sisi lain, juga membuka perasaan. Ada rasa yang aneh
semenjak kami saling berkomunikasi. Pembahasan obrolan dalam chat juga
demikian dinamis dan pasti ada singgungan soal rasa, soal hati, soal pasangan
dan sejenisnya.
Aktivitas seperti biasanya tak
berubah sama sekali. Hanya saat malam, agendaku jadi bertambah karena
mengenalnya. Tiba-tiba saja malam ini aku kaget karena mati lampu sekaligus
karena pernyataan Rifqi.
"Rev, aku suka kamu,"
singkatnya.
Keadaan memang mati lampu, mata tanpa
cahaya tak bisa melihat apapun. Tapi dalam kegelapan dan keheningan, pernyataan
Rifqi membuat dunia seolah terang benderang secara tiba-tiba. Dada dan sekujur
tubuh serasa bergetar. Seperti halnya Hancock dalam serial jepang One Piece,
yang menyukai Luffy sampai membuatnya meriang, bahkan disebut sebagai
"Penyakit Cinta". Tak sedramatis itu, tapi aku merasakannya. Secara
tiba-tiba keringat bersumber dari
keningku. ”Inikah perasaanku?” gumamku.
***
Malam itu memang tidak ada ritual,
akad-akadan atau apapun, hanya pernyataan yang dibalas dengan pernyataan. Rifqi
tak menembakku, aku pun tak memintanya. Ini seperti hubungan utopis yang
berharap ke depannya akan selalu baik-baik saja. Karena kami sama-sama tahu
saling memiliki rasa.
Obrolan semakin intens. Setiap hari
ada saja hal yang dibicarakan. Aku semakin tertarik dengannya dan kami saling bercumbu
dalam maya. Namun, hari demi hari Rifqi kurang interaktif.
Biasanya dia dulu yang menghubungiku,
kini terpaksa tanpa gengsi –karena sudah sangat akrab, aku menghubunginya. Dan
itu terjadi beberapa kali. Ia bilang masih belum bisa intens, karena tugas
akhirnya yang masih di tahap proposal. Sedangkan deadline sudah terlalu
dekat.
"Rev, maaf ya, untuk beberapa
hari ke depan aku harus menyelesaikan proposalku. Selesai seminar proposal kita
healing," tawarnya dalam aplikasi hijau itu membuatku lega.
***
Aku cukup dibuat gundah oleh Rifqi
yang kini sudah jarang chat. Tapi aku tetap mencoba menjernihkan
pikiran. Mencoba untuk tenang dan tak terdistraksi relasi hati yang sedang
kesepian ini.
Di luar rumah, deras hujan mengguyur
kampungku. Sesekali kilat petir dan gemuruh menciptakan dinamika hujan yang
semakin lengkap. Menarik selimut adalah hal menyenangkan di kondisi demikian.
Tapi keadaan hati tak menghendaki kesenangan itu.
Beberapa hari lalu, Rifqi masih
selalu menyempatkan waktu bagi kami untuk bercumbu dalam kata dan saling
menghibur. Tetapi hari-hari selanjutnya, ia menghubungi hanya saat sempat saja.
Aku mengerti keadaannya, tapi galau sulit dihindari. Alay ataupun alamiah,
getaran tak mengenakkan ini sangat menggelisahkan.
Sesekali ia menghubungi dan
menanyakan kabar serta bagaimana kuliahku, terkadang juga menanyakan
tugas-tugas kuliah. Aku senang saat ia menghubungi, tetapi waktu yang singkat
hanya membuat kesenangan sementara dan gelisah kembali hadir.
”Inikah yang dinamakan kesepian?”
tanyaku dalam sepi yang ramai sebab guyuran hujan di luar.
”Kesendirian ini tak membuatku
menjadi binatang ataupun Tuhan. Kesepian ini menjengkelkan. Di saat seperti
ini, bukan menyendiri yang kubutuhkan. Sendiri bukan juga pilihan,” kata-kataku
keluar dari bibir tanpa kontrol.
***
Di Kampus aku sempat melihatnya masuk
ke ruang dosen sembari membawa kertas yang cukup tebal. Mungkin itu proposal
skripsinya. Aku masuk kelas dan setelah pembelajaran selesai mencoba
meneleponnya. Ia tak membalas chat-ku saat pembelajaran di kelas tadi.
"Kamu di mana?" tanyaku
dalam telepon.
"Aku sudah di rumah, Rev. Maaf
ya," jawab Rifqi seolah tak bersalah.
Aku kesal. Dia hanya meminta maaf,
lalu telepon langsung ku tutup. Seharusnya kami bisa bertemu, walaupun sekedar
minum es di Kantin. Saling menceritakan hal-hal yang telah telah terlewati selama
tak berkomunikasi.
***
Kini, malamku selalu dihinggapi
kegalauan. Terkesan alay, tapi aku merasakan kesakit-hatian. Kesal, tak ingin
galau, tapi keadaan hati memang seolah mengharuskan demikian.
Tiba-tiba ia menelepon. Aku
tersenyum.
"Assalamu’alaikum,
Rev," sapanya. Aku menjawab dengan nada tak semangat. Ia merayu-rayu,
menanyakan hal-hal yang jawaban dariku datar-datar saja.
"Rev, rindu memang
demikian," katanya. Aku sebenarnya senang Rifqi menelepon, tapi karena ia
sebab kegalauanku selama ini, aku ingin ia membayarnya.
"Kalau kita ketemu terus, takkan
ada ruang untuk rindu," lanjut Rifqi. Aku hanya ber-hmm, masih tak
semangat. Tapi aku sumringah sekali malam ini.
"Kalau tak ada rindu, apa
istimewanya pertemuan. Maka, sebenarnya kita sedang menabung rindu agar pantas
untuk bertemu, agar dapat dirasa pertemuan yang menyenangkan," jelasnya.
Aku senyam-senyum tanpa ia ketahui.
Akhirnya aku bisa menerimanya. Kami
mengobrol seseru biasanya. Saling menimpali dan hati ini mendapat ruang
ketenangan sebab hati serasa terisi kembali.
"Oh iya, Rev, besok kita ke
Kantin yuk. Aku pengen ngobrol serius." Pintanya sebelum telepon diakhiri.
Aku penasaran, memintanya untuk
menjelaskan sekalian di telepon, tapi ia bilang harus dibicarakan tatap muka.
Akhirnya aku amini.
Malam ini aku sangat senang, namun
permintaannya di akhir telepon membuatku penasaran. Kegelisahan kembali
berhinggap. Namun, aku mencoba berpikir jernih.
"Mungkin dia mau menembakku
secara langsung," pikirku sembari senyam-senyum pada malam.
***
Janji Jumat siang tak ada halangan
sama sekali. Kami bertemu dengan kegembiraan, khususnya aku yang berhari-hari
disayat kesepian. Namun, melihat raut mukanya tak biasa. Seperti ada hal yang
benar-benar serius ia katakan.
”Aku suka kamu, tapi ini belum
waktunya,” ungkapnya membuatku tak percaya. Apa yang sedang Rifqi inginkan.
Ia hanya menjelaskan bahwa dia belum
waktunya untuk masuk dalam babak perjalanan panjang bernama cinta. Lantas aku
menanyakan mengenai yang dicari lelaki saat mereka ingin memiliki seorang
perempuan.
Semakin tak percaya aku mendengar
penjelasannya. Menurutku semua lelaki sama saja, mereka hanya ingin memenuhi
kebutuhan nafsu. Tak ada yang lain.
”Lalu kenapa lelaki mencinta, jika
mereka hanya ingin memenuhi hasratnya untuk kesenangan?” tanyaku pada Rifqi.
Hatiku panas karena penjelasannya.
Kata Rifqi tak ada istilah semua
lelaki sama saja. Setiap lelaki memiliki seleranya masing-masing. Aku mulai
membaca maksud dari keseriusan pertemuan kami. Awalnya aku mengira aku
ditembak, tapi ternyata aku terjebak. Ya, terjebak karena pikiranku sendiri.
Pesanan kami datang. Rifqi memesan
kopi dan aku es jeruk seperti biasa, tapi tanpa mie instan. Mungkin sebuah
makna bahwa cinta didapatkan seiring waktu, tidak instan. Seperti yang
dikatakan Rifqi bahwa getaran cinta yang murni adalah anugerah yang timbul
karena proses, bukan diciptakan sendiri oleh manusia karena indikator fisik
saja, tapi karena ketertarikan batin yang berkelanjutan.
”Aku bukan munafik, Rev. Tapi yang
kulihat sementara ini adalah kepalsuan dalam getaran yang kurasakan. Jika
memang dianugerahkan, getaran murni akan menghampiri,” ungkap Rifqi.
Aku membenarkan argumennya. ”Lalu
bagaimana mereka dapat memahami perempuan?” tanyaku.
Lelaki dengan selera paras saja tak
dapat memahami hati perempuan, kata Rifqi. Hati serasa teriris, genangan kecil
air mendesak keluar dari kelopak mataku. Rifqi mengambilkan selembar tisu.
”Maaf ya, Rev.” ia menenangkan.
”Lalu apa yang kamu ingin dariku?”
tanyaku.
Kami berbincang dalam ramai yang
hening. Hari Jumat memang tak banyak yang kuliah, tapi keriuhan di luar forum
kami cukup riuh bergemuruh. Tapi itu gemuruh yang tak berarti, karena lebih
besar gemuruh hatiku. Dan Rifqi tak mungkin mendengarnya.
Rifqi menyela. Ia ingin melanjutkan argumentasinya
mengenai macam-macam lelaki dalam mencinta. Aku mengangguk siap mendengarkan.
”Memang tidak masalah kalau ada yang
mencinta karena paras. Tapi jika hanya itu? Paras ada masanya, Rev.” Katanya.
Aku menyeruput esku, sedangkan ia
menghisap rokoknya. Lantas mimik wajahnya bersiap melanjutkan penjelasan. Sebab
kesadaran baru, aku sedikit memiliki ketenangan untuk tidak emosional
berlebihan.
”Ada juga yang mencinta dengan
ketulusan. Mereka melihat indahnya hati dalam diri perempuan yang baik. Mereka
terperangah terhadap perangai dan ingin memiliki perempuan seperti itu,” jelas
Rifqi.
Aku masih terus fokus
mendengarkannya. Air mata mulai mengering dan rasanya lebih tenang
mendengar Rifqi berbicara demikian. Namun, aku tak memberi respon apapun.
“Tapi lelaki semacam ini terkadang
kurang percaya diri, Rev. Mereka merasa tak pantas dan akhirnya menurunkan
ambisi untuk mendapat, untuk memiliki perempuan yang seperti itu. Bagi
mereka, untuk memiliki, harus berusaha memantaskan diri” kata Rifqi. Aku mulai
memahami maksudnya.
Hubungan kami memang masih sebentar,
tapi yang Rifqi rasakan sama sekali berbeda dengan yang aku rasakan. Pertama,
ia yang berambisi dan aku tertarik. Entah karena apa, lalu perilakunya berubah
secara signifikan. Dan itu membuatku gelisah. Kini, aku tahu maksudnya.
”Lantas apa yang kamu ingin dariku?”
pertanyaanku tadi kucurahkan lagi demi mendapat jawaban darinya.
”Memilikimu dalam ketulusan dan
kepantasan,” jawabnya singkat.
Menurutku, ia sudah pantas. Mungkin
karena ia belum merasa tulus, karena dasar cintanya yang tak murni, Rifqi
memilih untuk mundur. ”Apa itu alasannya?” tanyaku.
”Menurutku, belum. Jika tak tulus
berarti belum pantas. Keduanya harus sama-sama terisi, Rev. Getaran murni pasti
akan datang saat aku pantas” ungkap Rifqi. Aku mengangguk saja. Tak ada paksaan
dariku untuk Rifqi kembali seperti saat ia menatapku, meminta nomor dan
menghubungiku setiap malam.
”Rev, kita tak akan mungkin mendapat
sesuatu, jika berlebihan menginginkannya. Dan tak akan pernah tahu hakikat dari
memiliki, jika sangat berlebihan ingin memilikinya. Memantaskan diri adalah
batasan agar tak berlebihan dalam ingin mendapat dan memiliki,” imbuh Rifqi.
Sudah lama rasanya tak menjalin
relasi hati seperti ini. Dan yang sudah-sudah, hanya sakit yang terjadi. Namun,
Rifqi memantik kesadaranku.
”Mungkin nanti ada waktunya ya,”
celetukku memecah diam. Rifqi tersenyum, aku tersenyum. Kami merasakan kedamaian.
Posisi matahari semakin bergeser ke
arah barat. Kudengar lantunan adzan dari aplikasi HP Rifqi tanda waktu Ashar sudah
tiba.
Sudah cukup lama kami mengobrol.
Walaupun sedang tidak ada jam kelas, aku merasa sedang kuliah bersama Rifqi.
Ya, kuliah tanpa bangku, mata kuliah perasaan, bab cinta.
”Mari bersama saling memantaskan
diri,” kataku sembari tersenyum. Aku pamit pulang padanya dan ia membalas dengan
anggukan dan senyuman. ”Hati-hati,” pintanya saat aku baru melangkah. Aku
mengangguk.
***
Hari-hari berlalu hatiku merasa tenang.
Tak ada kegelisahan yang berarti. Fokus untuk belajar, kembali menjadi
agenda harianku. Menjadi tim hore yang semangat dalam kelas. Membaca buku-buku
baru dan menulis puisi-puisi di buku diary.
Komunikasi dengan Rifqi tak lagi
intens. Kami sama-sama berkomitmen untuk memantaskan diri. Entah takdir
mempertemukan atau tidak, setidaknya kami sadar bahwa fase kami adalah fase
belajar, memperluas wawasan dan memperdalam keterampilan. Bahkan dalam cinta
pun, kami masih di fase menjadi pembelajar.
Suatu malam aku melihat story
whatsapp Rifqi berupa tautan. Itu sebuah tulisan di situs milik organisasi
yang ia ikuti selama ini. Judulnya ”Aku Menulis Karenamu”. ”Menarik,”
batinku. Lantas kubaca hingga selesai.
”Bagus, Mas. Senang aku bacanya,
hehehe.” aku membalas story-nya.
“Senang gapapa, Rev. Tapi seadanya saja,
tak perlu berlebihan. Hiyaa.” Jawabnya, diakhiri dengan emote tertawa
keras.
Aku diam. Sejenak mengingat
pernyataan Rifqi saat kami bertemu terakhir kali.
”Dan tak akan
pernah tahu hakikat dari memiliki, jika sangat berlebihan ingin memilikinya.”
Aku membalas dengan emote senyum
manis padanya.
Tamat
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus