Oleh: Krayon 12 Warna
Argumen mengapa perempuan "kurang" dalam urusan persaksian (dalam konteks peradilan) maupun keagamaan, dikatakan karena sebab biologis dan psikis yang ada dalam diri perempuan. Secara biologis, ulama menilai perempuan akan terganggu karena perubahan situasi yang ada pada dirinya. Perempuan memiliki siklus hormonal yang berpengaruh pada fisik dan emosi mereka. Misalnya, menstruasi, kehamilan, dan masa nifas yang memang melibatkan perubahan hormon yang bisa menyebabkan kelelahan, perubahan suasana hati, atau bahkan nyeri.
Secara
sederhana memang tampak sebagai suatu kelemahan. Namun, ini bukan tanda kelemahan, melainkan bagian
alami dari fungsi biologis perempuan. Justru dalam menjalani kondisi-kondisi
ini, perempuan menunjukkan daya tahan yang luar biasa, baik dalam menghadapi
rasa sakit maupun menjaga kesehatan mereka dalam jangka panjang.
Sementara
itu, kekuatan fisik perempuan memang secara umum berbeda dari laki-laki karena
faktor genetik, seperti perbedaan otot dan komposisi tubuh. Namun, ini tidak
berarti bahwa perempuan lemah. Mereka memiliki kekuatan dalam daya tahan,
fleksibilitas, dan ketangguhan dalam menghadapi kondisi yang menuntut, seperti
kehamilan dan melahirkan, yang membutuhkan fisik serta mental yang kuat.
Secara
psikologis, perempuan sering dianggap lebih emosional karena mereka cenderung
lebih ekspresif dalam mengekspresikan emosi. Secara sosial, perempuan
dibesarkan dalam lingkungan yang lebih menerima ekspresi perasaan, sementara
laki-laki sering didorong untuk menahan atau menyembunyikan emosi mereka. Hal
ini bukanlah tanda kelemahan psikis, tetapi lebih pada karakteristik psikologis
yang menekankan pada empati, kepekaan, dan kedalaman emosional.
Di
sisi lain, perempuan juga memiliki ketangguhan emosional yang besar, terutama
dalam situasi-situasi krisis atau penuh tekanan. Mereka mampu menavigasi
kondisi emosional yang kompleks, baik dalam keluarga, pekerjaan, maupun
komunitas, dan sering kali menjadi sumber kekuatan emosional bagi orang-orang
di sekitar mereka.
Maka
dari itu, perempuan dinilai lebih dominan dari sisi emosional maupun efeknya. Contohnya,
perempuan lebih sering menangis. Ini seringkali dikaitkan dengan kelemahan,
padahal menangis adalah respons alami terhadap berbagai emosi, termasuk kesedihan,
bahagia, atau bahkan kelegaan.
Hal-hal
di atas tidak menjadikan perempuan sebagai kelas ke dua. Apalagi menjadi alat
untuk mendiskriminasi perempuan dari ruang publik dan keagamaan. Kalaupun itu
dianggap kekurangan perempuan,
alangkah banyaknya kelebihan bagi perempuan di luar halangan tersebut
yang bisa dicapai, sebagaimana juga dilakukan laki-laki.
Penting
untuk menantang stereotip gender dan memahami bahwa emosi adalah bagian alami
dari kehidupan manusia, terlepas dari jenis kelamin. Setiap individu memiliki
cara unik dalam merasakan dan mengekspresikan emosi. Inilah sebabnya, mengapa
menjadi perempuan berdaya adalah tentang mengenali kekuatan di balik hal-hal
yang kerap dianggap sebagai kekurangan.
Perempuan berdaya, "kita yang sadar akan kekurangan, tapi sama sekali tidak ragu untuk menjadi sosok yang diinginkan."
Karena
kita mampu memahami diri sendiri maka kita tidak ragu untuk mengembangkan diri.
Namun, berdaya bukan lantas semua hal harus dikerjakan sendiri. Berdaya bukan
berarti arogan dan merasa tidak butuh bantuan dan dukungan orang lain. Justru
menjadi berdaya adalah bagaimana perempuan bisa percaya pada diri sendiri, bisa
bernalar dengan baik dan juga, ia bisa mengakui jika ia butuh bantuan dan
dukungan dari orang lain.
Terakhir.
Sebagai perempuan, kamu tidak perlu berpura pura menjadi orang lain agar
terlihat sempurna. Tetap tunjukkan dirimu apa adanya dengan selalu belajar
menjadi pribadi yang lebih baik tiap harinya.
Wallahu a'lam
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus