Oleh : Aldi Asy Syaikh Ar-Rois
Malam datang lagi, membawaku pada kegelapan yang tak hanya ada di luar, tapi, juga di
dalam diriku. Sudah berapa lama aku hidup seperti ini? Terjebak dalam dosa yang
kuanggap sebagai kenikmatan sementara. Aku mengira semua kesenangan duniawi ini
akan mengisi kekosongan di hatiku, tapi nyatanya, semakin jauh akan melangkah,
semakin hampa kurasa. Seperti menggenggam air yang justru mengalir habis di
sela-sela jari, kebahagiaan yang kucari lenyap tanpa bekas, meninggalkan
kehampaan yang semakin mendalam.
Setiap malam, wajah-wajah yang pernah kulukai muncul, satu per satu. Senyum
mereka yang pernah aku hancurkan, tatapan kecewa yang pernah kutinggalkan, dan
air mata yang kubiarkan jatuh demi kepuasan nafsuku sendiri. Aku penah merasa
bahwa itu hanya hal kecil, sesuatu yang bisa kuhapus kapan pun aku mau. Namun,
kini aku sadar – setiap dosa yang pernah kulakukan tak mudah terlupakan, tak
mudah dihilangkan. Dosa-dosa itu terukir dalam denakku, mengintai dan
membisikan perasaan bersalah yang tak terperihkan.
Ada satu dosa yang paling membuatku merasa hancur, dosa yang dulu
kusamarkan di balik kenikmatan. Aku terjatuh dalam jurang demi jurang kenistaan. Sejenak,
semua itu terasa nikmat, seolah menjadi cara untuk meraih kebahagian yang
selama ini kucari. Tapi setelahnya, setiap semua itu berlalu, yang tersisa
hanyalah rasa jijik terhadap diriku
sendiri. Aku merasa seperti manusia kotor, yang terjebur dalam lubang pembuangan
kotoran manusia, aku tak punya harga diri. Apa yang sebenarnya telah kulakukan
pada hidupku?
Di Tengah penyesalan itu, ada suatu aneh. Sebuah suara lembut nan indah
terdengar di sudut hati terdalam yang sudah lama kututup rapat. Suara itu
berkata, “Kembalilah.” Suara yang tak ku kenal, tapi terasa seperti pelukan
hangat di Tengah dinginnya kegelisahan yang memcekamku setiap saat. Suara itu
mengajak untuk menoleh kembali jalan pulang, mengingatkan ku bahwa mungkin,
hanya mungkin, Allah masih menungguku kembali dan kuyakin ampunan tuhan melebihi apapun.
Badan ku mematung, terdiam seorang diri, takut menerima kenyataan. Apakah
aku masih layak meminta ampunan-Nya? Mungkinkah dosa-dosa sebesar ini bisa
dimaafkan? Aku tahu diri ini penuh noda, penuh keburukan yang bahkan aku sendiri
merasa sulit memaafkannya. Namun, panggilan itu semakin kuat. Panggilan itu
kembali, meski hatiku dipenuhi keraguan dan ketakutan.
Perjalanan yang tak mudah untuk dilakukan. Setiap kali aku berniat untuk
berdoa, bayangan masa laluku menghantam. Seolah-olah ada rantai yang terus
mengikatku pada kehidupan lama, pada dosa-dosa yang menjerat jiwa ini kedalam
kegelapan. Aku berkali-kali tergoda untuk kembali, untuk lari dari kenyataan bahwa
aku adalah seorang pendosa besar. Namun disaat aku hampir menyerah, aku
teringat akan hari penghakiman yang pasti akan datang. Mungkinkah aku bisa
menghadapai-Nya dengan segala dosa ini?
Dalam keheningan malam yang sunyi, menyisakan aku dan dosa-dosa, Aku bersujud,
merasakan air mata jatuh membasahi sajadah. Tangisku pecah, namun tak ada yang
bisa kudengar selain suara isak sendiri dan bisikan permohonan ampunan yang penuh rasa sesal. “Ya Allah, jika engkau
masih menungguku, jangan biarkan aku kembali pada kegelapan ini. Aku tahu, aku
telah jauh dari-Mu, tapi aku tak sangup lagi hidup dalam kegelaman penuh
penyesakan ini.”
Setiap malam aku melawan godaan, berusaha memperbaiki langkahku, meski
rasanya sulit. Ada saat-saat aku ingin menyerah, merasa bahwa taubat ini hanya
akan menjadi janji kosong seperti yang pernah kuucapkan berulang kali. Tapi aku
terus memohon, terus meminta ampunan dengan harapan bahwa Allah akan menerima
diriku, betapapun kotor dan hinanya aku. Sungguh, aku hanya ingin menemukan
kedamaian, meski harus berjuang seumur hidup.
Malam demi malam berlalu, dan di tengah perjalanan yang penuh derita
ini, aku merasa sesuatu yang berbeda. Meski jalan beliku dan penuh luka, ada
kedamaian kecil yang dulu terasa menakutkan, aku menemukan ketenangan yang
sederhana – sebuah penerimaan bahwa diriku hanyalah manusia penuh cacat, yang
masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri,
Aku bersujud lama, menyerahkan segala rasa sesal dan malu yang masih
menggunung di hatiku. Dalam sujudku, aku meraskan pelukan kasih yang tak kasat mata.
Mungkin, ini adalah bentuk pengampunan yang selama ini kucari. Bukan berarti dosa-dosaku
hilang begitu saja, tapi aku merasa bahwa dengan setiap air mata yang jatuh,
Allah mendekapku dalam kasih-Nya yang luas. Dan malam itu, untuk pertama
kalinya, aku merasa kedamaian yang sesungguhnya.
Aku tahu, perjalanan ini belum usai. Mungkin godaan akan datang lagi,
mungkin langkahku akan tergelincir, tapi aku berjanji pada diriku sendiri untuk
terus berusaha. Aku mungkin seorang pendosa besar, tapi juga seorang yang tak
akan pernah berhenti mencari jalan pulang. Sebab, hanya dengan taubat inilah
aku bisa merasa benar-benar hidup, benar-benar berarti.
Dan meski aku penuh dosa, aku percaya bahwa Allah masih menungguku. Hingga
akhir hayatku, aku akan terus mencari cara untuk menjadi lebih baik, untuk
mendekatkan diri pada-Nya. Karena kini aku tahu, bawah kebahagiaan sejati tak
pernah ada di luar sana – tapi di hati yang kembali pada cahaya.
“Ya Allah, aku ini hanyalah seorang pendosa yang hina, yang datang dengan hati penuh noda dan kesalahan. Aku tak punya daya untuk menghapus masa laluku, tak punya kekuatan untuk memutar waktu kembali. Namun, jika Engkau masih menungguku, jika pintu ampunan-Mu masih terbuka untuk hamba-Mu yang teramat kotor ini, izinkan aku pulang. Genggam tanganku, tuntun langkahku, dan jangan biarkan aku tersesat lagi. Jadikan setiap sujudku saksi taubat ini, dan izinkan aku merasakan cahaya-Mu, meski hanya seberkas kecil. Amin.”
👍
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus